Mohon tunggu...
M Jazuli Rahman
M Jazuli Rahman Mohon Tunggu... Guru - Guru, pegiat outdoor, aktivis kebencanan.

Mrjazuli@gmail.com https://www.instagram.com/jazuli_rahman/ https://www.facebook.com/jazuli.rahman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pak Guru Daring

21 Maret 2021   08:08 Diperbarui: 21 Maret 2021   08:32 1412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via kreativv.com

Pandemi virus Corona ini memaksa Pak Guru dan kawan-kawan untuk menutup sekolah sementara. Pembelajaran mereka lakukan lewat daring. Sebenarnya tidak semua berjalan normal. Masih ada siswa yang harus ke sekolah juga untuk mengambil tugas dan mengumpulkannya. Para guru juga diatur kehadirannya di sekolah agar tetap bisa melayani dan tetap aman secara protokol kesehatan. Akhirnya beberapa bulan ini tidak setiap hari juga Pak Guru bisa menikmati perjalanan pagi ke sekolah.

Pagi ini jadwal mengajar Pak guru. Dia buka gawai dan mengklik logo classroom yang dijadikan sebagai media untuk berinteraksi dengan para siswa. Dia  juga menggunakan grup WA untuk mempermudah komunikasi langsung dengan para siswa. Baru  satu gawai tersebut sarana yang dia gunakan. Membeli laptop rencana yang belum bisa ditunaikannya. Yang penting fungsinya sama pikirnya.

"Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak" sapanya di grup WA.

Kemudian dia padangi layar monitor menunggu jawaban para siswa. Dia  lebih suka mengawali pelajaran dan berdiskusi lewat Grup WA ini karena menurutnya lebih mudah berinterkasi. Sedangkan materi ajar dan tugas-tugas melalui classroom. Di sana lebih mudah memantau kemajuan belajar siswa. Awalnya semua berjalan sesuai keinginan. Lama kelaman pembelajaran daring ini tidak berjalan normal. Seperti pagi ini. Lama dia tunggu balasan salam mereka. Dia  hanya bisa  melihat di bawah tulisan nama grup kelas Kelas IX  tertulis Adul sedang mengetik... Siti sedang mengetik... kemudian hilang.

"Waalaikumsalam, pagi pak!" terpampang chat  Dawai di grup WA menjawab salam.

Masih ditunggunya jawaban yang lain. Dia intip pesan terbaca di chat yang dia tulis. Ternyata banyak yang membukanya. Pak Guru berpikir positif aja. Mungkin mereka menganggap chat Dawai ini sudah mewakili mereka semua. Dalam agama yang dia anut juga diajarkan satu salam dijawab oleh satu orang sudah menggugurkan kewajiban buat semua pikir pak Guru. Dia mulai pelajaran dengan berbicara langsung kepada siswa. Dia tekan dan tahan tombol warna hijau dengan gambar pelantang di grup WA.

 "Anak-anak, semoga kalian dalam keadaan sehat semua. Selasa yang lalu kita sudah mempelajari tentang unsur-unsur puisi. Nah hari ini kita akan belajar cara menulis puisi yang baik." Ucapnya.

Sebenarnya dia ingin  menggunakan aplikasi yang bisa bertatap muka langsung dengan mereka. Bahkan dia pernah mencoba. Namun banyak kendalanya terutama buat siswa. Mereka banyak yang tidak bisa masuk kelas dengan kendala signal kurang baik. 100 persen siswanya tinggal di desa. Belum lagi aplikasi tersebut menyedot  kuota internet yang cukup besar.

Pak guru tidak ingin lama-lama membuka pelajaran. Waktu terbatas sekali. Dia hanya mempunyai waktu 2x 40 menit menyampaikan materi sudah termasuk mengumpulkan tugas untuk evaluasi.

"Anak-anak berikut bapak akan  kirimkan video pembelajaran menulis puisi di grup WA ini. Bapak juga kirimkan di classroom. Di sana juga ada alamat web site yang bisa kalian baca. Nanti setelah selesai nonton dan baca kita diskusi di grup WA ini" jelas pak guru.

Dikirimnya video pembelajaran hasil buatannya sendiri. Semenjak pembelajaran jarak jauh banyak guru menambah kemampuannya. Begitu juga Pak Guru. Dia ikut pelatihan daring tentang pembuatan konten melalui video. Setelah  itu dia bertekad untuk bisa juga membuatnya. Dijualnya gawai lama miliknya. Kemudian dia beli gawai baru dengan tambahan tabungannya selama satu tahun. 

Menjadi guru kontrak sepertinya tidak cukup banyak gaji yang bisa dia simpan. Belum lagi kebutuhan rumah tangga yang saat ini mengalami beberapa kenaikan. Karena sudah  tekadnya tetap melayani siswa belajar, dia beli gawai yang cukup untuk dapat membuat konten pelajaran melalui video. Ini video pertama dia buat. Setelah beberapa kali rekam, ambil sana, ambil sini, edit itu, edit ini biar cantik dilhat dan menarik disimak.

"Tidak apalah uang terkerik. Asal cantik dan  menarik video buatanku" gumam  Pak Guru

Video sudah terunggah. Dalam bayangnya para siswa mendapat penjelasan materi hari ini. Dia berikan waktu 20 menit para siswa untuk menonton dan membaca yang dia berikan.

Andri anak pertama Pak Guru nampak duduk di sampingnya. Sibuk membolak-balikan bukunya. Tertulis Matematika di sampul buku yang dipegangnya. Andri baru kelas 2 SD. Dari tadi dia menunggu jawaban dari Ayahnya. Andri masih belum paham penjumlahan dalam bentuk puluhan seperti itu. Andri juga harus meminjam gawai punya Ayahnya untuk melihat penjelasan dan tugas dari gurunya. Jawaban guru di kelas daring Andri kurang memuaskan. dia harus yakinkan  bertanya dengan Ayahnya. 

Belum selesai lihat penjelas di kelas, gawai Andri direbut Laila anak kedua pak Guru yang masih sekolah TK. Laila mau merekam nyanyian Burung Kakak Tua. Bunda guru Tk Laila menunggu. Berebutlah mereka. Andri tidak mau mengalah dengan adiknya. Keributan terjadi antar kakak beradik. Laila menambah drama pagi ini dengan tangisannya. Pak Guru pusing. Benar-benar pusing dibuatnya. Dia tidak bisa buka kembali kelas daring. Kemungkinan ada siswanya yang bertanya. Dia harus fasilitasi diskusi juga bila ada pertanyaan-pertanyaan siswa. Dia ambil dulu gawai dari kedua anaknya.

"Ayah pinjam dulu, nanti ayah yang atur bergantian" ucapnya.

Kedua anaknya diam. Dalam  hati keduanya berharap dia yang paling pertama dapat giliran. Pak Guru melihat kembali kelas daring. Tidak ada tanggapan dari siswanya. Kelas terbaca sunyi, sepi tak ada respon pertanyaan.

" Ayah aku duluan!" teriak Laila.

" Jangan! aku duluan" balas Andri.

Terdengar dengan suara keras anak-anaknya berebut gawai untuk belajar daring di rumah bedakan yang di kontrak pak guru. Lantas ibu kandung mereka dimana?

Di depan rumah pak Guru. Ada warung kecil. Bu Maria sibuk membuat adonan kue dari tepung. Terlihat tangannya penuh dengan tepung. Kue untuk buatan bu Maria lumayan enak. Banyak pembeli yang mengunjunginya. Seperti pagi ini. Pengunjung penuh di warungnya. Kesibukan pagi seperti ini membuat bu Maria tidak bisa membantu anaknya belajar daring. Uang hasil penjualan sangat diperlukannya untuk membantu keuangan keluarga. Gaji suaminya yang hanya menjadi guru kontrak tidak mungkin mencukupi kebutuhannya selama satu bulan. 

Pak Guru sangat menyayangi istrinya ini. Masih selalu dihormatinya keputusan sang istri mau menikah dengannya meski saat itu dia hanya menjadi guru honor di SMP kecamatan. Gaji yang sangat kecil sekali. Padahal Maria, wanita yang cantik. 

Semasa kuliah dulu di FKIP dia jadi primadona. Apalagi dia mahasiswa pendidikan IPA yang lumayan cukup berprestasi. Iya, Maria juga sebenarnya seorang guru. Tetapi karena berjualan kue lebih banyak penghasilannya, dia putuskan untuk berjualan saja. Dia berhenti mengajar honor di madrasah sebuah desa ketika keperluan rumah tangga mereka bertambah setelah kedua anaknya lahir.

" Bu, saya pesan kue untuknya 10 biji" kata pengunjung yang baru datang.

Di dalam rumah kontrakan 2 anak 1 ayah berebut gawai 1 biji.

