Mohon tunggu...
Marihot Simamora
Marihot Simamora Mohon Tunggu... -

Wiraswasta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gelisah di Dusun Sosor Topi Aek

4 Februari 2019   21:55 Diperbarui: 5 Februari 2019   02:33 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan foto: Suasana di Dusun Sosor Topi Aek, Desa Parbaju Toruan, Tarutung, Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, dijepret Januari 2016. (Foto by Mora)

Keturunan Kapala Nagari yang Sakti

Suasana Dusun Sosor Topi Aek tak berbeda dengan perkampungan pada umumnya. Namun ada sebuah fenomena menyebabkannya terasing. Warganya banyak yang mengalami gangguan jiwa. Bahkan hampir di setiap rumahtangga. Kondisi itu terjadi sejak 25 tahun lalu.

Sosor Topi Aek bukanlah dusun terpencil, sebab berada di Kecamatan Tarutung yang merupakan ibukota Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Bagian dari Desa Parbaju Toruan.

Tiga tahun lalu saya menyambangi dusun yang keganjilannya itu belum banyak diketahui publik. Dengan kendaraan bermotor hanya dibutuhkan sekitar 15 menit dari pusat Kota Tarutung. 

Akses jalan ke perkampungan itu cukup memadai. Dari pertigaan Bondar Sibabiat di Jalan Mananti Sitompul (Jalinsum Tarutung-Sipirok), jaraknya sekitar 500 meter.

Setelah melewati jalan beraspal sepanjang 350 meter, bersambung ke jalan rabat beton. Sebelum jalan semen itu ada, akses masuk ke dusun tersebut hanya jalan tikus dari tepian sungai. Tetapi kini sudah dapat dimasuki kendaraan roda empat.

Langit siang kala itu cukup cerah di kawasan dataran tinggi tersebut. Suasana dusun tampak tenang. Pintu rumah warga banyak yang tertutup. Hanya ada beberapa anak bermain. Mereka berlarian riang di halaman perkampungan.

Disusuri, dapat dihitung ada 8 unit rumah di sana. Posisinya berjejer hingga ke ujung kampung. Jarak antar rumah berkisar 10 hingga 30 meter. Ada yang sudah permanen dari beton, semi permanen, ada juga yang masih berdinding papan.

Mata pencarian warga di sana mayoritas bertani sawah dan ladang. Makanya di sisi kanan dusun terbentang hamparan sawah dan perladangan yang indah. Sebagian sawah tampak baru ditanami. Sebagian lagi sedang dipanen. Musim tanam padinya belum serentak.

Sedangkan sisi kiri dusun langsung berbatasan dengan Sungai Aek Situmandi, sebuah sungai besar yang membelah Rura Silindung (Kota Tarutung). Nama dusun ini sepertinya disesuaikan dengan letaknya. Sebab secara harfiah, Sosor Topi Aek berarti: tepian sungai.

Perempuan di kampung ini banyak yang bertenun kain ulos/selendang khas Batak. Dalam bahasa daerah disebut "martonun". Kerajinan tradisional rumahan itu sudah mereka tekuni secara turun-temurun. Hampir di setiap rumah ada perempuan yang melakoninya.

Tak gampang untuk bisa mahir "martonun". Apalagi dengan peralatan kerja yang masih serba manual. Dibutuhkan keterampilan, ketelitian dan ketekunan. Hasil penjualan ulos cukup membantu menopang ekonomi keluarga, terutama saat hasil tani sedang paceklik.

Berhenti di ujung dusun, ada dua rumah yang saling berhadapan. Salah satunya didiami keluarga Boru Simorangkir.

Pintunya diketuk, terdengar sahutan dari dalam rumah itu: "Horas dan Syalom...!". Sapaan itu menjelaskan bahwa pemilik rumah adalah penganut agama Kristen. Kami dipersilahkan masuk.

Boru Simorangkir adalah seorang perempuan yang sudah 20 tahun menjanda. Ia ditinggal mati suaminya yang merupakan mantan anggota TNI. Usianya sudah 84 tahun. Di rumah semi permanen yang sangat sederhana itu ia tinggal bersama keluarga anak sulungnya, Tapar Marisi Hutabarat (43) yang beristrikan Boru Sihite.

Menurut mereka secara umum kawasan itu adalah 'huta' (kampung) marga Hutabarat. Salah satu marga dari penduduk lokal yang populasinya telah berkembang dan menyebar.

