Mohon tunggu...
Monika Ekowati
Monika Ekowati Mohon Tunggu... Guru - Seorang biarawati Tarekat SND--> ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Betapa indahnya hidup ini, betapa saya mencintai hidup ini, namun hanya DIA yang paling indah dalam Surga-Nya dan dalam hidupku ini, saya akan mencintai dan mengabdi DIA dalam hidupku ini ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Semburat Putih Pelangi Kasih Episode 29, Perutusan Misi Jiwa Kelana (2)

12 Agustus 2021   11:34 Diperbarui: 12 Agustus 2021   11:42 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perutusan,  Misi  Jiwa  Kelana (2)

Cerita  sebelumnya :

 

"Ya, syukur akan anugerah Sang Hyang Widhi kalau Ning dianugerahi pasuryan (wajah dan penampilan) seperti anak raja," katanya. "Kalau anak seorang demang saja seperti Ning Sanggra yang luar biasa tatakramanya dan berkulit halus, bagaimana lagi Putri Raja Daha, ya?"   ( Bersambung )

 

Walaupun tampil sesederhana mungkin, rupanya darah keprabon yang mengalir dalam diriku tidak dapat menyembunyikan apa yang kumiliki. Terlebih karena aku rajin berlatih kanuragan dan olah kerohanian yang membuat auraku semakin memancar.

Orang melihat dan bisa menduga-duga bahwa aku adalah seorang yang menyamar, terlebih kalau yang bertemu denganku adalah orang yang punya tataran kesaktian yang tinggi, pasti tahu jati diriku yang sebenarnya.

 Aku berusaha bersikap tenang. Lalu aku meminta izin kepada Pak Lurah agar diperbolehkan membantu menanam padi. Dengan senang hati Pak Lurah dan Pak Karmo mengizinkan aku masuk ke area persawahan.

 

Baru kali ini saya masuk lumpur, bersama-sama menanam padi. Sambil bekerja pikiranku melayang dalam permenungan dari padi yang sebutir kini tumbuh menjadi rumpun yang menghijau. Dengan kerja keras para petani yang menyiangi tanaman liar, rumpun padi itu akan berkembang, dan dalam tiga atau empat bulan kemudian siap dipanen.

Bulir padi yang meranum itu merunduk karena banyak isi. Demikian pula orang yang banyak menyimpan ilmu juga merunduk penuh kerendahan hati agar ilmu yang dikandung itu semakin matang, siap dituai untuk kepentingan orang banyak. Aku terus berjalan mundur sambil membungkuk agar benih padi yang kutancapkan tertanam dengan baik dan tumbuh dengan sempurna.

Sambil bekerja, pikiranku merenung. Betapa sepiring nasi yang siap disantap itu membutuhkan pekerjaan dan jerih lelah banyak orang. Setelah dituai, bulir gabah akan dijemur, selanjutnya bulir gabah dipisahkan dari tangkainya. Tangkai yang disebut merang itu bisa dimanfaatkan dengan dibakar dan direndam air hujan, lalu ditiriskan dengan kain.

Airnya yang disebut air londho digunakan untuk mencuci rambut kaum perempuan agar rambut menjadi hitam dan kuat. Inilah anugerah alam dari Sang Hyang Widhi. Dengan perantaraan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan, padi dijaga sehingga tumbuh dengan baik dan bebas dari hama dan hasil panen melimpah.

Sedangkan gabah itu sendiri nantinya akan ditumbuk, dipisahkan dari kulitnya. Kulit yang kasar bisa dijadikan bahan bakar untuk membuat batu bata, sementara dedak atau kulit yang halus dimanfaatkan sebagai pakan ternak: ayam, bebek, dan enthok, atau dicampur rumput untuk makanan kuda.

Betapa selarasnya alam ini. Semua telah diatur dengan baik oleh Sang Sumber Hidup agar makhluknya mendapat makanan, semua saling melengkapi, tinggal manusia yang harus bijak mengolah dan memelihara alam sehingga tidak rusak.

Beras yang sudah ditumbuk hingga putih kemudian dijual atau dimasak oleh para petani, juga sebagai persediaan makanan untuk beberapa bulan. Selanjutnya para petani bekerja menanam, menyiangi, menuai, membajak, menggaru, dan meluku sawah agar dapat ditanami lagi.

Tiba-tiba dalam permenunganku dan pekerjaanku itu aku dikejutkan dengan

 suara jeritan seorang wanita. Para pekerja menoleh ke arah suara jeritan itu.

"Ada apa, Tarni?" seseorang datang menghampiri.

"Aduh! Sakit sekali. Mungkin kakiku diisap lintah!"

Tanpa diminta, Suti, teman yang tadi bertanya, beranjak naik dan berjalan menuju gubuk. Dia kemudian buru-buru kembali sambil membawa segenggam tembakau yang biasanya untuk menginang.

 Tembakau itu dibasahi dengan air lalu dikucurkan di kaki Tarni, Kedua lintah yang menempel itu pun terlepas setelah terkena air tembakau dan mengerut menjadi kecil. Suti mengosok-gosok bekas luka itu dengan tembako yang digenggamnya, sementara Warni sudah memegang daun sirih dan meremasnya, lalu mengusapkannya di bekas luka supaya tidak infeksi.

"Matur nuwun (Terima kasih), Suti, Warni atas bantuanmu."

"Ya, Tarni. Untung ya, ada Mbah Karto yang selalu membawa ubo rampe, perlengkapan menginang sehingga kalau ada yang kena lintah bisa langsung ditangani."

"Iya, ya ... terima kasih juga pada Mbah Karto, ya, Mbah."

"Ya, ya, Nduk, ternyata ada gunanya, kan, menginang, selain membuat gigi

 kuat."

"Ya, Mbah," jawab kami serempak.

Beberapa waktu kemudian Mbah Karto memanggil kami untuk berkumpul di gubug. Rupanya Bu Lurah sudah mengirimkan makanan untuk makan siang. Kami pun segera naik dan membersihkan diri, siap untuk beristirahat dan makan siang.

Dari percakapan sepanjang makan siang, aku jadi mengerti bahwa beras yang didapat dari hasil panen bisa dipakai untuk makan selama satu tahun. Bahkan terkadang sebelum habis mereka sudah mendapat beras hasil panen tahun ini. Jadi, soal makanan, mereka tidak kekurangan. Sayur mayur dan buah-buahan diambil dari hasil kebun mereka. Bahkan mereka juga bisa menjual hasil kebun ke pasar terdekat maupun pasar besar di kota.

"Yuk, makan, yuk. Ini nasi jagung masih hangat," seru mbah Karto. "Ini

sesuai dengan permintaan kita kemarin, minta dibuatkan nasi jagung."

"Ini sayur apa, Mbah?" tanyaku. "Oh, ini sayur talas lumbu disayur asem,

Ning. Belum pernah makan, ya? Ayo, cobalah. Enak, kok, seger. Oh, ya,

namamu siapa? Tinggalnya di mana? Kok saya baru melihat...."

"Saya Sanggra, Mbah, tinggal di rumah Pak Karmo.

Saya dari Padepokan Liman Seto Desa Nglengkir."

"Oh, padepokan Maha Mpu Baradha itu?"

"Iya, Mbah. Apa Mbah pernah ke sana? Atau kenal dengan Eyang Mpu?"

"Wah, tidak, Ning. Tempatnya jauh. Mbah sudah tidak kuat kalau harus pergi ke sana. Apalagi tidak ada kendaraan yang menuju kesana. Paling sampai ke Jepon, terus naiknya sampai ke Gunung Mayit kan jauh."

"Oh, jadi Mbah tahu arah tempatnya?" tanyaku.

"Ya, tahu. Dulu sewaktu masih muda, saya jualan tikar sampai ke sana, lalu menjual gedhek bersama suamiku sampai Jepon, Jejeruk, dan belum lama ini sampai ke daerah Nglengkir yang letaknya di kaki Gunung Mayit itu."

"Mbah juga tahu kisah Gunung Mayit?"

"Ya. Mbah tahu sedikit. Menurut orang-orang, Gunung Mayit itu sangat angker. Siapa saja yang datang ke sana biasanya tidak kembali. Tapi ada juga yang bilang tempatnya bagus. Pemandangannya indah. Apalagi kalau sudah sampai ke puncak, seluruh kota Blora bisa terlihat di kejauhan, dikelilingi oleh hutan belantara yang lebat. Tapi setelah Maha Mpu Baradha tinggal di sana dan mendirikan padepokan, Gunung Mayit tidak angker lagi dan menjadi tempat yang aman dan nyaman. Malahan, menghasilkan banyak pendekar dan orang pintar yang punya tujuan luhur untuk membangun negeri."

"Asalmu dari mana, Ning? Apakah kamu juga nyantrik? Kamu ini masih muda, ayu lagi. Badanmu bagus, kulitmu halus ... kok orangtuamu mengizinkan pergi jauh," tanya Mbah Karto.

"Saya berasal dari Daha, Mbah. Saya memang nyantrik. Ingin menambah ilmu supaya saya bisa mengajar para wanita di daerahku, selagi orangtuaku mengizinkan."

"Siapa namamu tadi? Ning Sanggra? Nama yang bagus sekali seperti nama seorang putri raja, atau paling tidak nama para priyayi Brahmana."

"Nggak, kok, Mbah, bapak saya hanyalah seorang demang, biasa hidup di tengah rakyat. Tapi bapak saya memang terbuka bahwa anaknya harus belajar agar lebih pintar daripada orangtuanya. Walau saya ini wanita, bapak mengharapkan saya bisa mandiri dan membantu banyak orang dalam berkiprah di tengah masyarakat."

