Cukup lama kami berbincang-bincang dengan Pak Karmo dan Mbok Sinah. Kebetulan malam itu bulan sedang purnama, sehingga kami pun asyik menikmati malam dan tidak ingin cepat-cepat tidur. Hati dan pikiranku melayang ke istana. Ketika bulan sedang purnama seperti ini biasanya kami mengobrol di pendopo keputren dan saling bertukar cerita.
Kira-kira pukul sepuluh lewat kami pamit untuk tidur. Rumah yang sederhana ini terasa nyaman dan damai karena penghuninya hidup apa adanya, damai dan menerima setiap orang dengan penuh rasa persaudaraan. Sejenak aku hening dalam samadi, mungkin satu jam waktu malam itu kugunakan untuk bersamadi.
 Meskipun telah menempuh perjalanan panjang, anehnya badanku terasa ringan tanpa beban kekelahan. Rupanya hati yang gembira memang merupakan obat yang mujarab untuk menyembuhkan segala kelelahan fisik.
Kudengar napas teratur Sekar Kinasih yang sudah terlelap. Setelah menutup samadi dengan doa pamungkas, kubujurkan tubuhku dan bersiap untuk beristirahat malam.
"Sang Hyang Widhi, ke dalam asta-Mu kuserahkan hidupku," demikian doa batinku berserah dan aku pun jatuh ke alam tidur.
Karena badanku tadi malam tidak terasa lelah, pagi ini aku bisa bangun dengan normal sebelum ayam berkokok. Kubasuh mukaku ke pakiwan, sebutan untuk kamar mandi di desa. Ketika aku memasuki dapur, Mbok Sinah sedang merebus air dan ketela pohon untuk sarapan pagi.
"Aduh, Mbok, aku kesiangan, ya," ujarku.
"Tidak, kok, Ning, Mbok sudah terbiasa bangun jam tiga.
Ndak tahu, ya, kalau sudah jam tiga tidak bisa tidur lagi.
Mungkin sudah tua, ya, jadinya jam tidurnya juga berkurang," ujarnya.
"Oh, begitu, ya, Mbok. Baik juga, Mbok bangun jam tiga.