Dusun Sosor Topi Aek adalah kampungnya Hutabarat Parbaju, keturunan dari Oppu Mallotom yang merupakan generasi ke-13. Saat ini keturunannya sudah generasi ke 17, 18, hingga 19. Itu artinya mereka telah mendiami dan menguasai kampung ini selama ratusan tahun.

Mengawali perbincangan kami, Tapar Marisi Hutabarat menceritakan sejarah leluhurnya itu.

Semasa hidup Oppu Mallotom adalah seorang "kapala nagari" semacam pejabat pemerintahan yang melingkupi beberapa perkampungan. Nomenklatur itu dipakai di tanah Batak pada masa penjajahan kolonial Belanda. Sekarang jabatan itu dapat dikategorikan setingkat dengan camat.

Selain berkuasa, Oppu Mallotom juga dikenal sebagai tuan tanah. Dia juga orang yang sakti. Konon, Oppu Mallotom memiliki ilmu kebatinan yang tinggi. Karena itu ia amat dihormati, baik oleh warga kampung maupun pihak Belanda.

Pada suatu hari, Oppu Mallotom mendadak sakit parah. Ia wafat di usianya yang sudah uzur.

"Menurut cerita para oppung (kakek) kami dulu, Oppu Mallotom wafat secara mendadak karena sakit, mungkin karena diguna-gunai orang," ujar Tapar Marisi.

Namun kematian sang penguasa kampung itu sempat dirahasiakan. Hanya keluarga terdekat saja yang mengetahuinya. Pihak keluarga kemudian menguburkan jasadnya secara diam-diam di suatu tempat.

"Itulah juga yang menjadi pergumulan bagi kami pomparan-nya (keturunannya) sampai sekarang. Karena kami sendiri belum tahu dimana makam dari Oppu Mallotom. Karena saat dia meninggal, jasadnya dikubur secara diam-diam oleh keluarga pada malam hari. Itu dilakukan agar kematiannya tidak diketahui pihak Belanda. Kami sudah berupaya mencari makamnya, tapi belum ditemukan," kata Tapar Marisi, diamini seorang kerabatnya Reynold Hutabarat (46).

Mengapa kematian itu dirahasiakan tentunya punya alasan. Menurut Tapar Marisi dan Reynold, jika kematian Oppu Mallotom diketahui warga kampung, apalagi oleh pihak Belanda, maka dikhawatirkan terjadi gejolak dan keributan.

Dan sebelum wafat, Oppu Mallotom masih sempat mewariskan jabatan kapala nagari kepada adiknya, Oppu Rumah Gajah. Oppu Mallotom tak ingin jabatannya itu jatuh ke pihak lain. Sebab memang banyak orang yang mengincar posisi berpengaruh itu.

"Sebelum beliau meninggal, besluit-nya (surat pengangkatan sebagai kapala nagari) diberikan kepada adiknya Oppu Rumah Gajah. Makanya untuk beberapa lama orang tidak tahu, bahkan pihak Belanda, bahwa Oppu Mallotom sebenarnya sudah meninggal," timpal Reynold Hutabarat.

Saat Terang Bulan, Perempuan Itu Bernyanyi dan Menari

Meski leluhurnya adalah seorang kapala nagari, tetapi sekarang kehidupan sosial dan ekonomi warga Dusun Sosor Topi Aek begitu terpuruk. Ditambah lagi sejak 25 tahun lalu muncul sebuah fenomena psikologis. Warganya banyak mengalami gangguan kejiwaan.

Raut wajah Boru Simorangkir pun berubah. Gurat keriput di keningnya bergerak.

"Dang huboto hami amang, mungkin nunga nasib nami songon on. Hape sude na malo-malo do di parsikolaanna (Kami tidak tahu, mungkin sudah seperti itulah nasib kami. Padahal semua pintar semasa sekolah)," ujar Boru Simorangkir ketika ditanya perihal penyakit itu.

Wajahnya memancarkan kesedihan mendalam. Dengan mata berkaca-kaca dia menceritakan bahwa tadinya ia memiliki enam anak. Tetapi tiga diantaranya berakhir menyedihkan, mengalami gangguan jiwa.

Awalnya putra keduanya yang terserang penyakit itu. Saat itu usianya 25 tahun. Dua tahun kemudian, pria malang itu meninggal dunia. Saat itu ia masih lajang.

"Waktu itu masih sempat kubawa berobat ke Padang Bulan di Medan. Tapi dokternya bilang tidak ada sakitnya. Hanya saja ada cita-citanya yang belum tercapai. Dia memang ingin kuliah setamat dari STM. Dia itu pintar, selalu juara di sekolahnya. Minta kuliah, tapi kami tidak sanggup. Gangguan jiwanya itu suka ketawa sendiri, lalu suka berjalan-jalan, keluyuran tak tentu tujuan," ucap Boru Simorangkir seraya menyeka airmata di pipinya.

Kedua kali menimpa anak keempatnya yang juga laki-laki, kini berusia 48 tahun. Sudah menikah dan dikaruniai 6 anak. Tinggalnya masih di dusun itu.

Yang ini terkena gangguan jiwa beberapa tahun lalu sekembalinya dari perantauan. Dari cara dan gaya bicaranya, sepertinya dia terobsesi menjadi seorang politikus. Kebetulan siang itu dia datang ke rumah ibunya Boru Simorangkir dan berbaur.

"Dia ini suka menulis-nulis di kertas tentang hal-hal yang berbau politik dan pemerintahan. Kertas yang ditulisinya itu kemudian dikirim entah ke mana melalui kantor pos," kata Tapar Marisi Hutabarat, menjelaskan kondisi abangnya itu.

Dia sempat memperlihatkan sepucuk contoh surat yang pernah ditulisnya. Kalimatnya agak ngawur. Tapi ia memang terobsesi. Meski begitu, tingkat kegilaannya tidak separah saudaranya yang lain. Pada saat-saat tertentu dia masih mau bekerja sebagai tukang bangunan.

Lalu yang ketiga penyakit serupa juga menimpa anak perempuannya. Ia lahir tahun 1965. Kejiwaannya mulai terganggu pada usia 19 tahun. Padahal pada masa itu ia sedang tumbuh dewasa dan berparas cantik. Meski hanya tamat SMP, namun ia sudah mahir dan tekun "martonun".

Boru Simorangkir mengatakan, awalnya putrinya itu mengalami demam tinggi selama 3 hari 3 malam dan tidak mau makan. Setelah demamnya reda, mental dan perilakunya mulai berubah. Dia tidak lagi peduli pada penampilan dan kebersihan tubuhnya. Suka berbicara seorang diri dan keluyuran berjalan kaki.

Kini perempuan itu dirawat di rumah itu. Setiap hari dia hanya mondar-mandir di dapur dan halaman samping rumah. Karena jarang mandi, pakaiannya lusuh dan kotor.

Tetapi saat diminta untuk difoto, dia tidak menolak, bahkan tampak percaya diri dalam berpose. Diajak berdialog pun masih respon, meski kemudian jawaban dan bicaranya ngelantur.

"Kalau terang bulan dia suka bernyanyi-nyanyi sambil menari. Mandi malas, hanya 2 kali seminggu. Tapi kalau makannya normal," ujar Boru Sihite, istrinya Tapar Marisi Hutabarat, orang yang sehari-hari merawatnya.

Reynold Hutabarat mengakui bahwa hampir di tiap rumah di dusun itu ada yang terkena penyakit tersebut. Fenomena tak wajar itu tidak hanya mendera warga yang tinggal di dusun itu. Beberapa yang berada di perantauan pun tak luput. Akhirnya mereka dikembalikan ke kampung.

Berdasarkan informasi dari petugas dinas sosial daerah setempat, data terakhir tahun 2015 menyatakan ada 11 orang dalam 9 KK warga dusun itu yang menderita gangguan kejiwaan.

Meski data itu berbeda dengan keterangan warga, dimana menurut mereka hanya ada 7 orang yang terkena.

Rata-rata warga yang terkena menunjukkan gejala secara mendadak. Mental dan perilakunya berubah menjadi tidak normal. Menjadi sering bicara sendiri dan ngawur. Tidak lagi peduli dengan kebersihan diri sendiri. Ada juga yang jalan-jalan keluyuran tak tentu arah, dan jika merasa terganggu bisa mengamuk.

"Pernah ada dua yang dipasung dalam sebuah kamar di belakang rumahnya. Karena mereka suka keluyuran dan mengamuk. Tapi karena kemudian pemasungan dilarang, maka dibiarkan berkeliaran sampai akhirnya meninggal karena sakit," kata Reynold.

Apakah telah diketahui penyebabnya?

Hingga saat ini warga sendiri tidak tahu. Dan memang belum pernah dilakukan penelitian ilmiah yang mendalam atas kasus yang terbilang tidak wajar ini. Yang pernah dilakukan hanya pemeriksaan air bersih yang dipakai warga, oleh instansi terkait daerah setempat.

"Kami tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Yang pernah diteliti pihak dinas kesehatan dari kampung kami ini hanya air bersih yang sehari-hari kami konsumsi, hasilnya tidak ada masalah. Tapi beberapa waktu lalu atas permintaan kami, pemerintah daerah sudah setuju akan membangun sarana MCK (mandi, cuci, kakus) di dusun ini, lahannya sudah kami berikan. Sejak dulu kami memang mengandalkan sungai untuk keperluan MCK," ucap Reynold.

Kepala Desa setempat, Tohom Hutabarat juga membenarkan terjadinya fenomena aneh di dusun itu. Namun keluarga para penderita tidak dapat berbuat banyak. Mereka tidak mampu memberikan pengobatan atau rehabilitasi secara berkesinambungan.

"Kondisinya memang seperti itu. Tapi apa boleh buat, keadaan (ekonomi keluarga) yang membuat mereka tidak sanggup merehabilitasinya," kata Tohom.

Ingin Gelar Ritual "Martonggo"

Sesungguhnya ada pergumulan batin yang amat besar di balik fenomena psikologis yang tengah mendera warga. Mereka ingin "martonggo" atau menggelar ritual doa agar kelak jangan ada lagi warga yang mengalami gangguan jiwa.

Harapan itu tergambar di raut wajah Boru Simorangkir. Meski tak diungkapkannya secara mendalam, namun dapat dibayangkan bagaimana beratnya cobaan kehidupan perempuan tua itu tatkala tiga dari enam anaknya menderita gangguan jiwa.

"Kami hanya pasrah dan berdoa kepada Tuhan, jangan ada lagi yang terkena sakit," ungkap Boru Simorangkir.

Kegelisahan serupa dirasakan keluarga penderita lainnya. Mereka tidak menampik bahwa sejak fenomena ganjil itu muncul, ada banyak anggapan miring. Ada yang menyebutkan bahwa dusun itu sedang dihukum atau semacam terkena kutukan. Ada juga yang bilang mereka terkena karma. Dan beragam cerita yang berbau mitos lainnya.

Namun Tapar Marisi dan Reynold membantah anggapan itu. Menurut mereka, sejak masuknya ajaran injil ke Tanah Batak, kakek buyut mereka adalah orang-orang yang taat beragama. Bahkan generasi sebelum mereka banyak yang menjadi penatua gereja.

"Oppung-oppung kami dulu sudah banyak yang sintua (penatua gereja, red). Sampai sekarang ajaran agama itu juga kami percayai. Jadi kalau dibilang dulu oppung kami jahat, itu tidak benar," kata Tapar Marisi.

Dikatakannya lagi, sejak lama mereka sudah berniat menggelar doa bersama. Melalui ritual itu, mereka ingin memohon kepada Tuhan agar warga yang sakit diberikan kesembuhan, warga dijauhkan dari segala musibah, dan memohon pengampunan dosa.

Doa bersama ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai upaya terapi psikoreligius bagi para penderita. Niatan itu pun terungkap saat perwakilan warga kampung setempat didaulat menyampaikan kata sambutan pada perayaan Natal warga desa.

"Memang keinginan itu (martonggo) sudah pernah digagas, tapi mungkin karena masih banyak halangan, terutama soal kesatuan hati kami, maka belum bisa terwujud," pungkas Tapar Marisi.

Berdasarkan ilmu kedokteran, secara umum gangguan kejiwaan dapat didefenisikan sebagai kelainan pola psikologis atau perilaku yang tidak sesuai kondisi atau perkembangan normal manusia. Tandanya dapat dilihat dari terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi pancaindera.

Ada banyak jenis dan tingkatan penyakit mental ini. Metode pengobatan pun beragam, mulai dari terapi hingga rehabilitasi.

Sedangkan penyebabnya bisa karena faktor keturunan atau genetik (zat-zat neurokimia dalam otak tak seimbang), labil psikologis, dan lingkungan sosial.

Meski tak langsung menyebabkan kematian, namun dampak sosialnya sangat serius, seperti halnya berupa penolakan, pengucilan, diskriminasi, juga berdampak ekonomi terhadap si penderita maupun keluarganya.

Semoga kegelisan warga Dusun Sosor Topi Aek dapat sirna. Sebab doa memiliki kekuatan pemulihan yang sangat dasyat. (*)

*) Catatan: Tulisan ini saya garap pada Januari 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun