Mohon tunggu...
Firsty Ukhti Molyndi
Firsty Ukhti Molyndi Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Korean Enthusiast | Cerebral Palsy Disability Survivor

Seorang blogger tuna daksa dari Palembang. Memiliki minat tulis-menulis sejak kecil. Menulis berbagai problematika sehari-hari dan menyebarkan kepedulian terhadap kaum disabilitas. Blog: www.molzania.com www.wahkorea.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami

Di Penghujung Ramadan Terakhir

30 Mei 2018   21:14 Diperbarui: 4 Juni 2018   14:23 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Palembang, Juli 2017

Senja itu, aku memasuki kompleks pemakaman Kamboja. Nisan-nisan berwarna warni berjejer tak beraturan. Suasana teduh langsung memerangkapku dalam diam. Puluhan pohon kamboja berdiri kokoh bagaikan penjaga. Beribu orang terbaring kaku disana, entah ada berapa jumlahnya. Mereka dulunya hidup. Mereka juga punya keluarga. Seberkas kenangan yang hanya bisa hadir di mimpi menyeruak di pikiranku.

Sejurus kemudian aku sudah berada di samping sebuah kuburan. Marmernya berwarna hitam. Sebuah tulisan yang terpahat di sana membuatku meneteskan air mata. Kala aku mengingatnya, perasaan pilu yang sama kembali hadir. 

Selalu sama seperti saat pertama kurasakan dulu. Namun kini aku hanya bisa mendoakan dari jauh. Sebait Al-Fatihah untuk sosoknya yang kini tenang berada di pangkuan Allah SWT.

Kata-kata terakhir itu menjadi kenyataan. Aku sedih, tapi aku bisa apa. Toh sekeras apapun usahaku takkan membawanya kembali. Berusaha untuk ikhlas, aku mengingat senyuman terakhir yang terulas di wajahnya sebelum ia dikafankan.

Palembang, Ramadhan 2013

Pagi itu, Mangcak Yasin tergopoh-gopoh menghampiriku. Hari itu aku ingat masih hari Jumat. Di tangannya sudah tergenggam laptop sebesar 14 inchi. Seperti biasa ia ingin memintaku untuk mengedit draft khutbah Jumat dan mencetaknya. Berhubung di rumah Mangcak tidak memiliki printer.

Dengan cekatan aku memainkan kursor di laptop berwarna hitam tersebut. Aku membagi teks sepanjang 6 halaman itu menjadi dua bagian per halamannya. Lalu kuedit secara cepat, berusaha untuk memastikan tidak ada kesalahan ketik disana. Terakhir yang kutahu sejurus kemudian draft khutbah itu sudah berubah menjadi lembaran-lembaran kertas berbentuk seperti buku.

"Yo, yo, (Ya, Ya,) " Mangcak Yasin mengangguk-angguk ketika aku memberikan yang ia mau. "Mokase, Moi (Makasih, Moi)"

"Samo-samo (Samo-samo)" Aku tersenyum.

Lalu aku dan Mangcak Yasin kembali bergabung dengan Ayah dan Ibu duduk-duduk di beranda depan rumahku. Kalau tak puasa, aneka penganan kecil seadanya biasanya terhampar di lantai. Mangcak Yasin itu kakak kandung ibuku. Rumahnya hanya sekian meter jaraknya dari rumahku. Di kampungku, ia terkenal sebagai ustadz. Ia selalu menyambangi rumah kami setiap Jumat pagi untuk sekadar berbincang atau menuntaskan hajatnya untuk mencetak draft khutbah.

"Aku kalu ceramah tentang rokok, ado bae yang idak suka. (Aku kalau ceramah tentang rokok, ada saja yang tidak suka)" Mancak Yasin berapi-api.

"Padahal sudah tau di dalem Qur'an, makanlah yang halal lagi baik bagimu, mase be ngerokok. (Padahal sudah tau di dalem Qur'an, makanlah yang halal lagi baik bagimu, masih saja merokok)"

 "Manusio tekak bin bantahan nian. Rokok itu isinyo racun galo-galo, mase be diisep. (Manusia tak tahu diatur. Rokok itu isinya racun semua, masih saja dihisap) "  

"Itulah tantangannyo, Wak. (Itulah tantangannya, Wak)" timpal Ayah. "Mereka belum merasoke akibatnyo (Mereka belum merasakan akibatnya)"

"Moi, agek kau tulis di blog bahayo merokok biar ado manfaatnyo jugo.. (Moi, nanti tulis di blog bahaya merokok biar ada manfaatnya juga..)" Ibu meneruskan. Mendengarnya aku mengangguk. Berusaha untuk tidak membantah.

Palembang Agustus, 2014

Hari Jumat sore, aku baru saja pulang dari kantor. Ketika itu aku mendapati ibu sedang menangis di dekat telepon.

"Bu, ado apo? (Bu, ada apa?" tanyaku berusaha kalem. Padahal nun jauh di dalam hati terasa galaunya.

"Uwakmu ... Uwakmu positif." balas Ibu sambil terus menangis.

Aku berusaha mencerna kata-kata Ibu. Beberapa hari ini, satu orang anggota keluargaku menghilang. Ayah pergi mengantar Mangcak Yasin berobat ke Malaysia. Berdua saja. Tidak bertiga. Siang tadi diumumkan hasil biopsi paru-parunya. Rencananya dua hari lagi mereka baru pulang kembali ke Palembang.

"Positif kanker?" tanyaku perlahan. Ibu mengangguk sekali. Entah bagaimana kabar itu lagi-lagi mengiris nurani bagai sembilu. Padahal bukannya Mangcak Yasin sudah divonis dokter kanker paru-paru di RS di Palembang? Seharusnya berita ini tidak lagi membuat kaget.

"Perasaan Ibu Mangcak tidak lamo lagi usianya. (Perasaan ibu Mangcak tak lama lagi usianya) "

"Heh.. "

Palembang, September 2014

"Stadium 3?" tanya Mang Dollah kaget, sembari mematikan rokoknya. Asap mengepul keluar dari mulutnya. Aku mengiyakan, berusaha tetap tenang saat berhadapan dengan Mamang yang satu ini. Neraka macam apa ini. Aku baru saja hendak masuk pagar rumah Mangcak Yasin untuk mengantar makanan, terpaksa harus mengobrol dengan orang satu ini. Mang Dollah sahabat dekat Mangcak Yasin sejak usia muda. Mereka hampir seumuran. Biarpun begitu aku tak menyukai Mang Dollah.

"Ustadz yang ceramah tentang rokok biso keno kanker paru-paru? (Ustadz yang ceramah tentang rokok bisa kena kanker paru-paru)" tanya Mang Dollah. Entah pada siapa. Suaranya berusaha dipelankan sepelan mungkin. Seharusnya senja itu penuh dengan angin sepoi-sepoi, namun telingaku tiba-tiba panas mendengarnya. Sambil menghela nafas, aku berusaha untuk tetap tenang.

Source: discovercity
Source: discovercity
Akhirnya aku tak tahan lagi. Kutinggalkan Mang Dollah yang terus saja mengoceh. Sahabat macam apa itu? Ketika teman dekatnya sakit, bukannya mendukung malah berbicara hal yang menyakitkan.

Di dalam rumah, ternyata kudapati Mangcak Yasin tengah duduk di ruang tamu. Seperti biasa ia tersenyum hangat padaku. Badannya tak tampak seperti orang penyakitan. Meski Mangcak sering mengeluh tak nafsu makan semenjak menjalani kemoterapi di Malaysia. Aku berusaha balik tersenyum.

Beberapa minggu lagi, pernikahan sepupuku digelar. Mangcak Yasin tampak ceria dibanding hari-hari biasa. Seolah sehat, ia sibuk kesana-kemari mengurus semuanya. Bagaimanapun yang akan menikah putra kesayangan. Satu-satunya anak lelaki yang usianya paling muda.

Palembang, Oktober 2014

Aku bermimpi aneh malam ini. Di rumah Mangcak Yasin, kudapati suasana ramai sekali. Sepertinya akan ada pesta hajatan. Ya, pernikahan sepupuku akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Mungkinkah aku sedang menyaksikan penampakan pesta pernikahannya? Perlahan aku memasuki halaman depan rumah Mangcak Yasin.

Beberapa orang yang kukenal sedang menunduk. Seperti berusaha untuk menyembunyikan sesuatu. Pelan namun pasti, bukan rasa kebahagiaan yang kurasakan. Rata-rata semua orang disana berpakaian hitam-hitam. Aku mendapati bibiku duduk di lantai bersama Mangcak Yasin. Keduanya mengguratkan kesedihan mendalam.

Aku tertegun. Ingin rasanya aku bertanya siapa yang meninggal. Namun lidahku kelu tak mampu bergerak. Lalu sejenak kemudian, aku terbangun dari tidur dalam keadaan basah kuyup.

Palembang, Ramadhan 2015

Penyakit itu membuat tubuh Mangcak Yasin semakin terlihat kurus. Efek kemo mulai hebat dirasakan oleh beliau. Beberapa hari ini, sesaknya semakin menjadi. Selama berada di Palembang, ia beberapa kali masuk rumah sakit. Tapi semenjak Ramadhan tiba, sakit itu menghilang. Seolah-olah mengerti dan membiarkan Mangcak ikut menjalankan puasa.

Source: okezonenews
Source: okezonenews
"Mati Idup dak katek yang tau. (Mati hidup tidak ada yang tahu)" Mangcak memulai obrolannya padaku di telepon. Kebetulan saat itu aku sekeluarga sedang mudik ke Jakarta, "Perantaronyo biso macem-macem. Mangcak dak pernah merokok, tapi keno penyakit ini.. (Perantaranya bisa bermacam-macam. Mangcak tidak pernah merokok, tapi terkena penyakit ini)"

Aku tergugu. Entah apa yang harus kukatakan selain berusaha membesarkan hatinya. "Ahh, Mangcak tuh kuat wongnyo. Insya Allah sembuh. (Ahh, Mangcak itu kuat orangnya. Insya Allah sembuh.)"

Di ujung telepon, Mangcak Yasin malah tertawa. Suaranya terdengar riang. Meski sejurus kemudian, ia kembali terbatuk-batuk. "Nee.. sudahlah, batalke bae puasonyo" kataku mendadak cemas.

"Idakk.. aku nak puaso. Takutnyo ini ramadan terakher aku..  (Tidak, aku mau puasa. Takutnya ini ramadan terakhirku)"

Beberapa hari setelah lebaran..

Pesawat yang membawa kami kembali ke Palembang baru saja landing. Aku, ibu dan ayah langsung bergegas menyewa mobil menuju ke rumah sakit. Aku ingat saat itu baru jam delapan. Kudengar Mangcak Yasin tidak sadarkan diri lalu dibawa ke ICU. Penyakit kanker sudah sedemikian parahnya menggerogoti badannya yang kini tinggal tulang berbalut daging.

Ketika kami tiba di rumah sakit, ternyata semua keluarga besarku telah berkumpul. Mereka semua menangis. Persis seperti yang ada dalam mimpiku. Mangcak Yasin telah pergi sepuluh menit sebelum kami datang. Aku masuk ke ruang ICU dengan pikiran kacau. Kudapati dokter dan suster sedang melepas satu persatu kabel yang dipasang di tubuh ringkihnya.

"Idakk.. aku nak puaso. Takutnyo ini ramadan terakher aku.. (Tidak, aku mau puasa. Takutnya ini ramadan terakhirku)"

Kata-kata terakhir Mangcak Yasin menjadi kenyataan. Aku sedih, namun aku bisa apa. Toh sekeras apapun usahaku takkan membawanya kembali. Berusaha untuk ikhlas, aku mengingat senyuman terakhir yang terulas di wajahnya sebelum ia dikafankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun