Mohon tunggu...
Mohamad Ikhwanuddin
Mohamad Ikhwanuddin Mohon Tunggu... Administrasi - Anak Kolong

Menulislah, karena tulisanmu adalah karyamu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mancing

6 Desember 2020   10:10 Diperbarui: 6 Desember 2020   11:43 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seri Cerpen Bersambung ANAK KOLONG

MANCING

Oleh: Mohamad Ikhwanuddin

“Aku dapat ikan...”, teriakku sambil mengangkat joran pancing dengan senar yang tegang oleh tarikan tawes besar. Dua jam berlalu akhirnya kailku di sentuh ikan. Dengan wajah berbinar ku lepaskan kail yang menyangkut di mulut Tawes. Sedikit sentakan akhirnya kail terlepas dari mulutnya. Tawes menggelepar-gelepar di tanah seakan tak rela aku yang mendapatkannya. Segera ku masukan ke dalam kepis yang terbuat dari anyaman bambu.

Suasana hening...

Aku tidak melihat sahabatku yang lainnya, Ali, Yoyok dan Didin. Dimana gerangan mereka berada?

Ah...sudahlah, mungkin mereka mencari tempat teduh yang banyak ikan bergerombol disana. Seperti biasa kita berempat pergi dan pulang selalu bersama, namun berpencar saat memancing. Teman-teman memanggilku Pung atau Japung. Kata orang tuaku, Japung itu kepanjangan dari Jawa Lampung. Penduduk desaku seluruhnya purnawirawan angkatan laut yang sebelum pensiun transmigrasi ke daerah ini. Untuk mengabadikan kelahiranku namun tidak meninggalkan identitas asal, aku diberi nama Japung.

“Yoyok…?”

“Didin…?”

“Ali…?”

panggilku dengan suara melengking terdengar seperti auman serigala yang sedang melihat mangsa.

Seperti kor dengan kompak mereka menjawab.

“Ada apa…?”

Yoyok yang berbadan kurus dengan rambut kriting seperti mie yang baru diseduh berlari secepat kilat tiba dihadapanku

“ono opo pung?”

belum sempat kujawab, datang Didin dan Ali secara bersamaan.

Didin berkulit putih dengan badan tambun dengan nafas terengah-engah berlari sempoyongan sambil sekali-kali menaikkan celananya yang kedodoran,

 “Aadaa apa…ada apa…?”

Sedangkan Ali yang berkulit hitam dengan rambut belah tengah dan tahi lalat di dagu bak bintang film terkenal pada masanya berlari kearahku dan berhenti tepat disampingku dengan mimik serius,

“Ada apa sii!”

Aku terbengong

Dengan wajah lugu dan menahan tawa,

“Ada apa kok kesini…?”

Yoyok yang pertama kali datang menghampiriku dengan logat Surabayanya

“Cuk, bukannya awakmu tadi manggil…?”

Ali tanpa bicara hanya memandangku dengan sedikit melotot.

“Aku tadi hanya manggil aja, mau bilang kalo aku sudah dapat Tawes besar”, sambil menunjuk kearah kempis.

Sedangkan Didin yang nafasnya masih ngos-ngosan hanya tersenyum sambil menahan tawa.

Wajah Yoyok dan Ali terlihat menahan emosi. Tanpa berkata lagi, Yoyok dan Ali langsung balik badan. Baru sepuluh langkah mereka berjalan, dengan kompak berhenti dan membalikan badan serta menatapku sambil tersenyum. Aku curiga dengan senyuman sahabatku, sebelum otakku menterjemahkan senyum mereka.

Tiba-tiba...

Ali dan Yoyok berlari ke arahku, tanpa diberi waktu untuk berfikir apa yang akan mereka lakukan, sedetik kemudian Ali mengangkat tangan dan kaki kananku, sedangkan Yoyok mengangkat tangan dan kaki kiriku. Tubuhku diangkat tinggi-tinggi sambil di ayun dari belakang ke depan.

“Jangan…, jangan…”, kataku

Satu…, dua…, tiga...,

Biuur

Tubuhku mendarat di sungai. Air bergelombang menuju daratan bagaikan tsunami kecil yang memporak-porandakan daerah sekitar sungai. Air dan buih berterbangan seperti hujan yang turun di siang hari.

Ali dan Yoyok tertawa kegirangan sambil diselingi dengan joget ala Roma Irama dengan group Sonetanya, sedangkan Didin hanya tertawa terbahak-bahak sampai terlihat perut gembulnya.

Awalnya aku mau marah kepada mereka namun melihat kekocakan Ali, Yoyok dan Udin marahku sirna, akupun juga ikut tertawa. Tiba-tiba terbersit dibenakku untuk menarik tubuh Didin ke dalam sungai. Tanpa pikir panjang, kutarik tubuh Didin ke dalam sungai.

Biuur

Tubuh Didin jatuh kedalam air sungai. Eceng Gondok yang hidup subur dipinggir sungai bergoyang dengan kencang dan terbawa arus kedaratan akibat gelombang sungai yang menerjangnnya.

Kepala Didin muncul dari dalam sungai. Bukannya marah, namun dia menari dan tertawa terbaha-bahak.

“Pung, panggil Didin”, aku temani main di dalam sungai yaa, sambil memercikkan air ke wajahku.

Dengan sigap kubalas percikan Didin dengan terkaman ke tubuh Didin, kami tenggelam bersama. Sedetik kemudian kepala kami muncul bersamaan di pemukaan air. Kami tertawa bersama

Tiba-tiba Ali dan Yoyok berlari dan melompat ke dalam sungai.

Biuur..., Biuur...,

Tubuh Ali dan Yoyok mendarat di dalam sungai. Air sungai menerjang tubuhku dan Didin. Jadilah kami berempat bermain di dalam sungai. Ritual Ini yang selalu kami lakukan. Bermain bersama di sungai. Kadang kami naik perahu sampai tengah sungai, mandi dan meloncat dari atas perahu. Pernah juga perahu yang kita naiki bocor ditengah sungai, bukannya ketakutan, namun kita tertawa terbahak-bahak.   

Setelah puas berenang disungai, dengan baju basah kuyup kami pulang ke rumah masing-masing dengan membawa ikan hasil memancing. Canda dan tawa tidak putus selama perjalanan pulang. Kegembiraan milik kita meskipun dalam kondisi keterbatasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun