Mohon tunggu...
Mohammad Faiz Attoriq
Mohammad Faiz Attoriq Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Kontributor lepas

Penghobi fotografi domisili Malang - Jawa Timur yang mulai jatuh hati dengan menulis, keduanya adalah cara bercerita yang baik karena bukan sebagai penutur yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Antara Kebahagiaan yang Dikorbankan dan Stigma "Kurang Iman"

25 Maret 2023   23:08 Diperbarui: 27 Maret 2023   00:41 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebahagiaan yang hilang karena keadaan. (Foto: Unsplash.com/Anthony Tran)

20 Maret selalu diperingati sebagai Hari Kebahagiaan Sedunia yang setiap tahunnya selalu ada riset tingkat kebahagiaan dunia.

Seperti biasanya, Finlandia selalu berada di 10 besar negara dengan predikat paling bahagia di dunia.

Mengapa bisa masuk ke ranking bagus? Dilansir dari Kompasiana.com, kebebasan membuat keputusan, tingkat korupsi rendah, dan rakyat yang saling membantu membuat negara ini memiliki indeks kebahagiaan baik.

Seperti kebiasaan netizen Indonesia, jika ada negara lain yang punya prestasi bagus selalu dibandingkan dengan Indonesia.

Nah, Indonesia di urutan ke berapa untuk indeks kebahagiaan di seluruh dunia? Ya, ranking Indonesia berada di nomor 84 dari 109 negara, miris bukan?

Sebenarnya, di periode sebelum ini, Indonesia berada di ranking 87, artinya tahun ini naik meskipun hanya 4 peringkat.

Lantas, bagaimana dengan tingkat kebahagiaan orang Indonesia pada umumnya, termasuk Generasi Milenial dan Generasi Z?

Rupanya, tingkat kebahagiaannya relatif rendah, rata-rata antara mudah patah hati, putus asa, atau malah depresi.

Kondisi ini memang benar adanya, bukan dibuat-buat, banyak faktor yang menyebabkan kebahagiaan masih rendah, mengapa?

1. Keluarga tidak suportif

Ketika tersandung masalah, kebanyakan anak pasti mencurahkan isi hatinya kepada kedua orang tua mereka.

Namun, kebanyakan orang tua malah menghakimi anak mereka bermental lemah alih-alih memberi dukungan positif.

Setiap mencurahkan hati, mereka selalu dihakimi oleh keluarga dan selalu membandingkan dengan orang yang lebih tangguh, padahal tidak semua orang mampu.

Inilah yang generasi muda merasa rumah dan keluarga di dalamnya serasa bukan lagi rumah dalam artian sebenarnya.

Kebanyakan generasi muda lebih memilih untuk memendam masalah daripada selalu dilabeli anak yang lemah.

Dampaknya? Beberapa di antaranya merasa tidak bahagia dan berujung pada nekat bunuh diri sebagai jalan keluar dari hidup yang berat.

Kasus bunuh diri bisa dicegah apabila keluarga mau mendengarkan keluh kesah sang anak daripada menghardiknya.

2. Stigma kurang iman

Ketika mencurahkan isi hati kepada keluarga tentang masalah yang membuat kesehatan mentalnya terganggu, seorang anak malah dilabeli sebagai orang yang kurang beriman.

Setiap masalah yang timbul selalu dikaitkan dengan kurangnya seseorang untuk beribadah atau mengingat Tuhan.

Padahal, antara keimanan dan masalah kesehatan mental tidak pernah saling terkait menurut ilmu pengetahuan.

Hanya saja, karena masyarakat Indonesia terlalu fanatik beragama, mereka menyangkal isu kesehatan mental yang marak terjadi.

Bahkan, mencurahkan isi hati ke psikolog saja malah dihakimi sebagai orang yang tidak beragama, tidak jarang bahwa angka bunuh diri masih tinggi.

Masalah kesehatan mental sudah sejajar dengan masalah kesehatan fisik dan sudah ada penelitiannya.

Buktinya saja, ada dokter jiwa, psikiater, psikolog, bahkan di dunia farmasi pun ada obat-obatan untuk kejiwaan.

Sangat susah untuk membuka diri dan peduli terhadap kesehatan mental karena terlalu bebal dan menutup diri.

3. Mengorbankan kebahagiaan diri

Rela berkorban memang perlu, tetapi jika pengorbanan tersebut harus menumbalkan kebahagiaan, itu keterlaluan.

Dalam dunia psikologi, ada istilah Good Girl Syndrome yang memiliki gejala tidak bisa berkata 'tidak' karena takut diancam.

Penderitanya akhirnya menuruti apa kemauan keluarga atau orang tuanya tanpa bisa menyanggah.

Faktor utamanya adalah didikan keras orang tua yang memaksa anak mereka untuk selalu patuh dan menurut tanpa protes (Tiger Parenting)

Hal ini sangat lumrah terjadi karena egoisme orang tua yang berakar dari penyalahgunaan posisi lebih tinggi dari anak.

Mereka menyalahgunakan kewenangan untuk menindas anak mereka dan dengan mudahnya melabeli anak yang menolak sebagai anak durhaka.

Apa dampaknya? Seorang anak tidak akan bisa merasakan kebahagiaan menurut definisinya sendiri.

Padahal, tidak selamanya orang tua itu memiliki pandangan yang benar dan juga tidak selamanya anak itu selalu salah.

4. Faktor keadaan

Faktor keadaan juga memaksa seseorang untuk mengorbankan kebahagiaanya yang dinilai sebagai idealisme semu demi realitas.

Misal, terpaksa menjadi PNS karena terdesak keadaan ekonomi agar bisa mendapatkan penghasilan secara instan.

Padahal, menjadi abdi negara belum tentu membuat generasi saat ini menjadi bahagia karena terkekang oleh aturan dan lingkungan kerja yang monoton.

Anggapan idealisme tidak membuat perut kenyang terlalu mengakar dan dapat mengikis kebahagiaan seseorang.

Memang, gaji besar menjadi impian, tetapi jika kesehatan mentalnya bermasalah karena kebahagiaannya tidak dapat diperoleh, justru membuat stres.

Bahkan, kebanyakan generasi muda saat ini lebih memilih untuk menganggur daripada tidak bahagia di tempat kerja, lebih-lebih jika salah bidang kerja atau terjadi senioritas dan lingkungan kerja yang monoton.

Evaluasi untuk keluarga

Faktor keluarga sangat memengaruhi seorang anak mendapatkan kebahagiaan atau tidak.

Ada baiknya agar orang tua mendukung apa yang membuat anak mereka bahagia alih-alih menyetirnya sesuai keinginan mereka.

Seluruh orang tua di Indonesia harus bisa membuka hati dan pikiran tentang isu kesehatan mental yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan keimanan.

Menjadi pendengar yang baik adalah hal yang jauh lebih baik bagi orang tua daripada menjadi hakim atas masalah anak mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun