Mohon tunggu...
Monika Ekowati
Monika Ekowati Mohon Tunggu... Guru - Seorang biarawati Tarekat SND--> ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Betapa indahnya hidup ini, betapa saya mencintai hidup ini, namun hanya DIA yang paling indah dalam Surga-Nya dan dalam hidupku ini, saya akan mencintai dan mengabdi DIA dalam hidupku ini ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Semburat Putih Pelangi Kasih Episode 40, Tarung Gendala 1

25 Agustus 2021   12:35 Diperbarui: 25 Agustus 2021   12:52 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

mengeroyokku .

"Sungguh kalian tidak tahu diutung dan tidak bisa diajak bersahabat. Kalian pinjam kalungku, sudah kupinjami mengapa kalian mempermainkan aku?" begitu saja kataku mengalir.

Bui merasa tidak terima karena adiknya jatuh. Dia mencoba menendangku, tapi secepat kilat kuhindari, dan aku melompat ke atas sehingga gerakan kibasan dariku membuatnya terjungkal. Setelah aku mendarat kembali ke tanah, Sekung berusaha menjambak rambutku, tapi aku segera mengibaskan rambutku sehingga menampar mukanya seperti kuda yang marah mengibaskan ekornya.

Semua gerakanku ini kulakukan dengan spontan. Aku sendiri tidak menyadari kalau setiap gerakanku dapat menyerang balik serangan lawan. Badanku begitu ringan, bahkan hanya kuputarkan saja sudah membuat gerakan hantaman.

Karena serangan mereka dapat kutangkis dengan mudah dan membuat mereka kehabisan akal, sambil menahan rasa sakit mereka langsung lari menjauh.

 

"Aku senang berteman dan bersahabat, tapi jangan mempermainkan dan mengejekku. Kalian sudah keterlaluan dan tidak pernah menghargai orang lain. Betapa sering banyaknya warga padepokan ini kau rendahkan dengan ulahmu. Mereka semua diam, tapi aku tidak."

Aku meneruskan pekerjaanku di ladang memanen kacang. Setelah satu jam aku berhenti. Kugendong dunak (tempat panen dari bambu) dengan kain selendang di belakang punggungku. Aku bergegas pulang ke padepokan.

Di sana Bui, Rungkut, dan Sekung menghadangku. Mereka mengelilingiku, bahkan sekarang mereka membawa tongkat, tali, dan clurit. Mereka meminta kalungku dengan paksa. Tentu saja aku tidak memberikannya. Tanpa hirau aku terus berjalan sambil menggendong dunak.

Mereka menyerangku dari segala arah. Entah mengapa aku merasa tubuhku begitu ringan hingga bisa melayang ke udara, menendang dan mengenai tubuh mereka dari atas, seolah-olah aku punya kekuatan Gatotkaca tokoh dalam pewayangan, anak Bima yang bisa terbang.

Melihat aku bisa melayang dan menendang sekalipun aku masih menggendong dunak yang penuh berisi kacang, mereka sangat heran. Lebih heran lagi, kacang itu tidak tumpah ketika aku melayang jungkir balik dengan cepat. Mereka bertiga babak belur karena tendanganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun