[caption id="attachment_366979" align="aligncenter" width="576" caption="dok. pri"][/caption]
Aku barusan bersiap untuk tidur setelah sejak pagi disibukkan dengan tugas sekolahan di siang terik itu ketika Aku diajak ke Padangpatu oleh salah seorang teman guru. Setelah mengetahui maksud tujuannya ke Padangpatu, Aku segera mengiyakannya. Bukan karena tujuanku sama dengan tujuan teman guru tadi, namun karena memang hobbiku traveling dan kebetulan sudah tidak ada lagi tugas sekolah yang harus kukerjakan.
Segera kusiapkan perlengkapan wajibku, kamera DSLR 18 – 55 mm ditambah lensa tele 300 mm, teropong, smartphone yang dilengkapi dengan GPS dan Kompas, serta sebotol kecil air minum yang semuanya kusimpan dalam tas selempang kecil yang selalu menemaniku bepergian di alam bebas.
Tak lupa, Aku mengajak rekan-rekan Guru yang lain yang kebetulan bermalam di sekolah pada saat itu. Tapi setelah kujelaskan, bahwa perjalanan ini betul-betul harus “ berjalan “, mereka langsung mundur dengan berbagai alasan. Akupun jadi maklum, karena mereka memang tidak terbiasa bepergian dengan jalan kaki dan juga karena faktor usia yang sudah tidak memungkinkan untuk berjalan jauh apalagi untuk mendaki.
Perjalanan ke Padangpatu kali ini sangat terasa singkat dibanding perjalanan pertama beberapa tahun yang lalu. Maklum, kali ini ada dua orang siswaku yang bersedia jadi penunjuk jalan yang benar ke lokasi Padangpatu. Memang pada perjalanan pertama beberapa tahun yang lalu, bersama dengan rekan guru yang sama, Kami harus menempuh waktu sekitar 2 jam untuk sampai ke Padangpatu melewati sungai yang penuh dengan bebatuan sebesar mobil, hutan lebat yang tak ditembus cahaya matahari yang sempat membuat Kami tersesat, dan jalanan yang bahkan sapi liarpun tidak pernah melewatinya, kecuali mungkin oleh ular phyton atau ular hitam dan sejenisnya. Maklumlah, saat itu tidak ada yang bersedia menemani Kami karena mereka tidak berani mengambil resiko ke Padangpatu yang menurut mereka sangat angker.
Setelah melewati persawahan yang sudah ditanami dan menyejukkan pandangan, Kami memasuki kawasan Padangpatu. Sesuai dengan namanya, kawasan ini betul-betul penuh dengan bebatuan beraneka ragam bentuk. Sejauh mata memandang, yang nampak hanyalah batu dan batu walau ada beberapa batang pohon yang tumbuh di sela-selanya, itupun hanyalah pepohonan kecil dan jumlahnya mungkin tidak sampai 10 batang pohon.
Kami berempat segera berembug dan atas informasi dari salah seorang siswa, akhirnya Kami sepakat untuk meneruskan perjalanan ke sungai yang ada di sebelah Padangpatu, karena tujuan utama teman guru yang mengajak tadi adalah mencari bebatuan yang sekiranya bisa dipoles menjadi batu perhiasan.
Kamipun segera mendaki ke Puncak Padangpatu dengan ketinggian beberapa ratus meter itu. Pendakian Kami saat itu tidak menemui kendala yang berarti karena rute yang Kami tempuh tidaklah terlalu terjal, walau tetap terasa agak melelahkan dan memakan waktu yang agak lama karena harus berjalan melewati bebatuan yang kadang membuat Kami harus berhati-hati supaya tidak terpeleset.
Tiba di Puncak, Kami segera disuguhi pemandangan yang mampu membuat Kami terpesona. Di kejauhan terhampar birunya laut dari kabupaten tetangga, yaitu Kabupaten Pangkep. Dan di ujung kaki Padangpatu terlihat sungai yang berkelok-kelok di kejauhan yang menurut salah seorang siswa, di situlah tujuan utama Kami. Dan di sepanjang sungai tersebut, pegunungan yang menjulang dan pepohonan dari hutan perawan yang masih lebat dan mungkin menyimpan berbagai macam misteri berdiri dengan kokohnya.
