Dengan gagal memberikan definisi atau contoh yang lebih rinci mengenai apa yang dianggap pelanggaran, Square Enix mungkin tanpa sengaja menciptakan lingkungan di mana pemain tidak yakin tentang apa yang diperbolehkan. Kurangnya transparansi ini bisa membuat pemain enggan berbagi pengalaman dalam game, yang sering kali menjadi bagian integral dari komunitas game yang hidup.Â
Pemain mungkin ragu untuk mengunggah screenshot, menyiarkan gameplay, atau bahkan berbagi ulasan jika mereka tidak yakin apakah tindakan tersebut dianggap pelanggaran kebijakan. Ketakutan untuk tidak sengaja melewati batas bisa menyebabkan komunitas menjadi lebih pasif dan kurang terlibat.
Ketidakjelasan dalam kebijakan ini juga bisa menyebabkan penegakan yang tidak konsisten, di mana beberapa tindakan dihukum sementara yang lainnya diabaikan. Ketidak konsistenan ini bisa lebih merusak kepercayaan antara Square Enix dan pemainnya, yang mungkin merasa bahwa perusahaan secara selektif menegakkan peraturan atau menggunakan kebijakan ini sebagai alat untuk menekan konten kritis.Â
Misalnya, seorang pemain yang berbagi kritik mendalam tentang mekanik permainan atau karakter tertentu bisa menemukan kontennya diberi tanda, meskipun tujuannya adalah untuk memberikan umpan balik yang konstruktif. Ini bisa tanpa sengaja mengakibatkan pemain melakukan penyensoran diri terhadap konten mereka sendiri. Pemain mungkin ragu untuk memposting cuplikan gameplay, screenshot, atau ulasan, seperti bagaimana Bioware "memanufakturkan" ulasan Dragon Age: Veilguard mereka, di mana semuanya diberi nilai 9 dan 10, tetapi dalam cara yang jauh lebih buruk.Â
Ketakutan untuk tidak sengaja melanggar kebijakan ini bisa menyebabkan komunitas menjadi lebih pasif dan kurang terlibat, di mana kritik yang jujur dan konstruktif dibungkam. Hal ini bisa berdampak jangka panjang terhadap kualitas umpan balik yang diterima Square Enix dari basis pemainnya.
Dampak yang lebih luas dari kebijakan ini bisa melampaui pemain individu yang mungkin dihukum. Ketika pemain mulai melakukan penyensoran diri terhadap konten mereka karena takut melanggar kebijakan, aliran umpan balik secara keseluruhan dalam komunitas bisa terhambat.Â
Pemain yang sebelumnya akan terlibat dalam diskusi terbuka atau berbagi video gameplay mungkin berhenti melakukannya, karena takut pendapat mereka akan disalahartikan sebagai pelecehan atau merusak reputasi perusahaan. Efek ini bisa mengurangi nilai masukan dari pemain, meninggalkan Square Enix dengan pandangan yang lebih sepihak tentang permainannya yang bisa menghambat pengembangan dan perbaikan di masa depan.Â
Pada akhirnya, meskipun tujuan kebijakan ini mungkin untuk melindungi karyawan dan mitra, penerapannya bisa menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan bagi hubungan perusahaan dengan basis pemainnya dan kualitas umpan balik yang mendorong evolusi permainan mereka.
Kok terkesan seperti...
Bagi yang menebak bahwa taktik penulisan kebijakan Square Enix adalah bagaikan kebijakan negeri kita yang bernama Wkwakandanoha+62 ini, sebenarnya ada kesamaan mendalam dengan fenomena yang ada di banyak kebijakan lainnya. Permainan mereka ini tidak jauh berbeda dengan salah satu peraturan yang dibuat oleh Kemenkominfo yang sempat disinggung dalam artikel penulis berjudul "RUU Penyiaran: Menjaga Masyarakat atau Menguntungkan Satu Pihak?".Â
Masalah utama dalam kebijakan tersebut, seperti yang terlihat dalam kebijakan Square Enix, adalah adanya definisi yang tampak baik di permukaan, tetapi terlalu kabur dan luas dalam penerapannya. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan kesalahpahaman, penyalahgunaan, serta ketidakpastian hukum yang merugikan pihak yang seharusnya dilindungi.
Contoh yang lebih konkret adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran di Indonesia. RUU ini, yang merupakan revisi dari versi 2002, mengatur pembatasan konten digital dengan pasal-pasal yang kabur, seperti Pasal 34F yang mengharuskan lembaga penyiaran dan penyelenggara platform digital untuk melindungi hak cipta dan mematuhi peraturan.Â