Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dhammacakkappavattana Sutta: Ajaran Pertama Sang Buddha (bagian 2)

20 Juli 2011   13:30 Diperbarui: 31 Juli 2016   21:23 3884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan adalah untuk dilenyapkan. Mengetahui bahwa keinginan atas kesenangan indera, keinginan atas kelangsungan, dan keinginan atas pemusnahan diri adalah sebab penderitaan merupakan pengetahuan tentang Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan (sacca ñāna). Menyadari bahwa Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan ini seharusnya ditinggalkan dan dilenyapkan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia kedua ini seharusnya dilenyapkan (kicca ñāna). Mengetahui melalui pengingatan kembali bahwa Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan telah sepenuhnya dilenyapkan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia kedua ini telah dilenyapkan (kata ñāna).

Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan adalah untuk direalisasikan atau dicapai. Mengetahui bahwa pelepasan dan pelenyapan atas keinginan adalah lenyapnya penderitaan merupakan pengetahuan tentang Kebenaran Mulia ketiga ini (sacca ñāna). Menyadari bahwa Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan ini seharusnya direalisasikan dan dicapai adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia ketiga ini seharusnya direalisasikan (kicca ñāna). Mengetahui melalui pengingatan kembali bahwa Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan telah sepenuhnya direalisasikan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia ketiga ini telah direalisasikan (kata ñāna).

Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan adalah untuk dikembangkan atau dipraktekkan. Mengetahui bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan merupakan pengetahuan tentang Kebenaran Mulia keempat ini (sacca ñāna). Menyadari bahwa Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan ini seharusnya dikembangkan dan dipraktekkan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia keempat ini seharusnya dikembangkan (kicca ñāna). Mengetahui melalui pengingatan kembali bahwa Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan telah sepenuhnya dikembangkan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia keempat ini telah dikembangkan (kata ñāna).

Demikianlah, dengan memahami dan menyelami pengetahuan Empat Kebenaran Mulia dalam tiga aspek dan dua belas caranya ini, seseorang dapat mengakui bahwa dirinya telah mencapai Penerangan Sempurna karena pengetahuan ini membawa pada tujuan akhir, Nibbana. Ini juga tercermin dalam kalimat terakhir Sang Buddha: "Tidak tergoyahkan pembebasan pikiran-Ku. Inilah kelahiran terakhir-Ku, dan saat ini tidak ada kelahiran kembali lagi." Semua pengetahuan ini bukan semata-mata pengetahuan teoritis, melainkan pengetahuan dari hasil praktek kebijaksanaan pandangan terang seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Bagi seorang Buddha, pengetahuan ini diperoleh dengan upayanya sendiri, tanpa mendapatkannya dari guru mana pun. Walaupun dalam masa pencariannya, Pertapa Gotama berguru kepada Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, namun keduanya hanya mengajarkan beliau cara mencapai arupa jhana (tingkat pemusatan pikiran dengan menggunakan objek-objek yang tidak berbentuk), bukan pengetahuan atas Empat Kebenaran Mulia ini. Oleh sebab itu, disebutkan dalam teks sutta ini bahwa "berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan" (atas pengetahuan tentang Empat Kebenaran Mulia ini). Dengan alasan yang sama, pengetahuan ini disebut pengetahuan intuitif sejati atas Empat Kebenaran Mulia.

Akhir Kotbah

Setelah mendengarkan kotbah pertama ini, Kondañña mencapai apa yang disebut Mata Dhamma atau mata kebijaksanaan, yaitu pencapaian tingkat kesucian pertama (Sotapanna), dengan menyadari bahwa segala sesuatu yang muncul pasti tunduk pada kelenyapan. Ini adalah pemahaman sejati atas hukum sebab akibat yang saling bergantungan bahwa semua fenomena yang muncul karena sebab dan kondisi, di dalamnya terdapat sebab yang menyebabkannya lenyap kembali. Dengan mata kebijaksanaan ini, seseorang memandang segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu sebagai proses timbul dan lenyapnya fenomena karena sebab dan kondisi tertentu.

Sering dipertanyakan, bagaimana mungkin Kondañña hanya dengan mendengarkan kotbah ini dapat mencapai tingkat kesucian pertama? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Jauh pada masa lampau Kondañña telah mengembangkan kesempurnaan (parami) untuk menjadi seorang yang pertama kali mendapatkan Mata Dhamma pada masa Buddha Gotama ini. Dikisahkan pada masa Buddha Padumuttara, satu asankheyya dan seratus ribu kappa yang lampau, ia terlahir kembali sebagai seorang perumah tangga kaya. Melihat Buddha Padumuttara menyebutkan salah seorang siswa-Nya yang terkemuka di antara mereka yang pertama kali mencapai kesucian, sang perumah tangga bertekad untuk mencapai hal yang sama pada masa yang akan datang. Sejak saat itulah, dalam setiap kelahiran ia berlatih mengembangkan kesempurnaan guna memenuhi tekadnya. Pada kelahirannya sebagai Kondañña, ia dapat mencapai tingkat kesucian pertama karena latihan yang telah ia lakukan dari banyak kehidupan sebelumnya, yang disempurnakan pada saat mendengarkan kotbah ini.

Setelah kotbah ini dibabarkan, para dewa mulai dari yang terendah yang berdiam di bumi sampai pada para dewa brahma yang tertinggi meneriakkan seruan tentang pengajaran pertama ini yang tidak dapat diajarkan oleh siapa pun di dunia ini, kecuali seorang Samma Sambuddha, yang diberikan Sang Buddha di Taman Rusa di Isipatana, dekat Benares.

Seketika itu juga sepuluh ribu tata surya berguncang, bergoyang, dan bergetar dengan hebat. Dalam Mahaparinibbana Sutta, kotbah terakhir Sang Buddha sebelum wafat-Nya, dijelaskan tentang delapan sebab gempa bumi, yaitu:

  1. Bumi ini ditopang oleh air, air ditopang oleh udara, udara ditopang oleh ruang kosong; ketika terjadi gangguan pada udara, maka air akan mendapatkan tekanan dan lapisan bumi akan bergeser sehingga timbullah gempa bumi.
  2. Seorang pertapa atau dewa dengan kekuatan konsentrasinya menyebabkan bumi berguncang.
  3. Ketika seorang calon Buddha (Bodhisatta) meninggalkan surga Tusita untuk masuk ke rahim ibunya dengan penuh kesadaran, bumi berguncang dengan hebat.
  4. Ketika Bodhisatta keluar dari rahim ibunya dengan penuh kesadaran, bumi berguncang dengan hebat.
  5. Ketika Bodhisatta mencapai Penerangan Sempurna yang tiada bandingnya, bumi berguncang dengan hebat.
  6. Ketika Buddha memutar roda Dhamma, bumi berguncang dengan hebat.
  7. Ketika Buddha memutuskan untuk melepaskan proses yang menunjang kehidupannya, bumi berguncang dengan hebat.
  8. Ketika Buddha meninggal dunia dengan sempurna (Parinibbana), bumi berguncang dengan hebat.

Sebab pertama merupakan proses terjadinya gempa bumi secara alamiah, sedangkan tujuh sebab sisanya diakibatkan oleh kekuatan batin seorang pertapa, dewa, atau seseorang luar biasa yang akan atau telah mencapai Penerangan Sempurna. Terjadinya gempa bumi yang dahsyat sampai mengguncang sepuluh ribu tata surya saat kotbah pertama Sang Buddha ini adalah sebab keenam dari delapan sebab gempa bumi ini. Tak hanya itu, cahaya cemerlang yang melampaui cahaya para dewa meliputi seluruh alam semesta saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun