Mohon tunggu...
Marihot Simamora
Marihot Simamora Mohon Tunggu... -

Wiraswasta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gelisah di Dusun Sosor Topi Aek

4 Februari 2019   21:55 Diperbarui: 5 Februari 2019   02:33 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan foto: Suasana di Dusun Sosor Topi Aek, Desa Parbaju Toruan, Tarutung, Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, dijepret Januari 2016. (Foto by Mora)

Tak gampang untuk bisa mahir "martonun". Apalagi dengan peralatan kerja yang masih serba manual. Dibutuhkan keterampilan, ketelitian dan ketekunan. Hasil penjualan ulos cukup membantu menopang ekonomi keluarga, terutama saat hasil tani sedang paceklik.

Berhenti di ujung dusun, ada dua rumah yang saling berhadapan. Salah satunya didiami keluarga Boru Simorangkir.

Pintunya diketuk, terdengar sahutan dari dalam rumah itu: "Horas dan Syalom...!". Sapaan itu menjelaskan bahwa pemilik rumah adalah penganut agama Kristen. Kami dipersilahkan masuk.

Boru Simorangkir adalah seorang perempuan yang sudah 20 tahun menjanda. Ia ditinggal mati suaminya yang merupakan mantan anggota TNI. Usianya sudah 84 tahun. Di rumah semi permanen yang sangat sederhana itu ia tinggal bersama keluarga anak sulungnya, Tapar Marisi Hutabarat (43) yang beristrikan Boru Sihite.

Menurut mereka secara umum kawasan itu adalah 'huta' (kampung) marga Hutabarat. Salah satu marga dari penduduk lokal yang populasinya telah berkembang dan menyebar.

Dusun Sosor Topi Aek adalah kampungnya Hutabarat Parbaju, keturunan dari Oppu Mallotom yang merupakan generasi ke-13. Saat ini keturunannya sudah generasi ke 17, 18, hingga 19. Itu artinya mereka telah mendiami dan menguasai kampung ini selama ratusan tahun.

Mengawali perbincangan kami, Tapar Marisi Hutabarat menceritakan sejarah leluhurnya itu.

Semasa hidup Oppu Mallotom adalah seorang "kapala nagari" semacam pejabat pemerintahan yang melingkupi beberapa perkampungan. Nomenklatur itu dipakai di tanah Batak pada masa penjajahan kolonial Belanda. Sekarang jabatan itu dapat dikategorikan setingkat dengan camat.

Selain berkuasa, Oppu Mallotom juga dikenal sebagai tuan tanah. Dia juga orang yang sakti. Konon, Oppu Mallotom memiliki ilmu kebatinan yang tinggi. Karena itu ia amat dihormati, baik oleh warga kampung maupun pihak Belanda.

Pada suatu hari, Oppu Mallotom mendadak sakit parah. Ia wafat di usianya yang sudah uzur.

"Menurut cerita para oppung (kakek) kami dulu, Oppu Mallotom wafat secara mendadak karena sakit, mungkin karena diguna-gunai orang," ujar Tapar Marisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun