Namun, kebanyakan orang tua malah menghakimi anak mereka bermental lemah alih-alih memberi dukungan positif.
Setiap mencurahkan hati, mereka selalu dihakimi oleh keluarga dan selalu membandingkan dengan orang yang lebih tangguh, padahal tidak semua orang mampu.
Inilah yang generasi muda merasa rumah dan keluarga di dalamnya serasa bukan lagi rumah dalam artian sebenarnya.
Kebanyakan generasi muda lebih memilih untuk memendam masalah daripada selalu dilabeli anak yang lemah.
Dampaknya? Beberapa di antaranya merasa tidak bahagia dan berujung pada nekat bunuh diri sebagai jalan keluar dari hidup yang berat.
Kasus bunuh diri bisa dicegah apabila keluarga mau mendengarkan keluh kesah sang anak daripada menghardiknya.
2. Stigma kurang iman
Ketika mencurahkan isi hati kepada keluarga tentang masalah yang membuat kesehatan mentalnya terganggu, seorang anak malah dilabeli sebagai orang yang kurang beriman.
Setiap masalah yang timbul selalu dikaitkan dengan kurangnya seseorang untuk beribadah atau mengingat Tuhan.
Padahal, antara keimanan dan masalah kesehatan mental tidak pernah saling terkait menurut ilmu pengetahuan.
Hanya saja, karena masyarakat Indonesia terlalu fanatik beragama, mereka menyangkal isu kesehatan mental yang marak terjadi.