Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Fobia Sosial, Social Anxiety Disorder yang Menyebalkan

26 Oktober 2024   10:18 Diperbarui: 28 Oktober 2024   11:23 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kecil saya kerapkali mengalami semacam ketidaknyamanan dalam menghadapi situasi baru yang melibatkan orang banyak.

Ketidaknyamanan itu berupa suasana emosional yang ditandai dengan kepanikan ketika berada pada sebuah kondisi yang belum pernah atau jarang saya alami sebelumnya. Saya mengalami kekhawatiran, kecemasan, tertekan, risih, gugup, dan berbagai bentuk ketidaknyamanan lainnya.

Berhadapan dengan situasi baru, saya merasakan jantung berdegup kencang dan napas tersengal, seakan baru saja tiba di garis finis setelah berlari dengan jarak tempuh yang sangat jauh.

Pada saat tertentu, lutut, tangan, dan segala persendian bergetar bagai seseorang yang tengah diserang lapar. Saya berkeringat dingin. 

Awal masuk sekolah merupakan pertemuan dengan dunia baru. Saya masih ingat, hari-hari pertama menjadi hari yang mendebarkan. Melewati waktu 5-7 jam di sekolah terasa sangat panjang dan melelahkan. 

Benar kata orang, keletihan bukan selalu disebabkan oleh aktivitas fisik tetapi kecemasan, stres, dan keputusasaan merupakan pemicu rasa lelah yang cukup signifikan. 

Tidak saja saat masuk SD, tetapi juga saat menjalani hari-hari awal bangku SMP dan SMA, saya masih mengalami kegamangan itu karena harus berhadapan dengan situasi baru. Saat memasuki gerbang sekolah, saya merasa seakan berada dalam keadaan "terancam".

Perasaan itu membuat saya gentar seolah akan menghadapi sesosok musuh tak terkalahkan. Saya seakan menjadi tokoh Guru Isa dalam Jalan Tak Ada Ujung-nya Mochtar Lubis.

Ada banyak bayangan buruk yang mewarnai pikiran saya dalam setiap pengalaman baru. Saya harus harus berjuang melawan bayangan menakutkan tentang teman-teman baru, guru baru, kelas dengan suasana baru, dan lingkungan baru.

Ketidaknyamanan itu begitu saja muncul tanpa saya pahami karena memang tidak ada celah yang bisa dipahami sebagai sesuatu yang harus ditakuti.

Saat memasuki perguruan tinggi, gejala ketidaknyamanan itu masih bertahan. Ketika melakukan daftar ulang saya pernah kehilangan dokumen karena dirundung perasaan cemas dan panik tanpa sebab yang jelas saat nama saya disebut dalam daftar antrian.

Alih-alih bersemangat, dada saya berdebar hebat ketika memasuki halaman kampus. Tentu saja bukan debar dada Majnun saat menatap sinar rembulan menerpa rumah Layla. Pikiran saya membayangkan sederet situasi baru yang harus saya alami.

Rasa takut bayangan kegiatan ospek yang menyeramkan, wajah-wajah mahasiswa senior yang memandang dengan tatapan sinis, gambaran ruang kuliah yang serius dan menegangkan, sampai ekspresi dosen yang tidak ramah terhadap kelambanan akademik mahasiswanya. 

Apa yang saya bayangkan di atas pada dasarnya dipengaruhi oleh perasaan tidak percaya diri. Saya merasa tidak memiliki penampilan yang cukup menarik, tidak memiliki kelebihan yang patut ditonjolkan atau kemampuan untuk menarik perhatian orang lain, dan berbagai faktor internal lainnya.

Semua bentuk ketidaknyamanan itu menjadi semacam gangguan psikologis yang selalu membayangi pikiran dan perasaan saya secara tiba-tiba. Gangguan itu itu muncul mendadak tanpa sebab yang jelas. Ia datang sekonyong-konyong menghempas pikiran dan perasaan saya. 

Saya seolah terombang-ambing di atas hamparan samudera bagai sebuah biduk tengah dihantam gelombang besar dari semua penjuru. Saya menjadi oleng dan limbung. Nyali saya menciut. Serasa dunia sekitar tidak memberikan fitur kenyamanan untuk bersandar. 

Tentu saja ini menjengkelkan. Saya selalu merasa iri dengan orang lain yang terlihat santai ketika berada di lingkungan baru. Mereka begitu mudah beradaptasi, tertawa lepas, dan ngobrol bebas dengan orang lain. Saya selalu membayangkan dapat merasa santai dan nyaman saat menghadapi situasi baru sebagaimana diperlihatkan banyak orang. 

Kondisi itu terus berlanjut sampai saya memasuki profesi sebagai guru. Memulai debut sebagai guru, masa awal menjadi fase yang berat. Saya selalu merasakan kekecutan yang luar biasa ketika mendapatkan tugas untuk mengikuti kegiatan yang melibatkan banyak orang, semisal, pelatihan, menjadi MC, mewakili rapat kepala sekolah, dan tugas lain di luar kegiatan belajar mengajar.

Saya berpijak dalam lingkaran rasa takut berlebihan tanpa alasan. Mungkinkah saya mengalami ketakutan wajar atau fobia?

Antara Takut dan fobia

Fakta psikologis yang saya rasakan di atas membawa saya pada sebuah pertanyaan. Apakah saya hanya sekadar dihadapkan pada rasa takut biasa atau saya seorang fobia?

Mari kita lihat! 

Dikutip dari Wikipedia dan berbagai sumber, takut (ketakutan)--dalam istilah lain dikenal dengan kecabaran atau kekecutan--adalah suatu tanggapan emosi terhadap ancaman. Takut adalah suatu mekanisme pertahanan hidup paling mendasar. Respon rasa takut biasanya ditandai sebagai akibat adanya sebuah rangsangan dalam bentuk rasa sakit atau potensi bahaya. 

Para psikolog sebagian besar sepakat bahwa takut adalah salah satu bentuk emosi dasar, selain kebahagiaan, kesedihan, dan kemarahan. 

Sebagai mekanisme untuk bertahan hidup, rasa takut membuat seseorang waspada dan berusaha mengantisipasi risiko tertentu. Ini merupakan sisi positif atas keberadaan rasa takut.

Seorang individu akan menjadi penuh pertimbangan untuk membuat sebuah keputusan. Ketakutan mendorong kita untuk mempertimbangkan akibat baik dan buruk dari keputusan yang ditentukan dan tindakan yang diambil. 

Jika Nietzsche berkata hidup adalah kehendak, saya tentu boleh mengatakan hidup adalah rasa takut.

Namun apa jadinya, jika rasa takut berlebihan mengendalikan diri seseorang? Ya. Dalam banyak kasus, beberapa orang mengalami ketakutan berlebihan terhadap sesuatu. Dalam ilmu psikologi ketakutan semacam ini dikenal dengan istilah fobia.

Suhendri (2016), dalam bukunya "Phobia? No Way...! Kenali Berbagai Jenis Phobia & Cara Mengatasinya", mendefinisikan fobia sebagai ketakutan irasional terhadap hal-hal tertentu. Fobia tergolong gangguan psikologis. Para pengidap fobia biasanya melihat sesuatu yang tidak berbahaya sebagai sesuatu yang menakutkan. 

Pengertian fobia di atas tidak jauh berbeda dengan kutipan dari laman diariofemenino.com, Fobia dipandang sebagai "...salah satu jenis gangguan kecemasan dimana orang yang mengidapnya mungkin mengalami ketakutan yang besar atau ketakutan yang tidak rasional terhadap hal, objek, atau situasi yang sebenarnya tidak berbahaya."

Berdasarkan pengertian di atas, fobia dapat dijelaskan sebagai rasa takut yang ditandai dengan ketakutan tidak wajar. Mereka takut pada objek yang pada umumnya tidak mengancam keselamatan.

Sebagai ilustrasi, setiap orang takut kepada binatang buas, takut pada penjahat, atau takut pada bencana. Ketakutan ini tergolong sebagai sesuatu yang wajar. Namun dalam beberapa kasus, orang mengalami ketakutan pada makanan tertentu, takut pada kecoa, atau sejumlah orang lainnya takut pada darah. 

Paman saya sendiri takut pada jenazah, bahkan benda-benda yang berhubungan dengan jenazah, seperti, kain kafan, keranda, atau kain yang pernah digunakan untuk menyelimuti jenazah.

Artinya, fobia lebih dari sekadar rasa takut sebagai respon seseorang terhadap bahaya. Fobia adalah gangguan emosional dalam bentuk rasa takut yang bersifat permanen.

Saya, fobia sosial?

Sejauh ini saya tidak pernah berkunjung kepada psikiater atau psikolog untuk berkonsultasi tentang ketakutan itu. Namun, setidaknya saya menyadari bahwa ketakutan yang saya rasakan sejauh ini cenderung berlebihan. Saya hampir selalu dihantui rasa takut pada situasi baru dan melibatkan orang baru.

Dengan mengacu kepada beberapa sumber pustaka, saya "curiga" bahwa selama ini saya mengalami gangguan emosi yang dikenal dengan fobia sosial. 

Semua gejala emosional itu mengarahkan saya pada dugaan bahwa saya seorang pengidap fobia sosial. Paula Diaz, (dalam diariofemenino.com) menulis, fobia sosial ditandai dengan ciri kepribadian yang membuat seseorang lebih sulit untuk berteman, menimbulkan kegugupan tertentu ketika mengekspresikan diri di depan orang lain. 

