Membicarakan hubungan PGN dan Pertamina tentu tidak saja berbicara kondisi saat ini dimana PGN telah menjadi bagian dari Pertamina dalam kerangka holding Migas. Holding Migas resmi lahir pada 11 April 2018 setelah penandatanganan akta pengalihan saham milik negara di PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (PGAS) kepada PT Pertamina (Persero) selaku induk holding.Â
Langkah selanjutnya adalah PGN akan mengakuisisi 51 persen saham milik Pertagas, anak usaha Pertamina, sehingga bisnis dan fungsi Gas di Pertamina akan dilaksanakan di bawah koordinasi PGN.
Jalan menuju holding Migas tidak pernah mulus, bahkan menurut saya terciptanya holding Migas tak lepas dari "kecelakaan" sejarah, bukan suatu yang telah direncanakan dengan matang dari awal.Â
Setelah berpisah dari BPU-PLN (Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara), pada 13 Mei 1965 secara resmi Perusahaan Gas Negara berdiri. Dalam perjalanannya sampai kurun waktu tahun 2007 PGN mengalami hubungan yang harmonis dengan Pertamina. PGN membeli gas bumi dari pemasok seperti Pertamina dan beberapa produsen gas bumi lainnya.
Kompetensi Pertamina dalam mengelola usaha gas selama 30 tahun mendorong untuk membentuk badan usaha tersendiri secara fokus dan profesional. Oleh karenanya didirikanlah pada 23 Februari 2007 PT Pertamina Gas (Pertagas).Â
Sejak saat itulah di Indonesia terdapat dua perusahaan besar yang bergerak di bidang transportasi dan distribusi gas bumi yaitu PGN dan Pertagas. Pada awalnya persaingan antara PGN dan Pertagas masih relatif wajar, namun berjalannya waktu persaingan kedua perusahaan tersebut berubah menjadi sengit dan saling membunuh.
Persaingan antara PGN dan Pertagas tidak hanya melibatkan kedua perusahaan tersebut, namun juga melibatkan Pertamina sebagai induk Pertagas. PGN dan Pertagas berusaha untuk saling merebut pangsa pasar, bahkan dalam kue yang sama di satu daerah tertentu.Â
Kondisi ini membuat keduanya aktif berperang juga mempengaruhi regulator dalam menelurkan kebijakan-kebijakannya untuk pengaturan tata kelola gas bumi nasional. Ketika pertempuran semakin sengit, PGN dan Pertagas saling berlomba membangun infrstruktur gas bumi, sehingga pernah terjadi pipa gas bumi dengan diameter yang sama (24") ditanam bersebelahan sepanjang puluhan km untuk memperebutkan pasar yang sama.Â
Inefisiensi yang terjadi antara kedua perusahaan sudah berada di titik yang tidak wajar, hal ini tentu menjadi perhatian rakyat dan negara.
Holding Migas hanya sasaran antara
Semakin tinggi persaingan antara PGN dan Pertagas tentu mendorong kementerian BUMN turun tangan dan meminta kedua Petinggi PGN dan Pertamina (pemilik Pertagas) agar bersinergi. Bahkan dalam masa menteri BUMN Dahlan Iskan, PGN pernah diberi mandat untuk mengakuisisi Pertagas, namun penentangan yang masif dari pekerja membatalkan rencana tersebut.
Persaingan yang tetap berlanjut di jaman menteri BUMN Rini M. Soemarno menjadikan Pemerintah bergegas membentuk holding Migas dengan mekanisme penyerahan (inbreng) saham seri B PGN milik negara kepada Pertamina. Pro kontra tentu terjadi baik di kalangan pekerja maupun managemen PGN, tidak demikian halnya dengan Pertamina atau Pertagas yang cenderung menerima.
Serikat Pekerja PGN (SP-PGN) saat itu berkirim surat kepada Presiden mendukung upaya pemerintah untuk mengoptimalkan BUMN serta mengusulkan agar holding diperluas menjadi holding energi dengan melibatkan dan memasukkan PLN (Perusahaan Listrik Negara) sebagai salah satu anggota holding. Hal ini didasari bahwa penggunaan terbesar dari migas adalah untuk pembangkitan listrik disamping transportasi dan industri.
Namun sepertinya pemerintah belum berkenan dengan solusi dari SP-PGN dan tetap membentuk holding Migas dengan menyerahkan kepemilikan saham negara di PGN kepada Pertamina.Â
Selain itu Kementerian BUMN juga mengamanatkan pengambilalihan saham Pertagas oleh PGN. Hal ini juga menyulut protes penolakan akuisisi Pertagas oleh PGN dari pekerja Pertagas dan Pertamina yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB).Â
Isu yang digelorakan adalah karena PGN dianggap milik asing, kinerja keuangannya tidak bagus dan transaksi ini akan merugikan negara. Padahal saat rencana akuisisi Pertagas oleh PGN diumumkan oleh Direksi PGN, maka saham PGN yang berkode PGAS justru jatuh. Jatuhnya saham PGAS dikarenakan banyak investor menilai pembelihan Pertagas oleh PGN terlalu mahal hingga 2 sampai 3 kali lipat.Â
Kalau investor melihat akuisisi ini kemahalan, maka menurut saya justru negara tidak dirugikan alias diuntungkan. Kalau boleh saya menggunakan istilah "negara merampok uang investor". Apakah kemudian kinerja PGN atau Pertamina di masa mendatang akan kinclong setelah akuisisi ini, ya kita tunggu saja.
Barangkali holding Migas tidak akan pernah lahir ketika kementerian BUMN bisa tegas dari awal mengenai persaingan antara PGN dan Pertagas. Bukankah kelahiran Pertagas juga atas restu kementerian BUMN yang menempatkan wakilnya sebagai komisaris di Pertamina? Kalau kemudian direksi masing-masing perusahaan tidak bisa bersinergi kan tinggal diganti saja, tidak perlu repot-repot buat holding. Itulah mengapa saya sebut proses holding migas adalah kecelakaan.
Holding Energi dan Bauran Energi
Melalui Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional telah ditetapkan target Bauran Energi di tahun 2025 dan 2050.
Itulah mengapa bangunan holding Migas menurut saya belum akan bisa memberikan kontribusi banyak menuju bauran energi 2025 atau 2050. Terlihat ada porsi yang harus dituju untuk masing-masing jenis energi primer, dimana porsinya ada yang dinaikan namun ada yang diturunkan.Â
Seperti minyak bumi yang saat ini porsinya paling besar, menuju target bauran energi 2025 prosentasenya harus berkurang.Â
Tentu pengurangan penggunaan minyak bumi akan memukul Pertamina, namun di satu sisi penambahan porsi batubara akan menyenangkan bagi BUMN seperti PTBA, dan juga PLN karena ongkos pembangkitan listrik dengan batubara lebih murah dibandingkan minyak bumi.
Hal- hal seperti ini perlu pengaturan lebih lanjut, karena ada perusahaan yang akan untung, dan akan ada yang kena dampaknya. Membiarkan para BUMN masing-masing mengatur sendiri? Tampaknya menjadi hal yang mustahil dilakukan saat ini.Â
Masing-masing direksi BUMN mempunyai target keuntungan sendiri-sendiri, belum lagi tuntutan kesejahteraan dari pekerjanya. Kita pernah disuguhi rivalitas PGN dan Pertagas, apakah juga akan ada rivalitas di antara BUMN dalam kaitannya dengan bauran energi.
Itulah mengapa holding Migas menurut saya adalah sasaran antara hingga terbentuknya holding energi yang melibatkan tidak hanya Pertamina, PGN, PLN, PTBA, tetapi juga perusahaan semacam Jasa Tirta sebagai penghasil listrik melalui kekuatan airnya.Â
Bukankah selama ini kementerian BUMN kesulitan dalam mengatur BUMN-BUMN yang saling bersaing hingga berdarah-darah, maka solusi agar holding migas diperluas menjadi holding energi adalah sangat masuk akal dan relevan.
Dan bagi saya holding energi juga masih merupakan sasaran antara menuju bubarnya kementerian BUMN. Ya kementerian BUMN harus bubar dan digantikan oleh Super holding yang membawahi seluruh BUMN se-Indonesia Raya. Super holding harus dikelola oleh orang-orang profesional yang cakap, adil, dan berwawasan kebangsaan, bukan oleh birokrat.Â
Saya tidak berharap akan dapat cepat terlaksana, namun kemajuan BUMN akan mempercepat kemajuan suatu bangsa, maka mau tidak mau super holding BUMN harus segera terbentuk. Saya juga tidak peduli apakah Super holding akan terbentuk karena "kecelakaan" atau mengikuti perencanaan sejarah.
MRR, Cbn-01/08/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H