“Saya tak akan kembali lagi untuk tinggal di Jepang…dari hati kecil yang paling dalam…jangan “usir” saya dari negri ini….” (Ricky Elson, Ciheras, 1 Mei 2014)
Bayangkanlah situasi nyata ini. Terjadi tahun lalu di Indonesia. Seorang anak muda menerima pemutusan hubungan kerja dari seorang Menteri. Pada saat bersamaan, sebuah perusahaan besar di Jepang memanggil anak muda itu untuk berkarya di sana.
Kalau saya menjadi anak muda itu, maka keputusannya sudah jelas. Saya tinggalkan Indonesia untuk berkarya di Jepang. Buat apa “tak terpakai” di sini? Di sana saya “sangat terpakai”. Prestasi, karir, dan ekonomi saya akan melambung tinggi.
Tapi untunglah anak muda itu bukan saya, melainkan Ricky Elson. Dia memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia. Berkarya untuk bangsa dan negaranya. Apapun kondisinya.
Inilah potongan dialognya, sebagaimana dikisahkan Dahlan Iskan, yang merayunya pulang dari Jepang tapi tak mampu menjamin masa depannya di Indonesia.
“Saya tidak bisa lagi menahan kalau Anda ingin kembali ke Jepang. Toh, bos Anda yang di Jepang masih terus menunggu,” kata Dahlan dalam nada bersalah.
“Saya akan tetap di Indonesia. Seadanya. Saya akan meneruskan semua ini semampu saya,” jawab Ricky lirih tapi tegas:
Karena idealisme? Mungkin. Atau nasionalisme? Mungkin juga. Tapi, saya kira, keputusan itu lebih dilandasi humanisme. Itulah semangat menentukan nasib dan mengembangkan diri dengan kekuatan sendiri sebagai manusia luhur yang merdeka.
Maka, Ricky Elson mengalami “kelahiran baru”, menjadi pribadi yang mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan dan martabat manusia Indonesia, khususnya di pedesaan. Riset inovasi, pendidikan informal, dan pengembangan listrik berbasis angin demi peningkatan harkat kemanusiaan kini menjadi jalan hidupnya.
Tak diragukan, Ricky sungguh layak dihargai selaku tokoh muda inspiratif bidang pendidikan dan kemanusiaan? Tapi siapa dia sebenarnya dan bagaimana kiprahnya selama ini?
Jago Motor Listrik
Ricky asli putra Minang, kelahiran Padang, Sumatera Barat, 11 Juni 1980. Dia menghabiskan masa kecil dan remajanya di “kota rendang” itu.
Selepas lulus SMA Negeri 5 Padang tahun 1998, Ricky melanjutkan pendidikan ke Jepang, Di sana dia kuliah bidang keahlian Teknik Mesin di Politechnic University of Japan. Lulus sarjana (S1), dan kemudian master (S2), dengan predikat “lulusan terbaik”, profesornya lalu merekrut Ricky untuk kerja bersamanya sebagai perancang motor di Nidec Corporation, Kyoto, Jepang. Ini adalah perusahaan elektronik yang memproduksi elemen motor presisi atau mikromotor.
Karirnya cemerlang di Nidec. Jago urusan motor listrik, di perusahaan itu dia menjabat Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan. Fokus risetnya teknologi permanen magnet motor dan generator. Asal tahu saja, sekitar 80 persen produk Nidec adalah buah karya Ricky.
Prestasinya memang luar biasa. Selama 14 tahun berkarya di Jepang, Ricky telah menghasilkan 14 penemuan teknologi motor listrik. Semua dipatenkan secara internasional atas namanya.
Tahun 2012, berkat rayuan Menteri BUMN Dahlan Iskan, Ricky terpanggil kembali ke Indonesia untuk menjalankan misi pengembangan “Mobil Listrik Nasional”. Dia mendapat izin cuti 3 tahun dari Nidec.
Ricky bekerja secara informal. Tak ada gaji, kecuali sokongan hibah gaji Menteri Dahlan. Tapi, di tengah kondisi “serba kurang” itu, kerja kerasnya bersama tim membuahkan purwarupa mobil listrik nasional, Tucuxi, Selo dan Gendis, tahun 2013. Dua nama terakhir sempat digunakan di arena KTT APEC di Denpasar, Bali, Oktober 2013.
Sayang, proyek mobil listrik nasional itu kandas di tengah jalan. Sebabnya, purwarupa mobil listrik itu tak kunjung mendapat izin layak jalan dari Kementerian Riset dan Teknologi. Lalu, ini lebih mendasar, peraturan tentang mobil listrik nasional tak kunjung dikeluarkan pemerintah pula.
