"Saya minta mereka tidak dilarang mendirikan rumah ibadah! Jika tidak, kamu harus angkat kaki dari sini! Saya tidak mau mendengar kabar seperti ini lagi. Saya juga tidak mau kedamaian di sini terusik karena orang seperti kamu!" ucap Marcus lalu pergi meninggalkan rumah Ahriman.
Sikap Ahriman dan kelompoknya benar-benar membuat Marcus gusar. Dia sangat khawatir akan terjadinya perpecahan di wilayahnya karena ulah mereka.
Sesampainya di istana sore hari, Marcus langsung mandi, dinginnya air membuat rasa lelah dan amarahnya menjadi hilang. Dia menikmati segarnya air yang membasahi seluruh tubuhnya.
Malam hari telah tiba, seperti biasa, Hana yang akan memasak makan malam mereka.
Sembari menunggu masakan jadi, dari jendela kamarnya, Marcus melihat langit mulai gelap, bintang-bintang yang selalu menampakkan batang hidungnya, malam itu tidak ada. Dan benar saja, langit akhirnya menangis, menumpahkan seluruh air matanya. Kilatan cahaya disertai suara menggelegar yang tiada henti membuat jantungnya berdebar.
Setelah lama menunggu, aroma masakan Hana mulai tercium hingga menusuk hidung, dan perut sudah bersuara pertanda rasa lapar telah tiba.
Seperti biasa, di meja makan beralaskan marmer Italy yang berusia lebih tua dari kedua anaknya itu, mereka menyantap makan malam di tengah suara halilintar yang saling bersahutan.
"Masakan Mama selalu enak," ucap Lewis.
Hana tersenyum lebar mendengar ucapan itu.
Setelah makan malam, Natasha bertanya kepada Marcus.
"Pa, aku mau jadi pemimpin seperti Papa." Ucap Natasha.