Belakangan ini sedang ramai polemik rencana impor KRL seri E217 dalam keadaan tidak baru dari perusahaan JR East di Jepang untuk menunjang operasional KRL Commuter Line.Â
Hal tersebut dikarenakan selama pandemi pihak KAI Commuter tidak melakukan pengadaan KRL sama sekali, sehingga kereta-kereta yang mereka operasikan banyak yang keburu usang sehingga harus diganti.
Bahkan, rencana pembelian KRL baru ke INKA yang sedianya sudah ada sejak 2019 terpaksa harus dihentikan dahulu pada tahun 2021 karena ketidakpastian akibat dampak dari pandemi.Â
Baru kemudian di tahun 2022, KAI Commuter dan INKA meneken nota kesepahaman pengadaan 16 rangkaian KRL baru, yang dilanjutkan dengan penandatanganan kontrak pada Maret 2023 lalu.
Sayangnya, pembelian KRL baru ini membutuhkan waktu yang lama. Asumsi penyelesaian rangkaian (trainset) pertama KRL baru ini adalah pada bulan ke-22 hingga bulan ke-24 yang akan jatuh pada bulan Januari-Maret 2025, yang mana masih memerlukan juga pengujian dan penyesuaian parameter di lapangan. Sedangkan untuk keseluruhan 16 rangkaian butuh waktu hingga 34 bulan, atau bulan Januari 2026.
Atas dasar rangkaian-rangkaian lama yang sudah keburu usang, KAI Commuter mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak-pihak terkait di pertengahan 2022 lalu, yang hasilnya adalah untuk mengatasi sebanyak 29 rangkaian yang keburu usang akan dilakukan penggantian atau replacement dengan mendatangkan unit-unit KRL dalam keadaan tidak baru dari Jepang.
Diketahui akhirnya KAI Commuter memilih KRL seri E217 dari JR East yang dapat didatangkan dalam susunan rangkaian atau stamformasi (SF) 12 kereta.Â
Rangkaian KRL SF12 ini sejalan dengan rencana angkutan KAI Commuter, KAI, dan Kementerian Perhubungan di mana angkutan KRL di Jabodetabek harus dapat mengangkut 1.2 juta penumpang per hari, dan akan ditingkatkan menjadi 2 juta penumpang per hari.
Sayangnya, walau sudah melakukan FGD, gayung masih belum bersambut karena terjegal oleh Kementerian Perindustrian dengan alasan pengutamaan produksi lokal walaupun KRL baru dari INKA baru akan selesai tahun 2025.Â
Padahal, KAI Commuter sudah mengantongi restu dari Kementerian Pehubungan dan Kementerian BUMN. Dari sinilah awal polemik terjadi, karena jika tidak ada pengadaan KRL, nasib sekitar 200 ribu penumpang harian bisa terkatung-katung.
Dari polemik ini kemudian muncul berbagai komentar dari berbagai pihak. Salah satu komentar bahkan menyebut status Indonesia sebagai negara anggota G20, sehingga menurut komentar tersebut Indonesia harus malu membeli barang bukan baru.Â
Namun, apakah benar Indonesia harus malu membeli barang bukan baru?
Malu membeli kereta bukan baru?
Sebenarnya, Indonesia tidak perlu malu membeli barang bukan baru. Praktek ini lumrah dilakukan pada alat transportasi, bahkan pesawat dan kapal laut pun banyak yang dibeli dalam keadaan tidak baru.Â
Tak hanya itu, mesin konstruksi dan bahkan mobil pemadam kebakaran pun ada yang diperoleh dalam keadaan tidak baru. Sebagai negara G20 sendiri, bukan hanya Indonesia yang pernah membeli kereta dalam unit bukan baru.
Tercatat ada Argentina yang pernah membeli KRL eks Jepang untuk layanan kereta bawah tanah di Buenos Aires. Ada pula Australia yang pernah membeli lokomotif bukan baru untuk berbagai keperluan, seperti angkutan tambang dan bahkan sekedar untuk langsir.Â
Bahkan, satu lokomotif bukan baru di Australia di antaranya merupakan lokomotif yang dirakit oleh INKA, BUMN manufaktur kereta api di Indonesia, yang sebelumnya beroperasi di Filipina.
Indonesia juga tidak sendiri di ASEAN. Tercatat ada Thailand, Malaysia, Vietnam, Laos, Filipina, dan Myanmar yang pernah mengimpor kereta bukan baru.
Thailand baru-baru ini mengimpor KRD seri 183 eks JR Hokkaido tahun lalu sebanyak 17 unit. KRD ini kemudian diperbaiki dan didandani oleh Balai Yasa Makkasan milik State Railway of Thailand sebelum beroperasi, sehingga terdapat penyerapan tenaga kerja. Thailand diketahui juga pernah mengimpor kereta penumpang dan lokomotif eks Jepang.
Layaknya di Indonesia, kedatangan KRD seri 183 eks JR Hokkaido ke Thailand juga menuai polemik pada saat masih berupa rencana. Tentu dikarenakan unit-unit KRD ini dianggap sudah tua. Namun siapa sangka, setelah beroperasi di Thailand justru KRD ini menjadi daya tarik utama wisatawan baik lokal maupun mancanegara di sana.Â
Hal ini serupa dengan keberadaan KRL eks Jepang di Indonesia yang menjadi daya tarik wisatawan asal Jepang, sehingga Indonesia mendapat devisa dari pariwisata.