Padepokan Listrik Angin
Proyek mobil listrik kandas. Apakah Ricky Elson patah arang? Tidak! Sebaliknya, dia malah tertantang untuk mengembangkan teknologi motor listrik secara mandiri. Tidak saja untuk keperluan transportasi, tapi juga untuk keperluan hidup lainnya.
Salah satunya, yang sangat mendasar, untuk pemenuhan kebutuhan listrik bagi masyarakat di desa-desa terpencil yang tak terjangkau jaringan listrik PLN. Caranya, membangun taman kincir angin untuk menuai listrik dari kelimpahan angin di bumi nusantara ini. Salah satu temuannya semasa di Jepang, didedikasikan untuk itu.
Untuk itu Ricky membangun “padepokan” Listrik Angin Nusantara (LAN) di Ciheras, sebuah desa terpencil di kawasan pantai selatan Tasikmalaya. Ini adalah site penelitian teknologi pemanfaatan energi terbarukan, antara lain angin.
Dalam kata-kata Ricky sendiri di akun facebook-nya (5/3/2015), LAN adalah “sebuah gerakan kecil yang lahir atas kesadaran akan urgensi mengembalikan kepercayaan diribahwa kita adalah anak-cucu bangsa yang hebat dari peradaban nusantara dengan segala sejarahnya, dan kesadaran bahwa kita memang mampu menjadi bangsa yang hebat.” (dengan koreksi EYD dari FT).
Tapi, kendati disebut “site penelitian”, LAN tak melulu melakukan penelitian, tapi juga pendidikan informal bidang teknologi listrik terbarukan. Ricky adalah “guru besar’-nya. “Murid”-nya adalah para voluntir sosial. Juga para mahasiwa yang tak puas dengan transfer iptek di ruang kuliah. Sudah lebih dari 1,000 mahasiswa “berguru” di sana, dalam rangka kuliah praktek, tugas akhir, dan penelitian.
Di padepokan LAN, dengan sistem “belajar dengan berbuat” (learning by doing), ”guru besar” Ricky bersama “murid-murid” merangkap temannya belajar dan meneliti bersama tentang teknologi kincir angin penuai listrik. Mulai dari pengukuran dan pemantauan perilaku angin. Lalu perancangan komponen kincir angin itu sendiri. Meliputi bilah kincir, mekanikal sistem kincir, generator, dan charger/controller. Akhirnya perancangan sistem pembangkit listrik tenaga angin skala kecil, berikut hibridanya antara lain dengan solar cell.
Di “padepokan” itu, Ricky dan “murid-murid”-nya berjuang menciptakan sistem kincir angin penuai listrik yang cocok dengan kondisi sosial dan alam Indonesia. Generator dan baling-balingnya harus bagus tapi murah. Sistem kincirnya harus responsif pada tiupan angin lemah, khas negeri katulistiwa.
Hasil kerja Ricky dan teman-temannya sungguh mengagumkan. Generator bermagnet 200 gram berhasil diciptakan. Ini terkecil di dunia, murah pula, tapi sungguh unggul karena mampu menghasilkan listrik pada kecepatan angin 3 meter per detik. Cocok untuk perilaku angin di Indonesia.
Lalu baling-baling murah dan kuat berhasil pula ditemukan. Berbahan kayu pinus yang ringan dan kuat, baling-baling itu dikerjakan seorang perajin binaan Ricky di Lumajang, Jawa Timur. Dibanding baling-baling impor seharga US $ 850 per unit dari Amerika, buatan Ricky tiga kali lebih kuat dan 40 persen lebih murah.
Pergumulan Ricky dan teman-temannya di “padepokan” Ciheras itu menghasilkan Sistem Teknologi Taman Listrik Tenaga Angin Berbasis Kincir Angin Kecil”. Tiap kincir angin itu menghasilkan listrik 500 watt peak. Inilah sistem teknologi pertama dan terbaik yang pernah ada di dunia.
Lantas, puaskah Ricky sampai di situ?
Listrik demi Kemanusiaan
Ricky bukan seorang humanis jika berhenti pada inovasi atau temuan. Prinsipnya, listrik demi kemanusiaan. Bagi Ricky, tak ada gunanya inovasi teknologi listrik tenaga angin, jika tak digunakan untuk meningkatkan kemaslahatan manusia, bangsa Indonesia, terutama warga desa-desa terpencil. Untuk itulah dia kembali ke Indonesia.
Maka, dengan dukungan dana Corporate Social Responsibility dari Pertamina, juga dukungan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) dan jaringannya di Jepang, tahun 2013-2014 Ricky dan teman-temannya membangun Taman Listrik Tenaga Angin Berbasis Kincir Angin Kecil” di pelosok Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Bersama warga setempat, mereka membangun taman listrik di tiga desa. Taman dengan 28 kincir bergenerator di Desa Kemanggih, taman dengan 48 kincir di Desa Tanarara, dan taman dengan 26 kincir di Desa Palindi. Semuanya di Sumba Timur.
Semua Taman Listrik itu kini telah beroperasi di bawah pengelolaan warga lokal. Kincir-kincir anginnya berputar di puncak tiang yang meliuk-liuk ritmik seiring arah dan kekuatan tiupan angin, persis seperti sedang menari, sehingga Ricky menamai mereka sebagai “Penari Langit”.
Berkat koreografi para “Penari Langit” itu, Desa Kemanggih, Tanarara, dan Palindi yang tadinya selalu terkubur gelap malam itu, kini menjadi terang-benderang. Lampu-lampu 5 watt kini menerangi rumah-rumah warga pada malam hari. Malam menjadi semarak.
Warga desa menikmati kebaikan-kebaikan baru berkat listrik. Konsumsi minyak tanah turun. Anak sekolah nyaman belajar malam hari. Terbuka kesempatan menyediakan TV Umum untuk warga desa. Juga kesempatan penggunaan peralatan listrik untuk aktivitas ekonomi rakyat.
Kosumsi energi listrik di tiga desa terpencil itu, bagaimanapun telah dan akan terus meningkatkan aktualisasi energi sosial-kreatif warga desa, untuk meraih kehidupan yang lebih bermartabat. Itulah esensi listrik demi kemanusiaan, yang terus-menerus diperjuangkan Ricky Elson.
Penyimpang yang Humanis
Dari membaca sepak-terjangnya, bisa disimpulkan, Ricky Elson itu seorang “penyimpang sosial” (social deviant). Tapi dalam pengertian positif. Dia seorang penyimpang progresif yang humanis. Menyimpang dari kelaziman demi peningkatan kemajuan dan kemaslahatan manusia, khususnya masyarakat desa terpencil di pelosok Indonesia.
Pembandingnya adalah para diaspora Indonesia di manca-negara. Ketika dipanggil pulang untuk mengabdikan diri di Indonesia, pertanyaan mereka adalah “Apakah aku akan digunakan di Indonesia?” Mungkin itu pertanyaan serius. Tapi mungkin juga dalih untuk melegitimasi statusnya sebagai diaspora yang sudah nyaman di negeri orang.
Pertanyaan serupa juga diajukan Ricky kepada Dahlan saat diajak pulang ke Indonesia. Tapi Ricky mau pulang ke Indonesia, kendati Dahlan tak pernah bisa menjawab pertanyaan itu untuknya.
Hanya “orang gila” yang mau pulang ke Indonesia, tanpa masa depan yang jelas, pada hal di negeri orang hidupnya sudah nyaman dan mapan. “Orang gila” semacam itu jelas “penyimpang sosial” yang langka dan Ricky adalah seorang di antaranya.
Ricky percaya, bukan orang lain yang akan menentukan apakah dirinya akan berguna atau tidak di Indonesia, tapi dirinya sendiri. Dalam sebuah puisi berjudul “Saya Merasa Bersalah” a yang sungguh mengetarkan, dia menulis dengan keyakinan penuh “…saya adalah tokoh utama dari hidup saya dengan penulis skenario Sang Maha Guru ..”.
Tuhan, Sang Maha Guru itu selalu menulis “skenario hidup berguna” untuk setiap individu umatNya, tak terkecuali untuk Ricky. Dengan religiositasnya, Ricky percaya, dia hanya menjalankan skenario yang dituliskan Tuhan untuknya.
Tak perduli dia soal fasilitas yang tak memadai. Dia adalah manusia Minang yang khas pemecah masalah, dengan filosofi “indak ado kayu, janjang dikapiang”.
Maka pertanyaannya bagi Ricky berubah menjadi “Bagaimana aku bisa berguna untuk Indonesia?” Ricky sendirilah yang kemudian menjawabnya, bukan dengan kata-kata melainkan dengan tindakan.
Tindakan berupa pendidikan, riset, dan pengembangan listrik berbasis energi angin di padepokan LAN Ciheras. Serta tindakan berupa pengabdian membangun hamparan-hamparan Taman Listrik Tenaga Angin bersama warga desa-desa terpencil di Pulau Sumba. Itulah jawaban yang membuktikan betapa bergunanya seorang Ricky bagi kemajuan bangsa dan negara ini.
Dari padepokan LAN, melalui proses pendidikan informal, sampai sekarang Ricky telah membantu seribuan anak muda untuk keluar dari “zona nyaman”, untuk menjadi “penyimpang-penyimpang sosial” baru yang humanis dan progresif. Ricky membagikan ilmu-pengetahuan listrik tenaga angin kepada mereka, dengan harapan mereka akan menyebar ke berbagai penjuru nusantara, untuk mengamalkan ilmu-pengetahuannya bagi kemaslahatan masyarakat.