***

Yahya menatap gawainya sambil tersenyum. Terkadang terlihat tertawa sendiri. Sambil duduk di ruang keluarga, dibaca dan dibalas chat teman-temannya di grup WA. Yahya anak keluarga yang berkecukupan. Ayahnya bekerja sebagai staf di sebuah bank. Ibunya PNS yang bertugas di sebuah instansi di pemerintah kabupaten. Kedua orang tuanya sibuk bekerja. Harusnya Yahya sekolah daring Bahasa Indonesia hari ini. Namun dia lebih memilih grup WA.

"Sudahkah Pak Guru beri tugas di grup?" tanya Imam kepada Yahya sambil menatap komputer di kamar Yahya, main game online.

Imam  teman satu kelas Yahya yang juga tetangganya. Dia izin ke orang tuanya mau belajar bersama di rumah Imam.

"Gak tahu,santai aja bro. Lebih baik kita main aja." Jawab Yahya.

Akhirnya mereka sibuk dengan keasyikannya masing-masing. Imam dengan chating, Yahya dengan game online. Mereka berdua juga di dunia maya tetapi tidak bertemu dengan gurunya.

"Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak" Pak Guru menyapa siswanya di chating Grup WA bertetangga Grup WA Imam yang selalu ramai.

***

Di sebuah Mall Irma, anak pengusaha tambak ikan ini sedang liburan bersama keluarganya. Ayahnya bisa dikatakan pengusaha yang suskes. Bisnis tambak ikannya sangat bisa memenuhi kebutuhan keluarga ini. Ayah Irma mengajak keluarganya ke kota Banjarmasin berlibur. Belanja di Mall terbesar di sana. Irma lupa dengan kelas daringnya hari ini.

Sesampainya di Mall Irma langsung menuju restoran. Di tempat itu, dia sudah berjanji dengan Siti, teman satu kelasnya bertemu di sana.

Siti sudah duduk menunggu Irma. Bukannya membuka kelas daringnya. Dia pegang gawainya membuka kamera. Cekrek cekrek. Dari pada bosan menunggu, lebih baik foto selfie dulu pikirnya. Duduk di restoran seperti ini harus dipajang di medsos miliknya. Diberi caption sedikit, latar belakang restoran mewah  kemudian diunggah. Dia berharap dapat komentar dari teman-temannya di media sosial.

"Sekali lagi" katanya.

Dia lupa melepas masker. Fotonya terasa kurang tanpa bibir sedikit kelihatan dimonyongkan. Cekrek.. cekrekk... 

 "Ih Siti gak ngajak-ngajak!" teriak Irma, "Ulang-ulang!". Ternyata Irma sudah ada disamping Siti.

"Tunggu-tunggu, grup WA kelas kita ada yang kirim chat." Siti membuka grup kelas daring.

 "Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak". Sapa Pak Guru.

Dibacanya chat Pak Guru oleh mereka berdua. Siti ingin membalas chat tersebut. Irma melarangnya.

 "Nanti aja, jika ada tugas baru kita kerjakan besok-besok." katanya.

"Lebih baik kita main tiktok dulu sambil menunggu makanan yang sudah kita pesan tadi." Tambahnya.

Siti membatalkan  ketikan di chatnya. Padahal di grup WA terbaca Siti sedang mengetik... Siti dan Irma berjoget tiktok. Dengan kamera rekaman video mereka berjoget yang katanya lagi viral sambil diiringi musik yang sebenarnya sudah bosan didengar di mana-mana.

***

Adul lagi menikmati berselancar di Youtube mencari aksi-aksi Ronaldo pemain bola kesayangannya. Dia sangat mengidolakan sekali pemain bola tersebut. Berita-berita update selalu di dapatnya. Meski Ibunya hanya buruh karet di tempat Pembakal Hasan, dia mendapatkan gawai dari hasil tabungan ibunya. Bukan gawai keluaran terbaru, ibunya membeli di toko gawai bekas. Walaupun begitu gawainya masih sempurna untuk Adul berselancar di dunia maya dan belajar daring. Semenjak itu dia semakin tergila-gila dengan Ronaldo. Setiap ada kesempata selalu ditontonnya habis sepak terjang pemain bola itu. Pagi ini dia buka Grup WA kelas.

"Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak". Sapa Pak Guru di Grup WA

Dia ingin mengetik balasan guru kesayangannya itu. Adul merasa cocok dengan Pak Guru. Perbincangannya dengan Pak Guru di sekolah selalu menarik perhatiannya. Memang Adul sudah tidak memiliki ayah. Ayahnya meninggal semenjak dia berumur 2 tahun. Sakit Kuning kata orang-orang desa. Ayah bekerja menambang emas di gunung yang lumayan jauh dari desanya. 

Semenjak pulang dari sana Ayahnya sakit. Badannya kuning dan  matanya kuning. Kata orang-orang ayahnya kena wisa. Penyakit yang didapat secara gaib di gunung. Tetapi bukan sosok seorang ayah yang iya senangi dari Pak Guru. Bukan. Dia senang mendengarkan Pak Guru menceritakan sepak terjang Ronaldo pemain sepak bola kesenangnnya. Mereka mempunyai kesamaan. Mengidolakan Ronaldo.

Waalaikumsalam. Pagi pak! diketiknya tulisan tersebut di Grup WA tersebut. Sebelum dikirim chat tersebut, Adul menonton lagi tendangan Ronaldo beberapa detik sebelum menutup youtube. Tidak sempurna rasanya jika tidak sampai selesai. Kemudian dia kembali ke Grup WA kelas daring. Dia kirim chat yang sudah disiapkannya.

"Sial chat tidak mau terkirim!" Adul panik. Dia ceroboh. Kebanyakan browsing Ronaldo di youtube. Kuota internetnya habis.

Pak Guru menatap layar gawainya. Tertulis di Grup WA Adul sedang mengetik... kemudian menghilang.

Cepat-cepat Adul mengambil sepedanya. Membeli kuota tidak mungkin dia lakukan. Ibunya pasti belum mempunyai uang. Sedangkan kuota yang dibagikan gratis ke setiap siswa dihabiskannya bermain youtube. Tujuannya cuma satu ke rumah Sholeh. Teman satu bangkunya saat di sekolah belajar normal. Sesampainya di rumah Sholeh dia langsung melihat temannya di depan rumah. Napas Adul tersengal. Dia mengayuh sepeda dengan hidung tertutup masker. Diletakannya sepeda di batang jambu halaman rumah Sholeh.

"Ko di luar? Itu Pak Guru sudah mulai Bahasa Indonesia di grup." Kata Adul.

"Tidak bisa belajar hari ini Dul. HP ku rusak". Jawab Sholeh.

Habislah harapan Adul untuk belajar bersama Sholeh hari ini. Diambilnya satu batang kayu kecil panjang di depan Sholeh.

" Sholeh.. jambunya banyak berbuah. Aku minta". Kata Adul.

***

Pagi-pagi Nia sudah di dapur. Dia harus memasakan sarapan untuk ibu dan kedua adiknya. Semenjak pandemi ini tugasnnya di rumah sedikit longgar. Biasanya sebelum berangkat sekolah dia harus menyiapkan makanan lebih awal. Ibunya sudah lama kena stroke. Dia harus melayani keperluan ibunya setiap hari. Pembelajaran jarak jauh seperti ini membuat lebih banyak kesempatan dia melayani sang ibu. Nia tidak mempunyai HP atau gawai seperti teman-temannya yang lain. Semua tugas sekolah dia kerjakan secara manual di buku. 

Dia harus menemui guru-gurunya ke sekolah atau menunggu gurunya yang datang ke rumah memberikan penugasan untuk belajar mandiri. Hari ini Pak Guru Bahasa Indonesia tidak bisa iya temui. Guru tersebut mengajar daring sambil berada di rumahnya saja. Kemungkinan besok dia baru bisa menemuinya di sekolah. Ayah Nia hanya pedagang sayur keliling. Subuh hari sudah berangkat ke pasar untuk membeli keperluan menjual. Setelah dzuhur baru ayahnya pulang. Sudah dicobanya menabung untung membelikan anaknya gawai untuk Nia belajar. Semua itu sia-sia, masa pandemi sekarag ini penjualan juga sepi. Tidak ramai seperti normal. Uang keuntungan jualan juga pasti digunakan buat istrinya berobat.  

Nadri sepupu Nia yang juga teman satu kelasnya bernasib sama.  Nadri sebagai anak laki-laki tidak mau berdiam diri. Tidak masuk normal ke sekolah seperti ini memberikan pengalaman yang berbeda dengannya. Awalanya dia bekerja untuk dapat membeli gawai buat belajar. Lama-kelamaan uangnya digunakannya untuk keperluan lain. Dia bekerja memotong karet di pagi hari dan membantu  menjaga tambak ikan siang dan sore harinya. Pengalaman mendapatkan uang dengan keringatnya sendiri membuatnya terbuai. Apalagi orang tuanya sudah tidak membiayai hidupnya lagi. Kedua orang tuanya bercerai dan memilih hidup dengan pasangan masing-masing. Keduanya tidak di desa lagi. Nadri tinggal dengan neneknya. Seandainya sekolah kembali masuk dia bertekad untuk berhenti. Tugas-tugas pun sudah tidak dikerjakannya. Berulang kali guru BK membujuknya untuk sekolah lagi.

"Kalau tidak bisa online, datang aja ke sekolah  untuk ketemu guru-guru buat belajar." Kata bu Miftah guru BK Nadri.

Nasehat tentang masa depan juga sudah diberikan. Nadri tetap pada pendiriannya. Dia tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Tidak cukup waktu untuk belajar. Baginya sekolah masa depannya untuk bekerja. Dan dia saat ini sudah bekerja.

***

 "Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak". Sapa Pak Guru di grup WA kelas.

 Di depan cermin Yunita membuka gawainya. Dilihatnya sebentar kemudian ditutupnya kembali. Dia tidak ingin kebahagiannya hari ini terusik grup kelas daring tersebut. Berdiri disampingnya seorang ibu yang memegang alat-alat make up. Dituliskannya pensil warna hitam ke alis Yunita. Tukang rias itu melakukannya dengan hati-hati. Hari ini Yunita memutuskan menikah. Sudah beberapa bulan ini dia jatuh hati dengan kak Udin, supir truk milik ayahnya. Semenjak kak Udin menjadi supir truk milik ayahnya. 

Yunita tidak konsentrasi sekolah daring. Meski mereka terpaut umur lumayan jauh : Yunita 14 tahun, Kak Udin 23 tahun. Apalagi Yunita tidak pergi ke sekolah saat pandemi ini. Pagi-pagi selalu dia temui laki-laki yang memikatnya. Awalnya belajar secara daring tetap dilakoninya setiap hari. Namun semenjak cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, mereka resmi menjalin kasih. Kasih anak muda yang terlalu muda untuk memahami hidup berumah tangga. Tetapi keputusan itu harus diambil. Ayah Yunita tidak ingin anaknya berlaku di luar batas. Menikahkan menjadi pilihannya. Toh dia kenal Udin juga pemuda yang baik dan bertanggung jawab. Mereka dinikahkan di bawah tangan. Tanpa ada pencatatan di KUA. Nikah secara sah agama saja sudah banyak dilakukan di desa ini. Menikah muda sudah bukan menjadi hal yang aneh. Terutama wanita. Pendidikan tinggi bukan tujuan utama.

Tiba-tiba notifikasi WA berbunyi lagi. Yunita buka lagi gawainya. Di grup pak Guru terdengar berbicara,

"Anak-anak, semoga kalian dalam keadaan sehat semua. Selasa yang lalu kita sudah mempelajari tentang unsur-unsur puisi. Nah hari ini kita akan belajar cara menulis puisi yang baik." Yunita terdiam  sebentar. Kemudian dia tersenyum. Semakin mantap dia menerima Kak Udin menjadi suaminya. Dia ingat Puisi itu. Puisi yang dikirimkan Kak Udin kepadanya. Tidak pernah dia temukan lelaki berpuisi seindah itu.

***

"Waalaikumsalam, pagi pak!" terpampang chat si Dawai di grup WA menjawab salam.

Dawai dengan semangat membalas chat Pak Guru. Hari ini belajarnya menggebu-gebu. Pak Guru menjanjikan akan kirimkan video buatannya. Sudah dibayangkannya video cerita pelajaran yang menarik. Ibu Dawai dengan setia mendampingi anaknya belajar.

"Anak-anak berikut bapak akan kirimkan video pembelajaran menulis puisi di grup WA ini. Bapak juga kirimkan di classroom. Di sana juga ada alamat web site yang bisa kalian baca. Nanti setelah selesai nonton dan baca kita diskusi di grup WA ini" jelas pak guru.

Dawai membuka tautan video yang dikirimkan Pak Guru. Isinya Pak Guru ceramah tentang cara menulis puisi. Lama-lama dia bosan lihat wajah gurunya seperti itu saja. Ceramah Pak Guru terdengar garing. Matanya mulai mengantuk.

"Ayo Dawai, baca lagi teks penjelasan di situs internet yang mama buka ini." Perintah ibunya.

 Dibukanya tulisan teori tersebut. Tak ada diskusi di grup WA kelas.  Semua membosankan. Dawai terhanyut dan tertidur pagi menjelang siang. Terpampang di classroom; tugas membuat puisi. Ibunya Dawai tertarik. Dibuatnya puisi cinta. Sudah  terbayang terus wajah Pak Guru di video pembelajaran menulis puisi tadi. Pak Guru memang menarik. Mirip almarhum suaminya. Dawai bermimpi, tugas puisinya pun jadi.

Jaz,

Sungai Ulin, Maret 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun