"Ah, perempuan kan sudah takdirnya bekerja di dapur, olah-olah (memasak), mengatur rumah tangga, belanja, mencuci dan bekerja di sawah seperti ini. Apa perlunya belajar. Kamu bersyukur bisa nyantrik dan menimba ilmu, apa kamu bisa membaca?"
"Bisa, Mbah, sejak kecil saya diajari membaca huruf Sansekerta, jadi saya bisa membaca. Saya juga ingin mengajari anak-anak terutama perempuan untuk belajar membaca, supaya bisa membaca kitab-kitab kuno. Dengan begitu mereka akan mendapat banyak ilmu pengetahuan dan wawasan sehingga tambah pintar."
"Apa perlunya perempuan harus pintar?" tanya mereka serempak.
"Ya perlu, lah, perempuan kan membimbing dan memelihara anak-anak, kalau ibunya pintar, anak-anaknya juga pintar, tidak mudah dipermainkan orang lain atau dibohongi. Itulah perlunya seorang wanita menjadi pandai, sebab pengaruh ibu itu sungguh luar biasa terhadap anak-anaknya."
"Benar juga kamu, Sanggra, apa kamu mau mengajari kami?" sahut Warti, bersemangat.
"Oh, dengan senang hati. Nanti aku akan bilang sama Pak Karmo, ya, atau Pak Lurah sekalian agar aku boleh mengajar anak-anak, baca tulis di desa ini."
"Hore ... hore," teriak mereka. "Apa saya juga boleh ikut?" sahut mbah Karto.
"Boleh, Mbah, tidak ada kata terlambat untuk belajar. Saya malah kagum Mbah Karto punya semangat muda. Luar biasa masih mau belajar.
 ( Bersambung )
Â
Oleh  Sr. Maria  Monika  SND
12 Â Juli, 2021
Artikel  ke : 434
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H