Mohon tunggu...
Mohammad Hafidz Anshory
Mohammad Hafidz Anshory Mohon Tunggu... Tenaga Pendidik -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal Empat Permasalahan Istihadhah dalam Fikih Perbandingan

11 Januari 2019   22:58 Diperbarui: 7 Juli 2021   16:09 2580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Permasalahan Istihadhah dalam Fikih Perbandingan (unsplash/nate neelson)

Istihadhah sebagai darah yang keluar diluar waktu-waktu haid dan nifas ternyata tidak mudah diketahui, karena memang keluarnya darah ini tak mepunyai waktu-waktu khusus sebagaimana waktu haid dan nifas.

Namun jangan kawatir, kebingungan anda akan terobati setelah menyelami artikel ini yang akan menyajikan empat hal pokok yang dibingungkan kebanyakan wanita yang sedang mustahadhah.

Baca juga : Sumber Belajar dan Bahan Ajar Pembelajaran Fikih di Madrasah

1. Darah berlanjut dari haid ke istihadhoh

Jiak seorang wanita haid dan darahnya berlanjut ke istihadhoh maka kapan ia dihukumi sebagai mustahadhah? Misalkan, dia haid pemula darahnya terus berlanjut hingga melebihi 15 hari atau ia sudah terbiasa tapi darahnya keluar berlanjut melebihi waktu kebiasaan.

Wanita yang baru pertama  mengalami haid -menurut mazhab maliki dan syafi'i-  jika darah haidnya terus berlanjut setelah lewatnya waktu maksimal haid (15 hari) maka dia langsung dihukumi mustahdhah (sedang istihadhah).

Sementara wanita yang sudah terbiasa haid -menurut madhab maliki- boleh memilih antara dua opsi. Pertama, dia akan dihukumi mustahadhah jika darah keluar terus berlanjut diluar batas kebiasaan dan ditambah tiga hari selama tidak keluar batas maksimal haid. Kedua, dia akan dihukumi mustahdhah setelah darah keluar melebihi lima belas hari.  

Tapi kalo termasuk ahli tamyiz ( wanita yang bisa mengetahui dan membedakan sifat darah -dari yang terkuat hingga yang terlemah-hitam, merah, kuning dan keruh serta cukup syarat untuk dikatakan darah istihadhah) dia harus mengamalkan tamyiznya. 

Berbeda dengan mazhab syafi'i yang hanya menitik beratkan pada waktu kebiasaannya. Artinya jika darah terus berlanjut dan keluar dari waktu kebiasaan maka pada itu ia langsung menvonis dirinya mustahadhah.

Baca juga : Mengupas Hukum "Beli Sekarang Bayar Nanti" Bersama Fikih Muamalah

2. Darah berlanjut dari istihadhoh ke haid

Wanita yang sudah tahu dirinya sedang istihadhoh kemudian darah terus saja berlanjut hingga tak menentu, kapan dia dihukumi haid? Misalkan ia sudah dikatakan mustahadhoh setelah darah berlanjut melebihi batas maksimal haid hingga tak menentu.

Dalam hal ini ada tiga pendapat, pertama, madhab maliki mengatakan dia tetap dikatakan mustahadhah selama darahnya tidak berubah warna yang diyakini haid dan tidak melebihi minimal waktu suci (15 hari). 

Kedua, melihat kebiasannya jika suda terbiasa tapi jika pemula dia mengambil 10 hari sebagai maktu maksimal haid. Ini pendapat madzhab hanafi. Ketiga, mengamalkan tamyiz-nya jika termasuk ahli tamyiz tapi jika tidak maka melihat kebiasaan.

3. Kewajiban bersuci bagi Mustahadhoh

Wanita mustahadhah sebagai mana diketahui harus melakukan kewajiban-kewajibaan layaknya wanita yang sedang normal (tidak keluar darah). Namu apakah ia disaat mau melakukan shalat harus selalu mandi dan bersuci atau tidak?

Ada empat pendapat dalam hal ini, pertama mayoritas ulama' -maliki, syafi'i dan hanfi'i mengatakan, dia hanya wajib mandi pada saat dirinya mengetahui sudah beralih status dari haid ke mustahadhoh. 

Terkait dengan wajibnya wudu' setiap mau melaksanakan sholat mereka berbeda pendapat. Kedua wajib adus pada setiap mau melaksnakan sholat. 

Ketiga, ia harus bersuci sebanyak tiga kali, satu sucian untuk duhur dan ashar dijama' ta'khir, satu sucian untuk magrib dan isya' juga dita'khir, terakhir, satu sucian untuk shubuh. Keempat, ia wajib bersuci setiap hari.

Baca juga : Model, Strategi, dan Metode Pembelajaran Fikih di Madrasah

4. Hukum melayani suami

Kita tahu bahwa mustahadhoh tetap diperkenankan melangsungkan kewajiban-kewajiban lainnya layaknya orang normal tapi untuk kewajiban melayani suami bagaimana?

Ada tiga pendapat dalam hal ini, pertama mayoritas kalangan syafiiyah, malikiyah, dan hanafiyah memperbolehkan sekalipun darah tetap keluar. Kedua, tidak boleh melayani suaminya. Pendapat ini disampaikan oleh al-Nukha'i dan Ibn Sirin. 

Ketiga, tidak boleh melayani suaminya kecuali kawatir suaminya akan melakukan tindakan yang tidak dinginkan. Pendapat ini disampaikan oleh madzhab hambali.

Ditarik kesimpulan kita sebagai penganut mazhab syafi' otomatis lebih mengedepankan pendapat-pendapat syafiiyah.

Hal pertama, kita merujuk pada kebiasaan untuk mengatakan istihadhah tidaknya jika sudah biasa keluar darah jika masih pemula dikatakan istihadhah setelah melewati lima belas hari.

Hal kedua, mengamalkan tamyiz-nya jika termasuk ahli tamyiz tapi jika tidak maka melihat kebiasaan.

Hal ketiga, dia hanya wajib mandi pada saat dirinya mengetahui sudah beralih status dari haid ke mustahadhoh. Terkait dengan wajibnya wudu', bersuci dan memberi pembalut pada kemluan harus dilakukan setiap kali mau melaksanakan shalat wajib.

Hal kempat, wanita yang sedang istihadhah tetap diperbolehkan bersenggam dengan suaminya sekalipun darah tetap mengalir.

Wallahu A'lam

Artikel ini disarikan dari al-muzakkirah karya Dr. Izzudin al-Sudani tentang masail al-fiqh al-Muqaran fi Qism al-Ibadah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun