"Saya berasal dari Daha, Mbah. Saya memang nyantrik. Ingin menambah ilmu supaya saya bisa mengajar para wanita di daerahku, selagi orangtuaku mengizinkan."
"Siapa namamu tadi? Ning Sanggra? Nama yang bagus sekali seperti nama seorang putri raja, atau paling tidak nama para priyayi Brahmana."
"Nggak, kok, Mbah, bapak saya hanyalah seorang demang, biasa hidup di tengah rakyat. Tapi bapak saya memang terbuka bahwa anaknya harus belajar agar lebih pintar daripada orangtuanya. Walau saya ini wanita, bapak mengharapkan saya bisa mandiri dan membantu banyak orang dalam berkiprah di tengah masyarakat."
"Wah, luar biasa orangtuamu, Ning, memberi kesempatan kepada anaknya untuk maju. Daha dan Blora kan jauh sekali. Naik apa kamu ke Blora?" tanya Mbah Karto lagi.
"Naik kuda, Mbah," jawabku.
"Berapa lama perjalanan dari Jawa Timur ke Jawa Tengah?"
"Empat hari tiga malam," jawabku.
"Wah, wah, perjalanan yang melelahkan. Kau tidak takut? Bermalam di mana waktu itu?" tanya Suti dan Warni silih berganti.
"Saya, diantar paman saya, jadi ya tidak takut. Paman saya pemberani. lho. Kami bermalam di rumah penduduk yang kebetulan kami temui."
"Apa setiap penduduk menerimamu? Apa mereka tidak curiga?"
"Tidak, saya merasa para penduduk sangat baik. Lagi pula kami membawa surat lontar dari baginda raja, karena bapak saya di bawah kekuasaan kerajaan Daha dan Baginda tahu niat baik kami."