Mohon tunggu...
Mohammad SyafiudinFirdaus
Mohammad SyafiudinFirdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

NIM : 200102110045 Kelas : Pendidikan IPS B

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Biografi Tokoh Sufi Hasan Al-Bashri

2 April 2022   15:50 Diperbarui: 2 April 2022   16:11 3176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

HASAN AL-BASRI

Ketika Nabi masih hidup, sudah ada di antara para sahabat yang sangat peduli dengan kehidupan spiritual dan mencoba menganalisis dengan cermat berbagai aspeknya. Salah satunya adalah Huzaifah bin Yaman. Memasuki era Khulafa-ur Rasyidin, tampak misalnya dalam kehidupan Uais al-Qarni dan Abdullah bin Umar. Esoterisme yang kuat terpancar dari celah-celah kehidupan mereka dan memberikan daya tarik dalam keteladanan dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Hasan al-Basri dalam menegakkan kehidupan spiritual yang intensif tidak pernah melupakan realitas yang ada di masyarakat. Ia tampil dengan kehidupan spiritual sambil memperingatkan seluruh umat Islam agar tidak terlena dan terlena dengan dunia dan dunia. Dia hidup sederhana dan mengajarkan kehidupan spiritual dalam bentuk teori yang berpusat pada ketakutan (khauf) dan harapan (raja).

Hasan Basri hidup pada masa pemerintahan Khalifah Malik bin Marwan (685-705 M)1 dan melihatnya sebagai khalifah yang mempelopori umat Islam untuk hidup materialistis. Pengaruh besar Hasan Basri membuat penguasa menahan diri dan membiarkannya bebas di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan spiritual mulai memasuki sikap protes dan tasawuf mulai memasuki era baru pembentukan ajaran dasar.

Hasan bin Yasar al-Basri lahir di Madinah pada tahun 21 H/642 M. Ayahnya adalah Yasar, budak Zaid bin Tsabit yang dibebaskan dan diangkat sebagai sekretarisnya. Sedangkan ibunya adalah Khairah Maulat Umm Salamah. Abu Sa'id al-Hasan bin Abi al-Hasan Yasar al-Basri, yang dikenal sebagai al-Hasan al-Basri, lahir dua tahun sebelum berakhirnya kekhalifahan Umar bin al-Khattab.

Pada awalnya keluarga al-Hasan al-Bashri tinggal di Wadi al-Qura, sebuah daerah di wilayah Madinah. Namun, ketika pecah perang Siffin (37 H), orang tuanya pindah ke Basra. Sementara itu, al-Hasan al-Basri sendiri tetap berada di Madinah. Baru setahun kemudian dia mengikuti Basra. Hasan al-Basri adalah seorang tabi'in, orang yang bertemu dengan para sahabat Nabi. Ia adalah murid dari sahabat Nabi, Hudzaifah bin Yaman yang dalam sejarah disebut-sebut bisa berbicara tentang rahasia hati (asrar al-qulub).

Bashrah adalah salah satu kota besar di Irak dan pusat peradaban Islam pada zaman klasik, terletak di dekat Syatt al-'Arab, sebuah sungai yang dibentuk oleh pertemuan Sungai Tigris dan Efrat, sekitar 75 mil (120 km) dari Teluk Persia dan 280 km dari Teluk Persia. Teluk Persia. mil (450 km) tenggara Bagdad. Bangsa Arab menemukan Basrah pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab (42 SH/581 M-23 H/644 M).

Keluarga al-Hasan al-Bashri adalah keluarga yang berilmu dan memperhatikan ilmu khususnya Al-Qur'an dan hadits. Ibunya sendiri, yang sangat dekat dengan Ummu Salamah, salah satu istri Nabi Muhammad, adalah orang yang berilmu. Ibunya adalah seorang penghafal dan perawi banyak hadits, yang menerima dan meriwayatkan banyak hadits dari Ummu Salamah.

Pendidikan awal Al-Hasan al-Basri berasal dari keluarganya sendiri. Ibunya adalah guru pertamanya. Kehidupan keluarganya di Madinah yang berlangsung kurang lebih 16 tahun sejak lahirnya al-Hasan al-Basri hingga keluarganya pindah ke Basra, memberi warna tersendiri bagi perkembangan ilmunya. Ibunya memiliki banyak pengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan al-Hasan al-Basri. Berkat didikan dan bimbingan ibunya, pada usia 14 tahun Hasan sudah hafal Al-Qur'an. Sejak usia dini seperti ini, ia juga telah mendengar banyak riwayat (hadits) dari ibunya. Pergaulannya dengan para sahabat Nabi SAW membuat cakrawala ilmu agama khususnya hadits semakin luas.

Bashrah pada masa itu merupakan benteng ilmu yang paling besar, masjidnya yang megah selalu dipenuhi para sahabat Nabi dan mayoritas tabi'in yang berkunjung ke sana. Pengetahuan halaqah-halaqah dalam berbagai disiplin ilmu turut meramaikan dan meramaikan sudut-sudut masjid dan mushola.

Sementara itu, al-Hasan terus mengikuti halaqah Abdullah bin Abbas yang sering dijuluki sebagai "Penafsir Al-Qur'an dan Tinta Umat". Darinya ia belajar tafsir dan hadits dan qiraat, selain itu ia juga mengambil darinya dan ulama lainnya; fiqh, bahasa, dan sastra serta disiplin ilmu lainnya untuk menjadi orang yang bertaqwa, yang memiliki bangunan intelektual, fiqh, dan amanah yang utuh.

Banyak orang datang ke al-Hasan al-Basri untuk menimba ilmu yang luas. Mereka berkumpul di sekelilingnya untuk mendengarkan ceramah yang memang melembutkan hati yang keras dan membawa air mata ke mata orang-orang berdosa. Pada akhirnya, halaqah ini adalah halaqah terbesar di Basra, mampu menarik banyak jamaah, seperti bunga yang menarik kumbang, memancarkan kebijaksanaan yang dapat memikat hati, mereka meniru kepribadian lebih baik daripada aroma kesturi. Dengan demikian, al-Hasan al-Basri merupakan simbol keluasan wawasan dan limpahan ilmu.

Mengenai al-Hasan, Rabi' ibn Anas berkata, "Saya belajar dengan al-Hasan al-Bashri selama hampir sepuluh tahun, tidak sehari kecuali saya mendengar hal-hal yang belum pernah saya dengar sebelumnya." Muhammad Ibn Sa'ad berkata, "Al-Hasan adalah seorang ulama yang menguasai seluruh ilmu, saleh, tinggi, fiqh, amanah, kata-katanya menjadi referensi, jujur, ahli dalam ibadah, fasih, baik, dan tampan." Anas bin Malik juga pernah berkata, “Mintalah al-Hasan, karena dia hafal sedangkan kita lupa.” Qatadah juga berkata, "Saya tidak pernah membandingkan ilmu al-Hasan dengan ilmu ulama lain, kecuali saya menganggapnya lebih tinggi."

Sementara itu, Tsabit ibn Qurrati al-Hakim al-Harrani mencirikannya sebagai berikut, “Dia adalah bintang paling terang dalam ilmu dan ketakwaan, dalam asketisme dan wara' dalam iffah (kebersihan hati) dan kelembutan, dalam fiqh dan wawasan, dalam majlis-nya mengumpulkan berbagai orang. , yang mengambil hadits, yang lain mengambil takwil, yang satu mendengarkan halal dan haram, sementara yang lain mendengarkan narasi dalam fatwa, ini mempelajari hukum dan keadilan, yang lain mendengarkan ceramah dan nasihat. -disebut disiplin dia seperti laut yang berombak, atau seperti obor yang bersinar. Tak lupa sikapnya dalam menegur makruf-nahi munkar di depan penguasa, atau serupa dengan penguasa yang disampaikannya dengan bahasa yang lugas, dan dengan kata-kata yang jelas.

Ahmad Ismail al-Basit, seorang ulama Yordania, membagi masa kehidupan al-Hasan atas tiga periode, yaitu; (1) periode tahun 21-42 H; (2) periode 43-53 H; dan (3) periode 53-110 H. Periode pertama merupakan periode kehidupan al-Hasan di Madinah. Pada masa ini, ia banyak menimba ilmu, tidak hanya dari ibunya, melainkan juga dari sebagian sahabat. Pada periode kedua ia mulai melibatkan diri dalam berbagai peperangan dan penaklukan wilayah- wilayah baru. Pada saat yang bersamaan, ia juga bertemu dengan banyak sahabat Nabi SAW dan menimba banyak ilmu dari mereka. Dalam periode ini pula ia menjadi sekretaris Rabi’ ibn Ziyad al-Harisi (w. 53 H), seorang amir Sijistan, Khurasan (Persia). Periode ketiga ia habiskan waktunya di Basrah untuk menyampaikan dan mengajarkan ilmunya.