Aku segera mengeluarkan Smartphoneku untuk mengecek sinyal seluler yang mungkin ada di puncak pegunungan ini. Dan benar, sinyal seluler dari salah satu operator yang kucoba ternyata menunjukkan kekuatan sinyal 4 bar. Pun jaringan Datanya Aku tes, ternyata berjalan dengan mulus. Sinyal seluler yang kuat di sini sudah pasti berasal dari kabupaten tetangga yang memang kadang menembus beberapa tempat-tempat tertentu di Pujananting kecuali di sekolahan.
Aku segera mengirim laporan via SMS kepada dua orang siswaku yang kebetulan rumahnya juga ikut kecipratan sinyal seluler yang tembus tersebut walau kadang menjengkelkan karena sinyalnya timbul tenggelam dan tidak bisa dipakai untuk menelpon karena hanya satu atau dua bar kekuatan sinyalnya jika ada. Dan benar saja, beberapa saat kemudian balasan dari salah seorang siswakupun Aku terima, walau dia harus sedikit “ngomel” karena Kami harus berpanas-panasan di Puncak Padangpatu yang gersang dan tandus itu dan karena Aku mengajak kedua orang teman sekelasnya itu untuk ikut padahal mereka harus latihan Volli siang itu di sekolah.
Salah seorang siswa kemudian bertanya kembali kepada rekan guru yang kelihatannya sudah mulai tidak sabaran untuk segera turun ke sungai di kejauhan sana, karena menurut siswa tersebut perjalanan turun ke sungai itu tidaklah susah, namun naiknya kembali itu yang butuh perjuangan. Bisa dimaklumi, sisi sebelah Puncak Padangpatu ini tidak sama dengan yang Kami lewati tadi untuk naik. Kemiringannya sudah melewati 45 derajat dan jalanannya boleh dikata tidaklah mulus karena dipenuhi bebatuan yang sudah pasti memperlambat perjalanan turun apalagi jika ingin mendaki lagi nanti.
Rekan guru tadi balik bertanya kepadaku. Aku Cuma bilang, wah, jauhnya tuh, tapi turunlah duluan karena Aku masih belum puas mengabadikan pemandangan yang terhampar di depan mata.
Mereka bertigapun segera beranjak pergi dan meninggalkan Aku sendirian di puncak tandus itu. Perlahan namun pasti mereka semakin menjauh dan akhirnya menghilang di balik rimbunnya pepohonan yang ada di pinggir sungai di bawah sana.
Setelah Aku merasa puas mengabadikan dalam bentuk video pemandangan dari Puncak Padangpatu, Akupun segera bergegas turun untuk menyusul mereka. Perjalanan turun dari Puncak Padangpatu kulakukan dengan sangat hati-hati, karena bebatuan yang licin dan sesekali longsor membuatku tidak ingin tergelincir dan terguling ke bawah.
Sampai di pinggiran hutan, Aku jadi bingung karena Aku tidak tahu arah yang mereka tempuh tadi ke sungai. Aku mau ke kanan, siapa tahu mereka ke kiri, demikian pula sebaliknya. Namun karena sudah terlanjur turun, Aku memantapkan hati ke sebelah kanan memasuki rimbunnya pepohonan yang membuat suasana di dalamnya jadi temaram seperti menjelang senja.
Sesampai di pinggiran sungai, Aku berteriak beberapa kali memanggil mereka. Namun gemuruh air sungai yang melebihi suara pabrik penggilingan gabah, membuat teriakanku tak berarti apa-apa dan sudah pasti mereka tidak akan mendengarnya. Sekitar 15 menit Aku menunggu dan tak ada tanda-tanda kedatangan mereka, Aku segera berbalik. Namun baru beberapa puluh meter Aku keluar dari rimbunnya pepohonan itu, tiba-tiba dari kejauhan Aku melihat awan gelap berarak begitu cepatnya menuju ke arahku. Aku segera memutuskan untuk berbalik kembali ke sungai dan berharap bisa berteduh di bawah pohon jika tiba-tiba hujan turun.
Hampir 15 menit Aku menunggu, namun hujan tak juga turun, akhirnya Aku memutuskan untuk kembali saja. Namun yang tak kusangka, Aku tiba-tiba tidak bisa menemukan jalan keluar dari hutan. Ranting-ranting yang tadi sengaja kupatahkan di jalanan yang Aku lewatipun tak kutemukan. Menentukan arah matahari sangat sulit karena mendung masih menggayut dan memang cahaya mataharipun kemungkinan tidak bisa tembus di tempat ini. Aku segera menyalakan kameraku untuk melihat dan mengenali jalanan beserta pohon-pohon yang tadi sempat kuphoto, namun ternyata tidak banyak membantu karena hampir sama semua kelihatannya.
Aku tidak boleh tinggal berlama-lama di sini. Aku segera mematikan kamera dan smartphoneku dan memasukkannya ke dalam plastik yang memang telah Aku siapkan dari sekolah untuk menggantisipasi jika turun hujan. Sesaat Aku memejamkan mata dan mengucapkan Basmalah serta memberi salam kepada penghuni tak kasat mata yang mungkin ada di tempat itu. Dan Alhamdulillah, jalanan yang kulewati tadi terpampang jelas di hadapanku dan ranting-ranting yang kupatahkan tadi juga telah kutemukan. Aku segera bergegas keluar dari hutan itu dan tidak ingin berpikir yang aneh-aneh tentang fenomena yang Aku alami barusan. Yang Aku pikir saat itu hanyalah bagaimana bisa secepatnya sampai kembali di balik Puncak Padangpatu sebelum turun hujan.
Aku berdiri sesaat di kaki Padangpatu dan melihat ke puncaknya kemudian memprediksi jarak dan waktu yang mampu kutempuh. Ternyata apa yang disampaikan siswa tadi benar adanya. Sepertinya butuh perjuangan yang ekstra untuk sampai kembali ke Puncak Padangpatu karena terjalnya medan yang harus dilalui. Namun karena sudah terlanjur, Aku tetap berusaha untuk mendaki meski harus tertatih-tatih karena lutut ini sepertinya sudah mau copot. Butuh waktu sekitar 30 menit bagiku untuk sampai kembali ke Puncak Padangpatu karena lambatnya caraku mendaki disebabkan hujan yang telah turun.
Hujan telah berhenti ketika Aku telah sampai di Puncak Padangpatu. Aneh dan ajaib, pakaianku tidak basah sedikitpun namun plastik pembungkus kamera dan smartphoneku basah kuyup. Lagi-lagi Aku tidak mau berpikir yang aneh-aneh karena yang jadi masalah sekarang adalah jalanan yang tadi kulewati lagi-lagi tidak kelihatan. Yang Aku pikir, Aku tidak boleh menjauh dari gunung yang ada di sebelah kananku, karena waktu mendaki tadi gunung itu ada di sebelah kiriku.
Aku segera mencari bebatuan yang bisa Aku tempati duduk untuk menenangkan diri dan menghilangkan penat yang masih terasa sekaligus mencoba menunggu mereka bertiga yang belum muncul-muncul juga.
Duduk sendirian di puncak gunung tanpa seorang teman dan tanpa tahu arah membuatku seakan-akan berada di tengah lautan luas tak bertepi. Suasana saat itu terasa mencekam karena adanya suara-suara yang seakan-akan memanggil-manggil dari kejauhan. Aku sesekali menoleh ke arah suara-suara itu dan berharap merekalah yang datang. Namun penantianku sia-sia saja.
Aku segera teringat akan smartphoneku yang tadi kumatikan. Segera kunyalakan kembali dan mencoba mengaktifkan GPS dan Mapnya untuk mengetahui posisiku saat itu. Belum sempat titik koordinatku terpampang di layar, tiba-tiba smartphoneku berdering. Karena sedikit kaget, Aku langsung saja menjawabnya tanpa memperhatikan siapa yang menelpon, karena selama ini, jika yang menghubungiku adalah nomor yang tidak terdaftar di smartphoneku, Aku tidak mau menggubrisnya, kecuali jika sudah mengirim SMS konfirmasi yang menjelaskan siapa dirinya.
“ Selamat sore, Apakah Bapak betul bernama Monginsidi Jalil dengan pemilik nomor sekian-sekian dan beralamat di Makassar ..... ??? tanya yang menelpon.
“ Oh, iya, benar, ada yang bisa Saya bantu .... ???“ jawabku.
“ Terima kasih Pak, Kami Customer Service ( sambil menyebutkan salah satu nama Operator Telekomunikasi ) dari Jakarta yang ingin menemui Bapak terkait dengan Nomor Seluler yang Bapak miliki ..... “
“ Memang kenapa dengan nomor saya ..... ???”
“ Begini Pak, nomor Bapak kebetulan terpilih oleh kantor pusat Jakarta untuk mendapatkan uang tunai sebesar delapan juta rupiah, tapi Bapak harus mengambilnya sendiri ..... “
“ Wah, bagaimana caranya, saya tidak bisa ke Jakarta hanya untuk mengambil hadiah itu ..... “
“ Begini saja Pak, kalau Bapak punya nomor rekening, silakan dikirimkan saja kepada Kami, nanti Kami transferkan uang tersebut ..... “
Aku tidak segera mengiyakan permintaan dari yang menelpon, karena pikiranku masih terfokus ke rute jalan yang masih belum kulihat. Aku segera mengakhiri percakapan tersebut karena baterai smartphoneku tinggal 35% dan Aku harus kembali mengaktifkan GPS dan Mapnya.
Smartphoneku berdering kembali dan ternyata dari penelpon yang tadi juga. Aku mencoba mengecek kebenaran dari si penelepon tadi.
“ Begini, sebelum Saya mengirimkan nomor rekening, Saya mau konfirmasi dulu, apa betul informasi yang Kita berikan ..... “
“ Oh, silakan bertanya Pak ..... “
“ Kalau betul anda dari kantor pusat, pasti anda bisa menyebutkan lokasi saya berada sekarang ini dengan mendeteksi sinyal seluler saya ..... “
“ Silakan ditunggu Pak ..... “ “ Oh, Bapak berada di titik koordinat sekian sekian di Kabupaten Barru “
“ Oh, benar, Saya memang sekarang berada di Kabupaten Barru, namun untuk lebih meyakinkan, bolehkah Saya menghubungi kantor cabang
Makassar ..... ???“
“ Oh, jangan Pak, kantor cabang Makassar tidak tahu menahu program ini, dan kalau Bapak menghubunginya, hadiah Bapak akan hangus dengan sendirinya ..... “
“ Wah, kalau begitu, Saya tidak yakin dengan informasinya, lagipula yang Kita pakai menghubungi Saya adalah Nomor Komersial dan bukan Nomor Resmi Perusahaan ..... “
Dengan jengkel, Aku segera mematikan smartphoneku. Berkali-kali smartphone itu berbunyi namun tidak kugubris sampai berhenti dengan
sendirinya.
Tiba-tiba layar smartphoneku berkedip-kedip menandakan baterainya sudah kehabisan tenaga. Aku segera mengirim SMS ke rekan guru yang belum muncul-muncul juga dan berharap jika dia mendapatkan sinyal, dia sudah tahu kalau Aku sudah meninggalkan Padangpatu.
Aku segera melihat sekeliling untuk memastikan kembali jalanan yang harus kulewati turun namun sia-sia karena semuanya sama saja Aku lihat. Mau meneropong jelas tidak bisa, karena teropongnya dibawa oleh salah
seorang siswaku.
Tiba-tiba Aku teringat dengan lensa tele 300 mm yang kusimpan di tas kecilku. Aku segera mengeluarkan kembali kameraku dari plastik pembungkusnya dan segera mengganti lensa 55 mm-nya dengan lensa 300 mm. Setelah kuperiksa baterainya dan ternyata masih full, Aku segera mengarahkan kameraku ke berbagai arah dengan harapan bisa melihat kembali jalanan masuk ke kawasan Padangpatu.
Yang paling pertama kulihat adalah lokasi sekolahku, yang dengan bantuan lensa 300 mm tadi kelihatan lebih dekat walaupun jaraknya mungkin sekitar 5 km dari tempatku berada. Sayang smartphoneku telah lowbat jadi Aku tidak bisa mengukur jaraknya yang pasti dengan menggunakan aplikasi pengukur jaraknya. Segera kugeser agak ke kanan dan Alhamdulillah jalan masuk ke kawasan Padangpatu terlihat dengan jelas.
Aku segera beranjak dari tempatku, namun tidak langsung turun. Aku mendaki kembali ke salah satu puncak yang agak tinggi dari yang kutempati tadi untuk memuaskan pandanganku tanpa terhalang oleh sesuatu.
Aku memang sengaja ingin berlama-lama di sini sambil menunggu mereka yang belum muncul-muncul juga apalagi rute untuk pulang sudah kulihat.
Sambil menikmati pemandangan yang indah dari Puncak Padangpatu, pikiranku menerawang. Aku berpikir, kemungkinan gunung ini mengandung sesuatu yang berharga di dalamnya karena susahnya tanaman untuk tumbuh di kawasan ini. Apalagi melihat ke sekeliling yang dipenuhi dengan butiran-butiran mirip pecahan kaca halus yang jika terkena sinar matahari akan mengkilap bagai permata. Aku juga berpikir, gerangan kejadian apa yang pernah terjadi di gunung ini sehingga dijadikan tempat untuk melakukan ritual oleh beberapa penduduk yang masih mempercayai adanya kekuatan lain yang dijadikan sandaran selain Allah SWT.
Berbicara mengenai penghuni Padangpatu, jelas jawabnya ada. Entah penghuninya makhlus kasat mata seperti ular dan hewan-hewan lainnya seperti sapi liar yang sering merumput di kawasan ini, juga penghuni dari makhluk tak kasat mata yang memang banyak berdiam di hutan-hutan, sungai-sungai, atau di pegunungan seperti ini.
Beberapa tahun yang lalu waktu Kami pertama kali ke sini, Aku mencoba mengaktifkan pendeteksi makhluk tak kasat mata yang ada di lokasi ini dan ternyata memang ada dan terpusat di tempat yang sering dijadikan untuk melakukan ritual. Hal itu ditandai dengan tampilan merah di layar yang semakin banyak jika tempat tersebut didekati dan pendeteksinya berbunyi keras. Walau pendeteksi ini tidak bisa dijamin keakuratannya, namun Kami berdua tetaplah yakin bahwa di lokasi ini Kami tidaklah sendirian. Karenanya sebelum Kami masuk ke kawasan ini, Kami tetaplah minta izin dengan mengucapkan salam kepada semua penghuni yang ada di kawasan ini.
Padangpatu yang menyimpan pemandangan indah jika dilihat dari puncaknya juga menyimpan berbagai macam misteri yang belum bisa Kami ketahui terlalu banyak sampai saat ini. Di samping narasumber yang enggan bercerita terlalu jauh tentang keberadaan Padangpatu, juga orang-orang yang bisa ditempati bertanya jumlahnya makin berkurang dan yang sering melakukan ritual di Padangpatu pun tidak bisa menjelaskan secara rinci mengapa mereka melakukan hal seperti itu.
Misterinya itulah yang membuat Padangpatu tetaplah berdiri kokoh dan tak terjamah sampai sekarang ini. Mungkin di dalam perutnya tersimpan berbagai macam bebatuan mulia seperti emas dan lain sebagainya yang tidak bisa dieksplorasi karena kekuatan mistis yang dipunyainya. Pun dengan misterinya itu, kecantikan alam Pujananting tetaplah terpelihara dari tangan-tangan penguasa dan pengusaha yang tidak bertanggungjawab merusak keasrian alam.
Kekuatan mistis Padangpatu turut menjaga kelestarian hutan yang ada di sekitarnya. Sejauh mata memandang, pohon-pohon besar bernilai milyaran rupiah yang jika dieksploitasi berdiri dengan kokohnya dan menjulang ke langit dan turut menjaga persediaan air yang mengalir di sungai-sungai yang ada di bawahnya.
Padangpatu merupakan salah satu aset tak ternilai di Pujananting yang jika dikelola dengan baik akan menghasilkan devisa bagi Desa Pujananting. Pengelolaannya bukan dengan cara mengeksploitasi dan merusak segala sesuatu yang ada di Padangpatu namun dijadikan salah satu obyek wisata yang jika ditata dengan baik tidaklah kalah menariknya jika dibandingkan dengan obyek serupa yang pernah Aku datangi di kabupaten Sinjai yaitu Gunung Gojeng yang merupakan situs prasejarah dan Buntukabobong yang ada di kabupaten Enrekang.
Pemandangan Indah dari Puncak Padangpatu yang indah merupakan daya tarik tersendiri bagi orang-orang kota yang haus akan alam bebas. Jika di Jawa Barat ada kawasan Puncak yang selalu ramai dikunjungi setiap akhir pekan, di Pujanantingpun banyak kawasan yang serupa itu yang layak untuk dikunjungi, termasuk salah satunya adalah Puncak Padangpatu ini.
Akhirnya dengan mengucap syukur atas segala keindahan yang telah diperlihatkan kepadaku, Aku segera turun dari Puncak Padangpatu karena sudah hampir 30 menit Aku menunggu, mereka bertiga tidak muncul-muncul juga. Tapi setidaknya jika SMS ku dibaca, mereka akan tahu kalau Aku sudah turun duluan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H