Perkebunan kita, dia alam merdeka ini, masih eksploitatif terhadap sumberdaya alam dan manusia Indonesia. Karena itu, masih mengusung karakter “perkebunan sebagai penjajahan” (ekploitatif dan ekslusif). Tidak bertransformasi menjadi “perkebunan sebagai pemerdekaan” (distributif dan inklusif).
Indikatornya adalah penekanan pada peran perkebunan sebagai sumber devisa. Karena itu orientasinya adalah ekspor produk primer. Industri manufaktur perkebunan tak dikembangkan, sehingga nilai tambah dinikmati negara-negara maju (importir).
Selama “devisa” menjadi tujuan utama, dan selama industri manufaktur perkebunan belum tumbuh, maka sulit mengharapkan perkebunan sebagai pemerdekaan.
Menurut Pakpahan, perkebunan hanya mungkin menjadi suatu sistem pemerdekaan apabila mampu melepaskan diri dari karakter blueprintperkebunan kolonial.
Karakter perkebunan kolonial yang dimaksud adalah, pertama, pemihakan pemerintah terhadap perusahaan besar melalui fasilitasi HGU jangka panjang dan penyediaan jaringan infrastruktur khususnya transportasi.
Kedua, pemosisian ekspor komoditi primer atau produk antara sebagai prioritas utama sehingga industri pengolahan/manufaktur di dalam negeri kurang berkembang.
Ketiga, pelestarian sistem ekonomi ganda yaitu sektor perkebunan modern (kapitalis kaya) dan sektor pertanian pangan/kebun rakyat post-tradisional (subsisten/komersil miskin) yang berjalan di jalur masing-masing, tanpa suatu keterkaitan integratif yang signifikan.
Menuju Perkebunan Pemerdekaan
Intensi tesis “perkebunan sebagai pemerdekaan” adalah pembalikan terhadap arus utama sejarah pembangunan perkebunan nasional yaitu “perkebunan berbasis korporasi besar”.
Arus utama ini benar telah melahirkan perusahaan-perusahaan perkebunan modern skala besar, baik BUMN maupun swasta, sejak masa kolonial tapi gagal memerdekakan rakyat pedesaan dari kemiskinan.
Bahkan lebih dari itu, arus besar tersebut gagal memerdekakan perkebunan itu sendiri dari karakter kolonialisme yang eksploitatif dan eksklusif.