Persaingan yang tetap berlanjut di jaman menteri BUMN Rini M. Soemarno menjadikan Pemerintah bergegas membentuk holding Migas dengan mekanisme penyerahan (inbreng) saham seri B PGN milik negara kepada Pertamina. Pro kontra tentu terjadi baik di kalangan pekerja maupun managemen PGN, tidak demikian halnya dengan Pertamina atau Pertagas yang cenderung menerima.
Serikat Pekerja PGN (SP-PGN) saat itu berkirim surat kepada Presiden mendukung upaya pemerintah untuk mengoptimalkan BUMN serta mengusulkan agar holding diperluas menjadi holding energi dengan melibatkan dan memasukkan PLN (Perusahaan Listrik Negara) sebagai salah satu anggota holding. Hal ini didasari bahwa penggunaan terbesar dari migas adalah untuk pembangkitan listrik disamping transportasi dan industri.
Namun sepertinya pemerintah belum berkenan dengan solusi dari SP-PGN dan tetap membentuk holding Migas dengan menyerahkan kepemilikan saham negara di PGN kepada Pertamina.Â
Selain itu Kementerian BUMN juga mengamanatkan pengambilalihan saham Pertagas oleh PGN. Hal ini juga menyulut protes penolakan akuisisi Pertagas oleh PGN dari pekerja Pertagas dan Pertamina yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB).Â
Isu yang digelorakan adalah karena PGN dianggap milik asing, kinerja keuangannya tidak bagus dan transaksi ini akan merugikan negara. Padahal saat rencana akuisisi Pertagas oleh PGN diumumkan oleh Direksi PGN, maka saham PGN yang berkode PGAS justru jatuh. Jatuhnya saham PGAS dikarenakan banyak investor menilai pembelihan Pertagas oleh PGN terlalu mahal hingga 2 sampai 3 kali lipat.Â
Kalau investor melihat akuisisi ini kemahalan, maka menurut saya justru negara tidak dirugikan alias diuntungkan. Kalau boleh saya menggunakan istilah "negara merampok uang investor". Apakah kemudian kinerja PGN atau Pertamina di masa mendatang akan kinclong setelah akuisisi ini, ya kita tunggu saja.
Barangkali holding Migas tidak akan pernah lahir ketika kementerian BUMN bisa tegas dari awal mengenai persaingan antara PGN dan Pertagas. Bukankah kelahiran Pertagas juga atas restu kementerian BUMN yang menempatkan wakilnya sebagai komisaris di Pertamina? Kalau kemudian direksi masing-masing perusahaan tidak bisa bersinergi kan tinggal diganti saja, tidak perlu repot-repot buat holding. Itulah mengapa saya sebut proses holding migas adalah kecelakaan.
Holding Energi dan Bauran Energi
Melalui Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional telah ditetapkan target Bauran Energi di tahun 2025 dan 2050.
Itulah mengapa bangunan holding Migas menurut saya belum akan bisa memberikan kontribusi banyak menuju bauran energi 2025 atau 2050. Terlihat ada porsi yang harus dituju untuk masing-masing jenis energi primer, dimana porsinya ada yang dinaikan namun ada yang diturunkan.Â