Pengalaman  Jajah  Nagari   ( 4 )Â
Cerita  sebelumnya :
Nama padepokan itu merupakan singkatan dari kata Lintang Manunggal Sewoko Duto, yang artinya kita sebagai anggota padepokan harus sehati, sepikir dalam bertindak demi kebaikan dan kebutuhan sesama, kemajuan bersama, memperhatikan yang lemah miskin dan membutuhkan bantuan. Itulah sebabnya semua pekerjaan dilakukan dengan sukarela; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Â (Bersambung )
      Â
Semua perbuatan harus didasari rasa welas asih, penuh kasih, dan rasa persaudaraan; siap sedia tanpa pamrih dan tidak mengharap upah. Hanya Sang Hyang Widhi yang berhak memberi upah. Itulah sebabnya latihan raga dan sukma mesti selaras, seimbang untuk mencapi tujuan hidup yang bahagia bagi kekekalan roh. Siapa saja yang masuk padepokan ini tidak berhak memilih-milih pekerjaan, sebab semua serba sewoko duto, sebagai hamba yang siap diutus dan melaksanakan tugas apa saja.
Setelah mempelajari semua itu, hasrat di hatiku semakin menggebu demi mencari tujuan kesejatian hidup, demi kekekalan roh. Anehnya, setiap pekerjaan yang kulakukan secara otomatis membawaku dalam suatu refleksi dan memberi makna dalam menjalani kehidupan.
Aku bisa lebih peka dalam merasakan bahwa hidup tanpa refleksi adalah hidup yang tidak bermakna untuk dijalani. Dan ternyata teman-temanku se-padepokan juga mengalami hal yang sama. Cinta dan kasih serasa dimurnikan dalam menjalankan semua tugas dan kewajiban di padepokan Liman Seto ini. Semua berlomba-lomba untuk ngalap berkah, mengharap berkah bagi keabadian hidup, yang menghidupkan roh untuk semakin sehat dan peka.
Siang ini aku mengambil tugas menumbuk gabah (padi yang masih terbungkus sekam). Tempat menumbuk itu agak jauh dari padepokan, tepatnya di dekat dapur di bawah pepohonan yang rindang. Satu lesung bisa dipergunakan oleh delapan sampai dua belas orang. Kami dengan riang menyanyi lagu Lesung Jumengglung:
Lesung jumengglungÂ
Sru imbal-imbalan
Lesung jumengglung, maneter mangungkung