Maka, dengan dukungan dana Corporate Social Responsibility dari Pertamina, juga dukungan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) dan jaringannya di Jepang, tahun 2013-2014 Ricky dan teman-temannya membangun Taman Listrik Tenaga Angin Berbasis Kincir Angin Kecil” di pelosok Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Bersama warga setempat, mereka membangun taman listrik di tiga desa. Taman dengan 28 kincir bergenerator di Desa Kemanggih, taman dengan 48 kincir di Desa Tanarara, dan taman dengan 26 kincir di Desa Palindi. Semuanya di Sumba Timur.
Semua Taman Listrik itu kini telah beroperasi di bawah pengelolaan warga lokal. Kincir-kincir anginnya berputar di puncak tiang yang meliuk-liuk ritmik seiring arah dan kekuatan tiupan angin, persis seperti sedang menari, sehingga Ricky menamai mereka sebagai “Penari Langit”.
Berkat koreografi para “Penari Langit” itu, Desa Kemanggih, Tanarara, dan Palindi yang tadinya selalu terkubur gelap malam itu, kini menjadi terang-benderang. Lampu-lampu 5 watt kini menerangi rumah-rumah warga pada malam hari. Malam menjadi semarak.
Warga desa menikmati kebaikan-kebaikan baru berkat listrik. Konsumsi minyak tanah turun. Anak sekolah nyaman belajar malam hari. Terbuka kesempatan menyediakan TV Umum untuk warga desa. Juga kesempatan penggunaan peralatan listrik untuk aktivitas ekonomi rakyat.
Kosumsi energi listrik di tiga desa terpencil itu, bagaimanapun telah dan akan terus meningkatkan aktualisasi energi sosial-kreatif warga desa, untuk meraih kehidupan yang lebih bermartabat. Itulah esensi listrik demi kemanusiaan, yang terus-menerus diperjuangkan Ricky Elson.
Penyimpang yang Humanis
Dari membaca sepak-terjangnya, bisa disimpulkan, Ricky Elson itu seorang “penyimpang sosial” (social deviant). Tapi dalam pengertian positif. Dia seorang penyimpang progresif yang humanis. Menyimpang dari kelaziman demi peningkatan kemajuan dan kemaslahatan manusia, khususnya masyarakat desa terpencil di pelosok Indonesia.
Pembandingnya adalah para diaspora Indonesia di manca-negara. Ketika dipanggil pulang untuk mengabdikan diri di Indonesia, pertanyaan mereka adalah “Apakah aku akan digunakan di Indonesia?” Mungkin itu pertanyaan serius. Tapi mungkin juga dalih untuk melegitimasi statusnya sebagai diaspora yang sudah nyaman di negeri orang.
Pertanyaan serupa juga diajukan Ricky kepada Dahlan saat diajak pulang ke Indonesia. Tapi Ricky mau pulang ke Indonesia, kendati Dahlan tak pernah bisa menjawab pertanyaan itu untuknya.
Hanya “orang gila” yang mau pulang ke Indonesia, tanpa masa depan yang jelas, pada hal di negeri orang hidupnya sudah nyaman dan mapan. “Orang gila” semacam itu jelas “penyimpang sosial” yang langka dan Ricky adalah seorang di antaranya.