Tapi bukan hanya ilmu-pengetahuan. Lebih penting dari itu, Ricky menularkan semangat humanismenya, untuk meyakinkan para anak muda itu, bahwa manusia Indonesia mampu menentukan nasib dan memajukan diri sendiri dengan kemampuan sendiri. Inilah hakekat pendidikan sejatinya. Memanusiakan manusia dengan menjadikannya kreatif dan mandiri.
Tidak hanya di padepokan LAN, Ricky juga rajin menyambangi ratusan sekolah dan perguruan tinggi di seantero negeri, untuk menularkan semangat yang sama kepada para anak muda, pengemban masa depan bangsa ini.
Di pedesaan Sumba, humanisme Ricky diamalkan melalui penegakan prinsip “listrik demi kemanusiaan”, dengan membangun Taman-Taman Pembangkit Listrik Tenaga Angin. Bukan membangun sendirian, tetapi membangun bersama masyarakat setempat. Sehingga masyarakat desa-desa Kemanggih, Palindi, dan Tanarara lebih memiliki harga diri dan kebanggaan, bahwa mereka bisa menyediakan dan mengurus sendiri kebutuhan listriknya.
Listrik akan meningkatkan harkat kemanusiaan warga desa itu. Karena dengan listrik mereka bisa meraih kebaikan-kebaikan hidup, yang sebelumnya tak terbayangkan. Senyum warga tiga desa itu kini lebih lebar.
Sudah pasti Ricky tidak puas dengan tiga desa saja. Dia sudah bertemu dengan Sudirman Said, Menteri ESDM, yang sangat terkesan menyaksikan koreografi “Penari Langit” di Bumi Marapu Sumba. Atas permintaan Pak Menteri, seperti dikatakannya dalam akun facebook (11/4/2015), dia menyanggupi untuk membangun TLTA di 1,700 “titik gelap” (blank point) Indonesia yang tak terjangkau PLN.
Ricky hanya meminta Kementerian ESDM mencanangkan “Gerakan Pemuda Indonesia Menerangi Negeri“, dengan melibatkan 5,000 orang anak muda. Melalui gerakan itu, dia memastikan bahwa 1,000 “titik gelap” akan terterangi per tahun, sehingga 1,700 “titik gelap” akan bermandi listrik dalam dua tahun.
Sungguh, saya yakin, Ricky Elson adalah satu dari sepuluh orang anak muda yang diperlukan Soekarno untuk mengguncang dunia.(*)
Foto-foto:
Catatan:
Untuk menjaga obyektivitas, artikel ini saya tulis sepenuhnya berdasar informasi primer (catatan Ricky Elson sendiri) dan sekunder yang berlimpah di berbagai situs dan akun di dunia maya. Saya tidak mencantumkan secara spesifik pada bagian mana satu dan lain informasi dirujuk, demi menjaga kenikmatan membaca. Tapi setiap informasi empirik dapat dapat dicek pada bahan-bahan rujukan berikut:
“Belajar Arti Nasionalis dari Seorang Ricky Elson ‘Sang Putra Petir’”, Maxmanroe.com
Catatan Ricky Elson dalam akun facebook Ricky Elson, 11/4/2015 (Hasil diskusi dengan Menteri ESDM Sudirman Said).
Catatan Ricky Elson dalam akun facebook Ricky Elson, 5/5/2015 (Ajakan kepada kaum muda untuk bergabung dengan LAN).
Dahlan Iskan, “Main-Main Nasib Ahli yang Mahal” (Manufacturing Hope 123), Jawa Pos, 14 April 2014
Dahlan Iskan, “Telah Lahir: Sang Penari Langit Nasional” (Manufacturing Hope 148), Jawa Pos, 13 Oktober 2014.
“Kisah Mengharukan Ricky Elson, Ilmuwan Dunia dari Indonesia yang Tidak Dihargai Negaranya”, arwhiedwhie.blogspot.co.id
“Ricky Elson”, E-biodata.net (Diposkan Dhimasprastyo, 13 Oktober 2015)
Ricky Elson, “Saya Merasa Sangat Bersalah”, kabardahlaniskan.com (1/5/2014)
Ricky Elson, “Catatan Cinta di Negeri Sumba” (Bagian Satu), catatandahlanis-redi.blogspot.co.id (5/9/2014).
Ricky Elson, “Catatan Cinta di Negeri Sumba” (Bagian Dua), catatandahlanis-redi.blogspot.co.id (6/9/2014).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H