Bahkan, pihak State Railway of Thailand selaku pihak yang mengimpor KRD ini sempat memberikan pernyataan berani. Operator perkeretaapian pelat merah Thailand tersebut mengumumkan bahwa KRD ini dapat dipakai hingga 50 tahun sejak mulai beroperasi di Thailand.
Malaysia, seperti Thailand, juga mengimpor kereta penumpang eks Jepang. Sementara Myanmar mengimpor banyak sekali unit KRD eks Jepang yang hingga kini masih beroperasi.Â
Demikian pula Filipina, malahan Filipina juga mengimpor KRL seri 203 eks JR East, yang setidaknya sampai saat ini masih beroperasi di Jabodetabek sebagai KRL, walaupun Philippine National Railways tidak memiliki jaringan terelektrifikasi.
Vietnam pernah mengimpor KRL eks Seoul Metro yang seperti KRL seri 203 di Filipina beroperasi dengan ditarik lokomotif karena tidak ada jaringan terelektrifikasi.Â
Sementara itu Laos memiliki lokomotif DF4B eks China Railway, yang awalnya digunakan dalam konstruksi Laos-China Railway namun kemudian "ditinggalkan" di Laos dan tidak kembali lagi ke Tiongkok.
Prinsipnya, membeli barang bukan baru adalah tentang kebutuhan dan kegunaan. Ketika butuh cepat, tentu pilihannya adalah membeli barang bukan baru, yang tentu saja masih dapat berguna dan berjasa hingga setidaknya belasan tahun ke depan jika tidak dilakukan peremajaan. Jika dilakukan peremajaan, bukan tidak mungkin bisa berguna dan berjasa hingga puluhan tahun ke depan.
Yang luput dari perhatian: Kereta-kereta eks Tiongkok di proyek kereta cepat
Sebelum terjadi polemik KRL bukan baru, sebetulnya sejak 2021 lalu penanggungjawab proyek kereta cepat Jakarta-Bandung telah mendatangkan ratusan unit kereta bukan baru dari Tiongkok.Â
Unit-unit tersebut terdiri dari 6 unit lokomotif tipe DF4B eks China Railway, 1 unit lokomotif tipe DF4C eks China Railway, puluhan gerbong barang angkutan rel dan batu balas (batu kerikil kecil di rel) yang juga eks China Railway, serta puluhan mesin perawatan dan konstruksi jalan rel.
Tentu saja hal tersebut hampir luput dari pemberitaan, dan baru masuk media massa ketika terjadi peristiwa gagal pengereman di Bandung Barat akhir tahun lalu.Â
Pun media massa tidak mengungkit tipe kereta yang mengalami gagal pengereman dan hanya menyebut "kereta kerja" sebagaimana rilis pers. Yang saat itu gagal pengereman adalah lokomotif DF4B nomor 7553 dengan unit mesin pemasangan rel.
Karena hampir tidak masuk media, hal ini sama sekali tidak menjadi polemik. Apalagi status proyek tersebut yang merupakan proyek strategis nasional. Bahkan hingga saat ini masih banyak masyarakat yang belum mengetahui keberadaan sarana-sarana eks Tiongkok tersebut.
Kereta bukan baru, jasa, dan penghobi, dan "bodo amat"-nya pengguna
Lewat keberadaan kereta bukan baru, padahal terdapat jasa kepada pengguna. Pengguna dapat terangkut, berangkat dan pulang tepat waktu, dan tidak perlu berdesakan atau menunggu terlalu lama hingga kereta lowong.Â
Pengguna juga sebenarnya tidak peduli alias "bodo amat" mau keretanya berasal dari mana, pengguna hanya peduli hal-hal yang telah disebutkan di kalimat sebelumnya.
Lewat kereta-kereta bukan baru juga secara tidak langsung proyek kereta cepat bisa dicitrakan positif. Pegiat Youtube saat ini banyak sekali yang mengunggah video progres proyek kereta cepat dan menampilkan kereta-kereta kerja eks Tiongkok di videonya.Â
Tak jarang pula ada unggahan video edukasi mengenai spesifikasi atau fakta-fakta menyenangkan tentang kereta-kereta eks Tiongkok tersebut.
Serius, pengguna KRL itu "bodo amat", tidak peduli KRLnya dibeli dari mana. Selain hal-hal tersebut di atas, pengguna KRL cuma peduli dengan panjang formasi KRLnya.
 Di kalangan transportasi, semuanya mungkin sudah mengerti kalau KRL SF8 sudah tidak lagi relevan untuk pengangkutan penumpang di wilayah Jabodetabek.Â
Terlebih Kementerian Perhubungan juga menargetkan angkutan 2 juta penumpang per hari, yang akan sangat mudah dicapai bila jumlah KRL dengan formasi 12 kereta lebih banyak dari saat ini. Apalagi KRL seri E217 akan diimpor dalam formasi SF12.
KRL tersebut pun dapat menyelesaikan pekerjaan rumah KAI Commuter yang masih belum selesai, seperti menambah perjalanan KRL SF12 di Line Bogor dan Cikarang, mengembalikan perjalanan KRL SF12 di Lin Tangerang, dan memperkenalkan perjalanan KRL SF12 di Lin Rangkasbitung.Â
Hal ini juga yang bisa saja menjadi salah satu dasar dukungan Kemenhub dan KemenBUMN kepada KAI dan KAI Commuter terhadap rencana impor KRL seri E217 ini.
Lagipula, penumpang KRL juga sudah tahu dan paham kalau selama ini KRL eks Jepang terkenal handal dan jarang gangguan. Mereka tidak mau jika ada resiko KRL sering mengalami gangguan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H