Al-Hasan al-Basri banyak menerima hadits dari para sahabat dan tabi'in. Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa al-Hasan masih sempat bertemu dengan Ali bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaidillah, dan Aisyah binti Abu Bakar. Beliau menerima hadits dari beberapa sahabat dan perawi hadits lainnya, seperti Ubay bin Ka'ab (wafat 19 H), Sa'id bin Ubadah, Umar bin Khattab, Ammar bin Yasir, Abu Hurairah, Usman bin Affan, Abdullah bin Umar, Hamid at -Tawil, Yazid bin Abi Maryam, dan Mu'awiyah bin Abu Sufyan.

Hasan Bashri dikenal sebagai seorang ulama yang sangat mendalami ilmu fiqih dan kalam. Sebagaimana disebutkan di atas, 'Amr ibn 'Ubaid dan Wasil ibn Atha, keduanya tokoh mazhab Mu'tazilah, adalah murid-muridnya. Hasan al-Basri juga dikenal sebagai orator yang sangat brilian. Dalam khutbahnya ia mengajak masyarakat untuk mewaspadai tipu muslihat kehidupan duniawi. Salah satu nasehat beliau, “Jual duniamu dengan akhiratmu maka kamu akan mendapatkan keduanya. Jangan jual duniamu dengan akhiratmu, maka kamu akan kehilangan keduanya. Waspadalah terhadap tipu daya dunia. Dunia itu seperti ular, kulitnya lembut, tapi racunnya mematikan.” Dia dihormati sebagai 'alim dan wali di masa awal Islam.Hasan al-Basri mendirikan dewan zikir di Basra di mana murid-murid dan pengikutnya berkumpul.

Pada malam Jum'at awal Rajab tahun 110H/728 M, Hasan Al-Basri menjawab panggilan Robb-nya. Ia meninggal dalam usia 80 tahun. Warga Basra sedih, hampir semuanya membawa jenazah Hasan Al-Basri ke liang lahat. Hari itu di Basra tidak ada shalat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong dan tidak berpenghuni.

Karya-Karya Hasan Basri

Pendapat al-Hasan al-Basri ditemukan dalam berbagai kitab. Meskipun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang apakah ada tulisan yang ditinggalkan oleh al-Hasan al-Basri. Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H), misalnya, berpendapat bahwa al-Hasan al-Bashri tidak pernah meninggalkan satu kitab pun dan kita tidak pernah melihat kitab yang ditulisnya, sedangkan pendapat yang kita lihat saat ini disampaikan melalui riwayat. . nabi. ulama. muridnya.

Berbeda dengan Abu Zahrah, Ibnu Nadim berpendapat bahwa al-Hasan al-Basri telah menulis kitab tafsir dan risalah sejumlah ayat berjudul al-'Adad atau 'Adad Ayi al-Qur'an al-Karim (Jumlah Ayat Al-Karim). Al-Qur'an). Risalah yang dia tulis adalah; (1) al-Ihklas (keikhlasan), (2). Risalah tentang tanggapannya terhadap Khalifah Abdul Malik bin Marwan; (3) Risalah Fada'il Makkah wa as-Sakan fih (Kebajikan Mekah dan Kedamaian di dalamnya), yang menurut Ahmad Ismail al-Basit adalah satu-satunya risalahnya (teks asli diedit oleh Dr. Sami Makki al-Ani, profesor budaya Islam di Universitas Kuwait, dan diterbitkan pada tahun 1980 oleh Maktabah al-Fallah, Kuwait); dan (4) risalah Faraid ad-Din yang naskahnya masih tersimpan di Maktabah al-Auqaf, Bagdad. Selain itu, di Maktabah Taimur, Kairo, masih terdapat beberapa naskah tersebut, yaitu Syurut al-Imamah (Syarat Pemimpin), Wasiyyah an-Nabi li Abi Hurairah (Kesaksian Nabi Muhammad kepada Abu Hurairah), dan al-Istigfarat al-Munqizat min. an-Nar (Berbeda Istigfar yang bisa menyelamatkan dari Neraka).

