Pernikahan Wanita Hamil di Masyarakat
Pernikahan/perkawinan wanita hamil ialah pernikahan/perkawinan dengan seseorang wanita yang hamil di luar nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya. Dengan kalimat yang lain, pernikahan/perkawinan wanita hamil merupakan perkawinan yang didahului dengan adanya sebab perzinaan yang mengakibatkan kehamilan di luar perkawinan yang sah.
Perkawinan/pernikahan wanita hamil yang kerap terjadi dimasyarakat dapat ditelusuri akar penyebabnya. Mulai dari faktor ekonomi, sosiologis maupun yuridis. Faktor-faktor yang demikian merupakan faktor utama penyebab meningkatnya tren kasus pernikahan/perkawinan wanita hamil di Indonesia diluar faktor-faktor lain yang jarang terekspos seperti sebagai bentuk pertanggungjawaban atau bahkan bentuk penghindaran perkara pidana.
Â
Penyebab Terjadinya Pernikahan Wanita Hamil
Pergaulan dikalangan remaja sekarang sudah sangat mengkhawatirkan. Tidak sedikit diantara mereka yang terjebak dalam pergaulan bebas yang diakibatkan penyalahgunaan fasilitas teknologi seperti internet salah satunya. Maraknya budaya pergaulan bebas dalam hal ini, menyebabkan hilangnya norma dalam masyarakat dan pudarnya nilai Islami terutama dalam hal pernikahan. Pria wanita saat ini banyak menjalin hubungan sebelum menikah dan bahkan sampai melakukan hal hal yang dilarang dalam agama yaitu zina.
Faktor vital akan terjadinya kehamilan pranikah di kalangan remaja yaitu tingkat pengetahuan yang rendah/kurang tentang kesehatan reproduksi, lingkungan keluarga yang tertutup, dan sumber informasi tentang seksualitas yang tidak bertanggung jawab sehingga membuat mereka abai akan urgensi dari memahami hal-hal tersebut yang berujung pada terjadinya pernikahan wanita hamil.
Pandangan Ulama Mazhab Mengenai Pernikahan Wanita Hamil
Pemahaman mengenai tidak sahnya pernikahan ketika hamil berpedoman pada pertama, pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai ia melahirkan kandungannya.
Kedua, Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa menikahi wanita hamil karena zina dibolehkan bagi yang telah menghamilinya maupun bagi orang lain. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan, "Kalau satu orang mencuri buah dari satu pohon, ketika itu haram. Kemudian dia beli pohon itu, maka apakah buahnya tadi masih haram atau sudah halal? Itu sudah halal. Tadinya haram kemudian menikah baik-baik maka menjadi halal". Tapi agar tidak salah paham. Apakah dia terbebas dari dosa berzina ataukah dia terbebas dari murka Tuhan? Tentu tidak. Itu tadi dari segi hukum. Dalam pandangan madzhab ini, wanita yang zina itu tidak mempunyai iddah (masa tunggu). Adapun jika melangsungkan pernikahan, maka nikahnya tetap sah.
Pendapat yang ketiga dari Malikiyyah, tidak sah perkawinannya kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya dan ini harus memenuhi syarat, yaitu harus taubat terlebih dahulu.
Pendapat yang keempat dari Madzhab Hanafiyyah masih terdapat perbedaan pendapat, di antaranya :
1. Â Â Pernikahan tetap sah , baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak.
2. Â Â Pernikahan sah dengan syarat harus dengan laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh di kumpuli kecuali sudah melahirkan.
3. Â Â Boleh nikah dengan orang lain asal sudah melahirkan.
4. Â Â Boleh nikah asal sudah melewati masa haid dan suci, dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melewati masa istibro (masa menunggu bagi seorang wanita setelah mengandung).
Â
Tinjauan Sosiologis, Religius dan Yuridis tentang Pernikahan Wanita Hamil
1. Tinjauan Sosiologis
Pernikahan wanita hamil mencerminkan dinamika sosial kompleks dalam masyarakat, dipengaruhi oleh norma-norma sosial, budaya, dan gender. Di masyarakat konservatif, kehamilan di luar nikah seringkali dianggap sebagai pelanggaran norma moral, menyebabkan stigma dan penolakan sosial. Namun, di masyarakat inklusif, pernikahan wanita hamil dapat diterima sebagai tanggung jawab atas perbuatan. Beberapa faktor sosial yang memengaruhi kehamilan sebelum menikah termasuk pergaulan bebas, kurangnya pemahaman akan batasan pertemanan, dan pengalaman broken home yang mendorong pencarian kebahagiaan di luar rumah tangga.Â
2. Tinjauan Religious
Perspektif religius terhadap pernikahan wanita hamil sangat dipengaruhi oleh ajaran dan interpretasi agama tertentu. Dalam beberapa tradisi, seperti Islam dan Kristen yang konservatif, pernikahan wanita hamil bisa dianggap sebagai solusi untuk menghindari stigma moral yang terkait dengan kehamilan di luar nikah. Namun, dalam agama-agama lain, pandangan bisa lebih kompleks, mempertimbangkan konteks sosial, kondisi individu, dan nilai-nilai kemanusiaan. Minimnya pendidikan agama di kalangan remaja dan kurangnya pengawasan serta edukasi dari orang tua dapat menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya situasi seperti pernikahan wanita hamil di luar nikah dalam masyarakat.
3. Tinjauan Yuridis
Implikasi hukum dari pernikahan wanita hamil dapat berbeda-beda antara yurisdiksi. Beberapa negara melindungi hak individu yang terlibat, sementara yang lain melarang atau memberlakukan batasan ketat. Di negara-negara dengan hukum keluarga berbasis agama, kehamilan bisa mempengaruhi keabsahan pernikahan, sementara negara lain lebih menekankan usia dan kehendak bebas dalam menentukan validitas pernikahan. Secara yuridis, pernikahan wanita hamil dianggap sah jika memenuhi syarat perkawinan yang diatur dalam hukum Islam dan Undang-undang perkawinan. Anak yang lahir dalam pernikahan semacam itu dianggap sah dan dapat dinasabkan kepada ibu dan ayahnya sesuai hukum Islam, dengan syarat anak lahir sekurang-kurangnya enam bulan setelah perkawinan orang tuanya. Oleh karena itu, meskipun pernikahan wanita hamil dapat diakui secara hukum, masih penting untuk mempertimbangkan hak-hak dan status anak yang lahir dalam konteks tersebut.
Â
Langkah Preventif dan Edukatif Pernikahan Wanita Hamil
Generasi muda dan pasangan muda yang ingin membangun keluarga sesuai dengan regulasi dan hukum agama Islam sebaiknya melakukan hal-hal berikut:
1. Edukasi: Memperoleh pemahaman yang baik tentang ajaran Islam mengenai pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, serta tata cara dalam membentuk keluarga yang bahagia dan harmonis.
2. Memilih pasangan dengan bijak: Mencari pasangan yang sejalan dalam keyakinan, nilai, dan tujuan hidup, serta memiliki komitmen untuk membangun rumah tangga yang berlandaskan nilai-nilai Islami.
3. Taaruf (berkenalan): Memahami dengan baik calon pasangan melalui proses taaruf yang Islami, dengan pengawasan dan persetujuan dari keluarga masing-masing.
4. Pernikahan yang sah: Melakukan pernikahan sesuai dengan syariat Islam, termasuk memenuhi syarat-syaratnya dan mengikuti prosedur yang benar.
5. Kehidupan dalam pernikahan: Menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti saling menghormati, saling menyayangi, bekerja sama dalam membangun keluarga, dan menjalankan kewajiban agama serta tanggung jawab sosial.
6. Pembinaan keluarga: Berusaha memperbaiki diri secara terus-menerus, memberikan pendidikan agama kepada anak-anak, dan memperkuat ikatan keluarga melalui komunikasi yang baik, kebersamaan, dan dukungan satu sama lain.
7. Menghindari perbuatan yang dilarang oleh agama: Menjauhi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti perselingkuhan, pergaulan bebas, atau praktik-praktik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.
Dengan mengikuti prinsip-prinsip tersebut, generasi muda dan pasangan muda dapat membangun keluarga yang sesuai dengan regulasi dan hukum agama Islam, serta memberikan kontribusi positif dalam membentuk masyarakat yang Islami.
Moyang Raafi Wiguno      (222121008)
Nafisah Alya Prazdanissa   (222121013)
Nusaibah Ayu Febriani     (222121033)  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H