Perutusan,  Misi  Jiwa  Kelana  (  1  )
Cerita  sebelumnya :
Malam itu setelah bersemadi selama satu jam aku langsung tidur. Walau di tubuhku tersisa penat setelah menumbuk padi tadi siang, jiwaku terasa segar karena rasa persaudaraan yang kudapatkan di antara penghuni padepokan ini. Sungguh tepat padepokan ini dinamai Kekadangan Liman Seto; orang-orangnya mempersatukan lintang atau bintang-bintang keutamaan, kebajikan, kebaikan untuk manunggal atau menyatu, dan sewoko duta, sebagai utusan yang siap sedia untuk diutus. Â ( Bersambung )
Â
Setelah genap satu bulan menjadi penghuni padepokan, pagi ini aku dipanggil oleh Eyang Mpu Barada dan diberi wejangan. Aku harus siap untuk diutus hidup di antara rakyat kebanyakan biasa di pelosok pedesaan yang jauh dari padepokan. Kali ini aku akan ditemani Sekar Kinasih.
Eyang Mpu Baradha memberi kami petunjuk, sementara dua cantrik yang berpengalaman menyiapkan bekal kami yang dibungkus kain berwarna kuning. Kain yang selebar taplak meja dipergunakan untuk membungkus barang-barang kami. Kami tidak diperbolehkan naik apa pun, hanya boleh berjalan kaki.
Kami pun berangkat menuju selatan, menuruni Pegunungan Nglengkir, menjelajah beberapa desa. Tempat yang kami tuju adalah Kelopo Duwur atau artinya kelapa tinggi, merupakan daerah pedalaman antara Blora dan Randu Blatung.
 Sepanjang jalan yang kami temui hanyalah hutan jati yang lebat. Meskipun aku sudah menguasai ilmu bayu mambubung, aku tidak menggunakan ilmu itu karena sedang bersama Sekar Kinasih.
Dengan berjalan kaki, banyak hal yang dapat kujumpai. Kesengsaraan dan kemiskinan dalam masyarakat dan rakyat kecil. Cukup lelah memang karena jarak dari padepokan ke desa yang kami tuju kurang lebih 37 kilometer.
Sebelum sampai Desa Klopo Duwur kami melewati sungai yang amat besar, yang disebut Sungai Lusi yang bermuara dari Bengawan Solo dan mengalir membelah Jawa Tengah, melewati kota Blora sampai Cepu dan Bojonegoro. Setelah melewati batas sungai, kami sampai di daerah Kamolan, dan kami menemukan pondok di tepi jalan.
Karena begitu lelah, kami pun berhenti beruntuk istirahat. Kukatakan pada Sekar Kinasih supaya tidak usah khawatir dan menyuruhnya tidur serta berdoa agar Sang Hyang Widhi senantiasa melindungi kami.