Untuk mengembangkan ilmu yang pertama kali diterimanya, ia membuka Madrasah al-Hasan al-Basri, yang merupakan forum khusus untuk berdiskusi dan di sinilah ia mengajarkan berbagai ilmu keislaman. Di antara murid-muridnya adalah Wasil ibn Atha (tokoh Muktazilah, w. 131 H), Amr ibn Ubaid (tokoh Muktazilah,w. 145 H), Ma'bad al-Jahani (w. 80 H), Gailan ad-Dimasyqi (w. 105 H), dan Qatadah ibn Di'amah as-Sadusi al-Basri (w. 118 H). Murid-muridnya yang lain adalah Hamid at-Tawil (ahli dan penghafal hadits, w. 143 H), Bakr ibn Abdullah al-Muzani (a Basrah faqih, w. 108 H), Sa'ad ibn Iyas (a Basrah faqih, w. .144 H), Malik ibn Dinar (seorang ulama dan zuhud, w. 127 H), dan Muhammad ibn Wasi' al-Azadi al-Basri (seorang ahli kirologi dan ulama Basra, w. 123 H)

Latar Belakang Sosial, Politik, Ekonomi

Hasan Basri mampu menyaksikan pemberontakan Usman bin 'Affan dan peristiwa politik berikutnya yang terjadi di Madinah yang menghancurkan umat Islam. Tanpa mengetahui motif pastinya, ia dan keluarganya pindah ke Basra.9 Beberapa gejolak politik awal Muslim menjadi motif munculnya pemikiran zuhud dan gerakan zuhud. Pada awalnya zuhud memiliki motif keagamaan murni, kemudian beberapa elemen eksternal diperkenalkan. Gerakan ini semakin intensif pada masa pemerintahan Bani Umayyah (41-132H/11-750 M), pendukungnya adalah para ulama, ahli hadits.

Hasan Basri hidup pada masa Dinasti Umayyah. Sebagai reaksi atas kehidupan mewah dan kezaliman penguasa saat itu, Hasan al-Bashri menjauhkan diri dari kehidupan politik. Dia tidak ikut campur dalam hal-hal yang menyebabkan perpecahan umat Islam dan tidak memerangi ketidakadilan para penguasa dengan kekerasan. Kebalikannya adalah melakukan perbuatan takwa. Jalan hidup yang dipilihnya adalah menjauhkan diri dari kehidupan duniawi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Pemikiran Dakwah dan Komunikasi Hasan Basri

Hasan Basri mampu menyaksikan pemberontakan Usman bin 'Affan dan peristiwa politik berikutnya yang terjadi di Madinah yang menghancurkan umat Islam. Tanpa mengetahui motif pastinya, ia dan keluarganya pindah ke Basra.9 Beberapa gejolak politik awal umat Islam menjadi motif munculnya pemikiran zuhud dan gerakan zuhud. Pada awalnya zuhud memiliki motif keagamaan murni, kemudian beberapa elemen eksternal diperkenalkan. Gerakan ini semakin intensif pada masa pemerintahan Bani Umayyah (41-132H/11-750 M), pendukungnya adalah para ulama, ahli hadits.

Hasan Basri hidup pada masa Dinasti Umayyah. Sebagai reaksi atas kehidupan mewah dan kezaliman penguasa saat itu, Hasan al-Bashri menjauhkan diri dari kehidupan politik. Dia tidak ikut campur dalam hal-hal yang menyebabkan perpecahan umat Islam dan tidak memerangi ketidakadilan para penguasa dengan kekerasan. Kebalikannya adalah melakukan perbuatan takwa. Jalan hidup yang dipilihnya adalah menjauhkan diri dari kehidupan duniawi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Abdul Mun'im al-Hifni, seorang ahli tasawuf di Kairo, memasukkan Hasan Basri ke dalam kelompok sufi besar. Beliau mengatakan bahwa Hasan Basri adalah seorang zahid yang wara'10 dan seorang komunikator yang nasehatnya menyejukkan dan kalimat-kalimatnya menyentuh pikiran rasional. Mengenai tasawuf, Hasan Basri mengatakan, “Barangsiapa yang menggunakan tasawuf karena kepasrahan kepada Allah, Allah akan menambah cahaya untuknya dan hatinya, dan siapa yang menggunakan tasawuf karena kesombongan akan dilemparkan ke dalam Neraka.” 11

Kedalaman pengetahuan Hasan Basri tentang tasawuf membuatnya cenderung untuk menafsirkan beberapa istilah dalam Islam menurut pendekatan tasawuf. Islam, misalnya, diartikan sebagai penyerahan hati dan jiwa hanya kepada Allah SWT dan keselamatan seorang Muslim dari gangguan umat Islam lainnya. Seorang mukmin menurutnya adalah orang yang mengetahui bahwa apa yang Allah SWT katakan adalah apa yang dikatakannya. Orang mukmin adalah orang yang paling baik amalan dan paling takut kepada Allah, dan meskipun dia menghabiskan hartanya setinggi gunung, seolah-olah dia tidak bisa melihatnya (tidak menceritakannya).

Sufi menurut pengertiannya adalah orang yang hatinya selalu bertaqwa kepada Allah SWT dan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: berbicara kebenaran, menepati janji, berteman, mencintai yang lemah, tidak memuji diri sendiri, dan berbuat baik. Faqih, menurutnya, adalah orang yang bergairah di dunia dan bahagia di akhirat, melihat dan memahami agamanya, selalu menyembah Tuhannya, wara', melindungi kehormatan kaum muslimin dan harta mereka, dan menjadi penasihat. dan pedoman bagi masyarakat.

Seperti sufi lainnya, Hasan Basri sangat takut akan azab Allah. Abdul Mun'im al-Hifni menggambarkan Hasan Basri sebagai orang yang selalu takut. Ia selalu merasa takut karena membayangkan neraka yang diciptakan Allah SWT semata-mata untuknya. Ia bisa dikatakan sebagai ulama pendiri mazhab Zuhud Basra, ahli fiqih, zuhud, dan ulama ilmu agama. Dia bersama para Sahabat Agung, oleh karena itu masuk akal jika dia mendengar banyak hadits dari mereka, terutama Ibn 'Abbas.

'Abd Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan Basri pernah berkata, “Aku pernah bertemu dengan suatu kaum yang lebih fanatik terhadap hal-hal yang halal daripada kamu tentang hal-hal yang haram.”14 Dari pernyataan ini ia membagi zuhud pada dua tingkatan, yaitu; zuhud terhadap barang haram, ini merupakan tingkat dasar zuhud, sedangkan semakin tinggi zuhud pada barang halal, alasan zuhud lebih tinggi dari yang sebelumnya. Dan dia telah mencapai kondisi kedua ini, yang diwujudkan dalam bentuk makan sedikit, tidak terikat oleh makanan dan minuman, bahkan dia pernah berkata, jika dia menemukan cara untuk mencegah makan, dia pasti akan melakukannya. , dia berkata, "Saya suka makan." sekali saya bisa kenyang selamanya, seperti semen tetap di air selamanya."

Kehidupan “model” zuhud kemudian berkembang pada abad ke-3 Hijriah ketika para sufi memperhatikan aspek teoritis dalam rangka membentuk tasawuf menjadi ilmu moralitas agama. Pembahasan yang luas di bidang moralitas mendorong lahirnya kajian mendalam tentang gejala-gejala psikologis. Pemikiran-pemikiran yang lahir kemudian terlibat dalam persoalan epistemologis, yang bagaimanapun berhubungan langsung dengan pembahasan hubungan manusia dengan Allah SWT, dan sebaliknya sehingga konsep-konsep seperti fana (penyangkalan diri), ilmu huduri, bentuk wahdatul (kesatuan makhluk) lahir. , dan lain-lain.

Daftar Pustaka

Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. I, 1995.

Bahrum Rangkuti, et. al. Sejarah Islam II, Zaman Khalifah Usman ibn ‘Affan,

Jakarta: Tintamas, 1953

Daulah Umayyah: Abdul Malik Bin Marwan (685-705 M) Ayah Para Khalifah, Republika, 22 April 2011.

Dewan Editor, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, 1997

Dewan Editor, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, 1994

Fakhry, Majid, a Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, England: Onewolrd Publication, 1997.

Hasan, Abd. Al-Hakim, al-Tasawwuf fi Syi’ri al-‘Arabi, Anjalu al-Misriyyah, 1954,

Jamal, al-Hasan, Biografi Sepuluh Imam Besar, terj. M. Khaled Muslih, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun