Jika Pasal 28 Ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 45 Ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dirumuskan dalam satu naskah, selengkapnya adalah sebagai berikut:
"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Tindak pidana ITE dalam Pasal 28 Ayat (1) terdiri dari unsur-unsur berikut:
- Kesalahan: dengan sengaja;
- Melawan hukum: tanpa hak;
- Perbuatan: menyebarkan;
- Objek: berita bohong dan menyesatkan;
- Akibat konstitutif: mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Unsur-unsur formal yang membentuk rumusan tindak pidana ditulis dalam cetak miring.
Tindak pidana ITE dalam Pasal 28 Ayat (1) dirumuskan secara materill.
Tindak pidana tersebut selesai sempurna bila akibat perbuatan telah timbul.
Perbuatan menyebarkan berita bohong yang menyesatkan telah menimbulkan akibat adanya kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Dalam hubungannya dengan unsur-unsur lain.
Sengaja artinya si pembuat menghendaki untuk menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, dan menghendaki atau setidaknya menyadari timbul akibat kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Si pembuat juga mengerti bahwa apa yang dilakukannya itu tidak dibenarkan (sifat melawan hukum subjektif), dan mengerti berita yang disebarkan isinya bohong dan mengerti dengan demikian akan mengakibatkan kerugian bagi konsumen transaksi elektronik.
Yang dimaksud dengan Transaksi Elektronik menurut Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (2) adalah Perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Sifat melawan hukum dirumuskan dengan  frasa "tanpa hak" bercorak dua, objektif dan subjektif.
Corak objektif, ialah sifat dicelanya perbuatan tersebut diletakkan pada kebohongan dan menyesatkan dari isi berita yang disebarkan.
Sementara bercorak subjektif, terletak pada kesadaran si pembuat tentang dicelanya perbuatan semacam itu oleh masyarakat yang diformalkan dalam Undang-Undang (Adami Chazawi, 2015: 129).
Bila dilihat dari sudut tercelanya perbuatan yang diletakkan pada isi berita dan akibatnya bagi pengguna/konsumen transaksi elektronik.
Maka mencantumkan unsur "tanpa hak" dirasa berlebihan.
Oleh sebab tidak mungkin terdapat adanya orang menyebarkan berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen transaksi elektronik yang dibolehkan.
Apakah mungkin disebabkan karena pembentuk UU ITE menganggap, bahwa "tanpa hak" diletakkan pada sebab si pembuat yang "tidak memiliki" sarana sistem elektronik yang digunakannya?
Misalnya mengirimkan E-mail dengan menggunakan E-mail orang lain tanpa ijin dari pemiliknya.
Apabila yang dimaksud demikian, mestinya bukan frasa "tanpa hak" yang digunakan dalam rumusan.
Melainkan "tanpa ijin".
Namun pendapat ini pun menjadi lemah, kalau dilihat dari perbuatan melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan sistem elektronik milik orang lain tanpa ijin dari yang berhak seperti itu, sebenarnya merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri (Adami Chazawi, 2015: 130).
Masuk pada Pasal 30 UU ITE:
- Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau. Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
- Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Kiranya pembentuk UU ITE telah lupa keterangan Memorie van Toelichting Wetboek van Strafrecht (MvT WvS) Belanda tentang latar belakang dalam hal apa unsur sifat melawan hukum itu perlu dicantumkan dalam rumusan.
UU ITE telah menjungkirbalikan doktrin hukum dalam MvT., yang menyatakan bahwa unsur melawan hukum perlu dicantumkan di dalam rumusan tindak pidana, hanya apabila dirasakan perbuatan itu dapat dilakukan oleh orang yang berhak.
Misalnya jika mendapatkan ijin dari yang berhak.
Untuk menghindarkan agar tidak dipidananya bagi mereka yang berhak melakukan perbuatan semacam itu, maka perlu unsur sifat melawan hukum dicantumkan dalam rumusan tindak pidana (Jan Remmelink, 2003: 187).
Berita bohong adalah berita yang isinya tidak sesuai dengan kebenaran yang sesungguhnya (materiele waarheid).
Menyebarkan maksudnya menyampaikan (berita bohong) pada khalayak umum in casu melalui media sistem elektronik.
Menyebarkan berita bohong tidak bisa ditujukan pada satu atau seseorang tertentu.
Melainkan harus pada banyak orang (umum).
Sesuai dengan frasa "menyesatkan , berita bohong itu dapat memperdaya orang.
Sifat memperdaya dari isi berita bohong yang disebarkan yang menyesatkan umum, sehingga menimbulkan akibat kerugian konsumen yang melakukan transaksi elektronik.
Kerugian yang dimaksud, tidak saja kerugian yang dapat dinilai uang, tetapi segala bentuk kerugian.
Misalnya timbulnya perasaan cemas, malu, kesusahan, hilangnya harapan mendapatkan kesenangan atau keuntungan dan sebagainya (Adami Chazawi, 2015: 131).
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami. 2015. Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik: Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Elektronik, Penerbit Media Nusa Creative, Malang.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H