"Wah, luar biasa orangtuamu, Ning, memberi kesempatan kepada anaknya untuk maju. Daha dan Blora kan jauh sekali. Naik apa kamu ke Blora?" tanya Mbah Karto lagi.

"Naik kuda, Mbah," jawabku.

"Berapa lama perjalanan dari Jawa Timur ke Jawa Tengah?"

"Empat hari tiga malam," jawabku.

"Wah, wah, perjalanan yang melelahkan. Kau tidak takut? Bermalam di mana waktu itu?" tanya Suti dan Warni silih berganti.

"Saya, diantar paman saya, jadi ya tidak takut. Paman saya pemberani. lho. Kami bermalam di rumah penduduk yang kebetulan kami temui."

"Apa setiap penduduk menerimamu? Apa mereka tidak curiga?"

"Tidak, saya merasa para penduduk sangat baik. Lagi pula kami membawa surat lontar dari baginda raja, karena bapak saya di bawah kekuasaan kerajaan Daha dan Baginda tahu niat baik kami."

"Wah, raja yang penuh perhatian kepada rakyatnya."

"Ya, rajanya sangat baik," jawabku singkat.

"Apa kamu pernah melihat rajamu, Sanggra?"tanya mbah Karto tiba-tiba.

"Pernah juga, Mbah, dari kejauhan, ketika Sri Paduka kirab berkeliling alun-alun," jawabku.

Aduh ampun Gusti, aku terpaksa terus berbohong untuk menutupi jati diriku yang sebenarnya bahwa aku ini putri raja.

"Senang, ya, bisa melihat raja. Permaisurinya cantik tentunya. Kau ini pantas menjadi putri raja, lho, Sanggra. Kamu cantik sekali dan halus serta anggun penampilanmu," sahut Warni tiba-tiba.

"Ah, kau ini ada-ada saja. Aku ini hanyalah anak demang. Tapi terima kasih untuk pujianmu," jawabku tenang.

"Wah, sayur asemnya segar sekali, ya, saya belum pernah makan sayur asem lumbu, dengan nasi jagung seperti ini. Di tempatku lumbu tales disayur lodeh. Sungguh ini segar sekali apalagi talesnya empuk, diaduk dengan nasi jagung, terus lauknya pedo. Wah, linak, linggo, lico," kataku untuk mencairkan suasana.

"Apa katamu tadi, Sanggra?" celetuk Tarni.

Tiba-tiba Mbah Karto nyeletuk, "Ning Sanggra itu memakai paribasan, linak, linggo, lico, itu artinya lali anak, lali tonggo, lali konco, atau saking enaknya makan nasi jagung dengan sayur asem lumbu tales, lauknya ikan pedo, dia sampai lupa sanak, lupa tetangga, dan lupa teman, rak gitu maksudmu, ya, Ning?"

"Ya, Mbah, betul sekali, Mbah juga pandai menerjemahkan. Apakah Mbah pernah belajar?" tanyaku.

"Ah, perempuan kan sudah takdirnya bekerja di dapur, olah-olah (memasak), mengatur rumah tangga, belanja, mencuci dan bekerja di sawah seperti ini. Apa perlunya belajar. Kamu bersyukur bisa nyantrik dan menimba ilmu, apa kamu bisa membaca?"

"Bisa, Mbah, sejak kecil saya diajari membaca huruf Sansekerta, jadi saya bisa membaca. Saya juga ingin mengajari anak-anak terutama perempuan untuk belajar membaca, supaya bisa membaca kitab-kitab kuno. Dengan begitu mereka akan mendapat banyak ilmu pengetahuan dan wawasan sehingga tambah pintar."

"Apa perlunya perempuan harus pintar?" tanya mereka serempak.

"Ya perlu, lah, perempuan kan membimbing dan memelihara anak-anak, kalau ibunya pintar, anak-anaknya juga pintar, tidak mudah dipermainkan orang lain atau dibohongi. Itulah perlunya seorang wanita menjadi pandai, sebab pengaruh ibu itu sungguh luar biasa terhadap anak-anaknya."

"Benar juga kamu, Sanggra, apa kamu mau mengajari kami?" sahut Warti, bersemangat.

"Oh, dengan senang hati. Nanti aku akan bilang sama Pak Karmo, ya, atau Pak Lurah sekalian agar aku boleh mengajar anak-anak, baca tulis di desa ini."

"Hore ... hore," teriak mereka. "Apa saya juga boleh ikut?" sahut mbah Karto.

"Boleh, Mbah, tidak ada kata terlambat untuk belajar. Saya malah kagum Mbah Karto punya semangat muda. Luar biasa masih mau belajar.

 ( Bersambung )

 

Oleh  Sr. Maria  Monika  SND

12  Juli, 2021

Artikel  ke : 434

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun