Ada tiga pendapat dalam hal ini, pertama mayoritas kalangan syafiiyah, malikiyah, dan hanafiyah memperbolehkan sekalipun darah tetap keluar. Kedua, tidak boleh melayani suaminya. Pendapat ini disampaikan oleh al-Nukha'i dan Ibn Sirin.Â
Ketiga, tidak boleh melayani suaminya kecuali kawatir suaminya akan melakukan tindakan yang tidak dinginkan. Pendapat ini disampaikan oleh madzhab hambali.
Ditarik kesimpulan kita sebagai penganut mazhab syafi' otomatis lebih mengedepankan pendapat-pendapat syafiiyah.
Hal pertama, kita merujuk pada kebiasaan untuk mengatakan istihadhah tidaknya jika sudah biasa keluar darah jika masih pemula dikatakan istihadhah setelah melewati lima belas hari.
Hal kedua, mengamalkan tamyiz-nya jika termasuk ahli tamyiz tapi jika tidak maka melihat kebiasaan.
Hal ketiga, dia hanya wajib mandi pada saat dirinya mengetahui sudah beralih status dari haid ke mustahadhoh. Terkait dengan wajibnya wudu', bersuci dan memberi pembalut pada kemluan harus dilakukan setiap kali mau melaksanakan shalat wajib.
Hal kempat, wanita yang sedang istihadhah tetap diperbolehkan bersenggam dengan suaminya sekalipun darah tetap mengalir.
Wallahu A'lam
Artikel ini disarikan dari al-muzakkirah karya Dr. Izzudin al-Sudani tentang masail al-fiqh al-Muqaran fi Qism al-Ibadah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H