Shalawat Nariyah atau disebut juga shalawat Tziyah atau shalawat Tafrjiyah berasal bukan dari Indonesia. Ia dikarang oleh ulama besar asal Maroko, Syekh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko), dan diamalkan melalui sanad muttashil oleh ulama-ulama di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali Mufti Mesir Syekh Ali Jumah yang memperoleh sanad sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadits dari Maroko.
 Jika shalawat Nariyah dianggap syirik, ada beberapa kemungkinan. Pertama, para ulama pengamal shalawat itu tak mengerti tentang prinsip-prinsip tauhid. Ini tentu mustahil karena mereka besar justru karena keteguhan dan keluasan ilmu mereka terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Kedua, pengarang shalawat Nariyah, termasuk para pengikutnya, ceroboh dalam mencermati redaksi tersebut sehingga terjerumus kepada kesyirikan. Kemungkinan ini juga sangat kecil karena persoalan bahasa adalah perkara teknis yang tentu sudah dikuasai oleh mereka yang sudah menyandang reputasi kelilmuan dan karya yang tak biasa. Ketiga, para penuduhlah yang justru ceroboh dalam menghakimi, tanpa mencermati secara seksama dalil shalawat secara umum, termasuk juga aspek redaksional dari shalawat Nariyah.Â
Dilihat dari segi ilmu nahwu, empat kalimat di atas merupakan shilah dari kata sambung (isim maushul) yang berposisi sebagai na'at atau menyifati kata .Â
Untuk menjernihkan persoalan, mari kita cermati satu per satu kalimat tersebut.
 Â
Pertama, .
 Dalam kacamata ilmu sharaf, kata merupakan fi'il mudlari' dari kata . Bentuk ini mengikuti wazan yang memiliki fungsi/faedah (dampak dari ). Demikian penjelasan yang kita dapatkan bila kita membuka kitab sharaf dasar, al-Amtsilah at-Tashrfiyyah, karya Syekh Muhammad Ma'shum bin 'Ali
. Contoh: Â
"Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu."
 Dengan bahasa lain, kaca itu pecah () karena dampak dari tindakan subjek "saya" yang memecahkan.Â
Contoh lain: Â