Mohon tunggu...
Dwi Septiyana
Dwi Septiyana Mohon Tunggu... Guru - Pegiat literasi dan penikmat langit malam

Pegiat literasi dan penikmat langit malam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saint Lucia

19 Maret 2016   12:25 Diperbarui: 31 Oktober 2021   23:27 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tepat ketika mengangkat tangan untuk takbiratul ihram, dentuman keras yang mengahmburkan pecahan masjid kaca terdengar memekakkan telinga. Seketika itu juga lantai masjid bergoyang hebat. Ustad Nurhadi urung mengucap takbiratul ihram, secara refleks menundukkan kepala dan menurunkan badannya setengah tiarap.

“Allohu Akbar! Allohu Akbar!”

Anehnya, di luar masjid tak terjadi apa-apa. Tak ada goncangan keras, tak ada pecahan kaca yang tadi berhamburan, tak tampak kepanikan orang-orang yang sesekali berlalu lalang di jalan depan masjid.

Goncangan masih berlangsung, membuat detak jantungnya semakin cepat tak beraturan. Nafasnya terengah. Peluh mengucur di pelipis dan dahinya. Mulutnya tak henti-hentinya mengucap takbir dan kalimatullah lainnya. Apakah ini yang dinamakan kiamat? Atau ini hanya ilusi yang keluar dari pikirannya saja? Apakah ini azab?

Perlahan pandangannya terhalang. Seakan seisi ruang masjid semakin menghitam, gelap, seperti penuh dengan asap, atau sepertinya matahari yang terhalang sesuatu yang sangat besar. Pusaran anging yang terkadang muncul semakin membuat kecut jiwa Ustad Nurhadi. Kini, pandangannya telah berubah menjadi hitam seluruhnya. Ia tak tahu apa yang terjadi, apa yang harus dilakukannya, dan tak tahu apakah ia masih di dalam masjid atau berada di alam lain yang ia tak mengerti apa pun.

Kelebat cahaya putih menyilaukan melewati wajahnya. Sekali. Dua kali. Tiga kali, berulang-ulang. Kini kelebat cahaya putih itu berubah menjadi gumpalan asap putih yang muncul dari lantai yang ia injak. Semakin membumbung dan memenuhi ruangan.

Kejadian berikutnya adalah sesuatu yang sangat di luar akal, yang membuatnya hampir terjatuh tak sadarkan diri. Sebuah pemandangan menakjubkan dan hanya terjadi karena kuasa Tuhan. Pemandangan yang mempertontonkan dirinya pada masa lampau. Di sana tampak begitu nyata kejadian ketika ia sebagai seorang guru dan ustad yang disegani mengambil keputusan untuk merekayasa hasil ujian sehingga semua anak yang bersekolah di yayasannya lulus semua. Tak peduli berapa puluh juta yang ia keluarkan untuk membungkam mulut rekan guru lainnya, membungkan atasannya yang berada di departemen pendidikan, untuk memberi imbalan kepada anak buahnya dalam menyebarkan sandi kepada anak-anaknya.

Pemandangan lainnya mempertontonkan kelicikan dirinya sehingga berhasil menduduki jabatan di komunitas kepala sekolah yang berada di kota B.

Lalu, jeritan suara orang-orang yang merasakan sakit luar biasa, laki-laki dan perempuan. Jeritan minta ampunan. Jeritan do’a-do’a yang terbenam. Dan jeritan tak berbentuk, abstrak, tak jelas yang sangat ia kenali.

Ya, itu adalah suara jeritan dirinya sendiri. Memohon ampunan. Menahan sakit yang sangat sakit. Dan puji-pujian kepada Tuhan yang sengau.

Pada saat itu dirinya merasa takut luar biasa. Kejadian-kejadian masa lampau masih berkelebat di tengah bangunan masjid. Semua dosa-dosa tampak jelas, yang selama ini dia sadari betul namun karena kebodohannya tak merasa perlu untuk bertaubat atau bersujud memohon ampunan. Gelar haji yang ia sandang, tokoh kampung yang dikenal sebagai imam masjid, jama’ah pengajian salah satu partai yang konon islami, runtuh seketika. Lenyap digantikan oleh ingatan ketika ia mengundang khalayak untuk makan bersama menggunakan uang haram, perempuan-perempuan yang pernah ia ajak berdua ke suatu tempat, fitnah kepada rekan kerja, rasa dengki sehingga ia berani menghasut, menelikung, menjatuhkan dengan licik orang-orang yang ia anggap sebagai ancaman karena emungkinkan untuk menggeser jabatannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun