Menurut Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H, sudah menjadi pendapat umum yang sesat mengenai anggapan bahwa "azas praduga tak bersalah" dicantumkan dalam rumusan Pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Bambang Poernomo, 1988:148).
Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009:
"Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya".
Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009:
- "Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap".
- "Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa".
Apabila ditinjau dari ketentuan Pasal 6 ayat 2 dihubungkan dengan Pasal 8 tersebut.
Dapat dikatakan juga bahwa sesungguhnya kedudukan kedua pasal itu merupakan perwujudan dari rumusan konstruksi hukum yang terletak di dalam azas hukum pidana tentang "tiada pidana tanpa kesalahan".
Perbuatan pidana dan kesalahan yang dipertanggung jawabkan kepada seseorang,menjadi dua aspek hukum pidana yang harus diperhatikan dan harus diuji berturut-turut di muka pengadilan.
Tidak terbuktinya aspek perbuatan pidana berakibat putusan bebas dari tuduhan.
Dan meskipun perbuatannya terbukti namun aspek kesalahan yang harus dipertanggung jawabkan ternyata tidak terbukti maka berakibat putusan dilepas dari tuntutan hukum.
Di dalam pasal-pasal KUHAP tidak dirumuskan tersendiri azas praduga tak bersalah.
Selain dari keterangan yang terdapat dalam penjelasan umum nomor 3 sub c  yang artinya sejajar dengan "An act does not make a person guilty, unless the mind is guilty".
Pandangan para ahli hukum dan politik kriminil dari berbagai negara masih belum dapat menentukan pilihan mana yang paling jitu diantara azas praduga tak bersalah dan azas praduga bersalah untuk pola penegak hukum prosesuil dalam memberantas kejahatan.
Kedua azas penegakan hukum acara pidana itu merupakan dilemma dalam menyelenggarakan pemberantasan kejahatan.
Terutama bagi negara-negara yang masih berkembang.
Dalam rangka pola penegakan hukum yang berwibawa baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat serta keamanan negara.
Sudah sepatutnya secara selektif dan kondisionil dapat diselenggarakan proses perkara pidana memanfaatkan segi positif dari azas praduga tak bersalah atau azas praduga bersalah sesuai dengan kebutuhan untuk menanggulangi berbagai jenis kejahatan (Bambang Poernomo, 1988: 148).
Livingstone mengemukakan pendapat bahwa kebolehan suatu sistem penyelesaian perkara "due process model" dalam menyelenggarakan  hukum prosesuil berdasarkan azas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence).
Akan berhasil mengendalikan kejahatan dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia tersangka dalam kehidupan individu (Livingstone, 1973: 64).
Namun kelemahannya, apabila menghadapi residivis atau kejahatan akibat prisonisasi, akan mengalami berbagai kesulitan dan perkara menjadi berlarut-larut penyelesaiannya.
Penanggulangan kejahatan yang demikian itu walhasil dapat menimbulkan kepanikan dalam masyarakat yang akan memperlemah jaminan hak azasi manusia keseluruhan dalam kehidupan masyarakat (Bambang Poernomo, 1988: 149).
Sebaliknya HL Packer mengemukakan pendapat bahwa kebolehan suatu sistem penyelesaian perkara "crime control model" dalam penyelenggaraan hukum prosesuil berdasarkan azas praduga bersalah (Presumption of Gulity).
Akan berhasil mengendalikan kejahatan dengan cepat dan tepat, sehingga pada akhirnya dapat menjamin hak azasi manusia keseluruhan dalam masyarakat (HL Packer, 1969: 149).
Namun kelemahannya, apabila kemampuan para petugas hukum tidak memadai, akan menimbulkan berbagai kasus dan penyelesaian perkara tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum.
Penanggulangan kejahatan walhasil dapat terjadi perkosaan hak azasi manusia bagi orang yang terlibat perkara pidana (Bambang Poernomo, 1988: 149).
Azas Praduga tak bersalah agaknya tidak dapat dirumuskan dengan jelas dalam KUHAP.
Bukanlah suatu kebetulan saja melainkan sudah didasarkan pada hasil pemikiran tertentu yang mungkin langsung atau tidak langsung berkaitan dengan dilemma sistem penegakan hukum prosesuial dalam pencegahan kejahatan seperti uraian tersebut di atas.
Sementara pendapat mengemukakan jalan pikiran bahwa Pasal 66 Â KUHAP yang menentukan terdakwa tidak dibebani beban pembuktian.
Dan pasal-pasal KUHAP lainnya yang memuat istilah tersangka atau terdakwa mengandung perwujudan secara implisit dan eksplisit dari azas prraduga tak bersalah.
Walaupun tidak secara tegas namun banyak didapati pasal-pasal KUHAP yang dijiwai oleh azas praduga tak bersalah bagi setiap tersangka dan sekaligus menjamin hak azasi manusia secara keseluruhan dalam masyarakat.
Sebaliknya Pasal 64 KUHAP menentukan sidang terbuka untuk umum, sempat pula mengorbankan terdakwa dihakimi oleh publik/pers sebelum dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Ketentuan dalam KUHAP mengenai perkara dengan acara singkat dan acara kilat dianggap mengandung azas praduga bersalah.
Karena pertimbangan sifat perkara yang bersangkutan mudah pembuktiannya dan sederhana hukumnya.
Hakekat dari tugas penyidikan maupun penuntutan pada dasarnya dapat dianggap mengandung azas praduga bersalah untuk membantu mengukuhkan hasil pekerjaan Polri/Jaksa dalam sidang pengadilan menghadapi jenis perkara pidana yang tidak ringan (Bambang Poernomo, 1988: 149).
DAFTAR PUSTAKA
Hall, Livingstone. 1973. "The Rights of the Accused in Criminal Cases", Talks on America Law, Revised Edition, Edited by H.J. Berman. Washington DC: Voice of America Forum Lectur.
Packer, Herbert L.. 1969. The Limits of the Criminal Sanction. California: Stanfort University Press.
Poernomo, Bambang. 1988. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta: Amarta Buku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H