Gagasan pembalikan arus yang dipikirkan Pakpahan adalah “pengembalian” perkebunan ke tangan rakyat. Untuk itu ada dua “kisah sukses” yang ditawarkan sebagai model rujukan (benchmark) yaitu FELDA Malaysia dan Tata Tea India.
FELDA (Federal Land Development Authority) Malaysia adalah suatu korporasi petani yang mengelola perkebunan milik petani, yang berhasil membawa “perkebunan rakyat Malaysia” sebagai yang terbesar di Asia, sekaligus meningkatkan pendapatan pekebun dan keluarganya.
Tata Tea India adalah suatu korporasi domestik (nasionalis) yang berhasil mengakuisisi Tetley Inggris dan dengan itu menguasai produksi bahan baku, pengolahan, dan distribusi teh bukan saja di Inggris tapi dunia. Secara simultan dalam proses tersebut perkebunan teh “diserahkan” kepada rakyat dan berkebang di bawah bimbingan, dukungan, dan kerjasama Tata Tea.
Dua “kisah sukses” itu ditawarkan sebagai alternatif untuk pola PIR Perkebunan yang, karena karakter asimetrisnya, gagal mengembalikan “perkebunan” ke tangan rakyat. Pakpahan tidak menganjurkan penjiplakan model FELDA atau Tata Tea secara mentah-mentah, mengingat adanya perbedaan konteks sejarah, politik, dan ekonomi.
Lantas pola apa yang relevan? Pakpahan menawarkan pengembangan model Badan Usaha Milik Petani (BUMP) untuk mewujudkan masyarakat pekebun yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Dengan begitu, perkebunan dikembalikan ke tangan pemiliknya yaitu rakyat Indonesia.(*)