Hambatan besar seorang pengidap fobia sosial adalah membangun hubungan sosial. Paula menghubungkan fobia sosial dengan sifat pemalu. Seorang pemalu biasanya pendiam, karena mereka lebih suka menyimpan pendapatnya sendiri karena takut menjadi sasaran justifikasi negatif orang lain, takut diadili. 

Rasa malu merupakan sumber rasa takut. Secara psikologis, keduanya memiliki fungsi dasar mengontrol perilaku seseorang. Dapat dibayangkan jika seseorang tidak memiliki rasa malu atau tebal muka. Artinya, dalam batas tertentu rasa malu itu diperlukan agar seseorang tidak menjadi pribadi yang malu-maluin.

Ciri utama rasa malu adalah hambatan sosial, sesuatu yang juga dapat ditemukan pada fobia sosial, tetapi sangat menonjol. Perbedaan keduanya adalah perbedaan derajat. Meskipun sebagian besar kasus rasa malu dapat diatasi dengan upaya sendiri, fobia sosial memerlukan perawatan medis.

Seandainya saya pernah berkunjung kepada seorang psikiater mungkin saja saya digolongkan sebagai seorang fobia sosial. Dengan mengutip dari laman Better Health Chanel, sosial fobia yang--juga dikenal dengan social anxiety disorder (SAD)--ditandai dengan takut berbicara kepada sekelompok besar orang, ragu menyuarakan pendapat, berbicara dengan seseorang yang memiliki senioritas atau wewenang, diawasi saat melakukan sesuatu, seperti makan, menandatangani surat atau berbicara di telepon. 

Saya merasakan dengan sangat jelas indikator-indikator fobia sosial tersebut. Saya acapkali merasa tidak nyaman ketika menjadi perhatian orang. Ada serangan rasa canggung ketika mata cantik customer service yang melihat saya mengisi identitas di bank. 

Saat mengikuti pelatihan tangan saya bergetar ketika panitia meminta saya membubuhkan tanda tangan pada daftar hadir atau bukti penerimaan uang saku di akhir kegiatan. Lebih-lebih ketika saya diminta untuk berbicara di hadapan peserta lainnya. Berbagai bentuk ketidaknyamanan itu sangat mungkin saya memang termasuk kelompok pengidap fobia sosial.

Melepaskan diri Fobia Sosial

Berbagai sumber menyebutkan bahwa fobia sosial disebabkan oleh faktor genetik, struktur otak, pengalaman traumatis, sampai pola asuh. Satu hal yang jelas bahwa fobia sosial berpotensi melumpuhkan kehidupan sosial seseorang. Terlepas dari penyebabnya, saya lebih suka membahas hal penting yang berhubungan dengan upaya untuk mengatasi fobia tersebut.

Beberapa rujukan menyarankan bahwa untuk melepaskan diri dari fobia sosial diperlukan konsultasi dengan para ahli. Namun ketakutan saya untuk bertemu psikolog atau psikiater menjadi semacam kekuatan untuk menghalau kecemasan-kecemasan tersebut. 

Melepaskan diri dari kendali fobia sosial tidaklah mudah. Akan tetapi, motivasi untuk sembuh membuat saya merasa harus berjuang membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan irasional yang membuat saya tidak sanggup tidur dengan lelap. Setidaknya empat hal ini membantu saya secara pribadi untuk mengurangi Social Anxiety Disorder yang saya rasakan.

Pertama, Saya mulai dengan hal paling mendasar. Saya mencoba mengubah cara berpikir bahwa saya tidak mungkin selamanya bertahan dengan pola hidup penuh kecemasan. Saya berusaha menyadarkan diri bahwa saya tidak akan dapat melakukan pengembangan diri jika terus menerus bertahan dalam kondisi tersebut. 

Pada titik ini saya berusaha mengidentifikasi penyebab kecemasan tersebut. Saya mencatat bahwa kecemasan atau ketakutan terbesar adalah ketika saya berada dalam situasi yang menempatkan saya sebagai pusat perhatian. Maka, dalam batas yang wajar, saya berusaha tidak membebani pikiran saya dengan pendapat orang lain tentang diri saya.

Kedua, Saya mencoba menerima tugas-tugas menantang yang diberikan atasan. Saya ingat tugas pertama yang paling menantang adalah menjadi bendahara. Tugas ini memberikan kesempatan kepada saya untuk menemukan berbagai situasi baru, aktivitas baru, serta pengetahuan dan pengalaman baru. 

Walaupun hanya sebagai bendahara sekolah, tugas itu menjadi penting karena memaksa saya harus berhubungan dengan orang-orang baru dan memperluas jaringan interaksi sosial. Hal ini secara perlahan mengikis kecemasan berlebihan sedikit demi sedikit.

Tugas menantang lainnya adalah ketika saya diberikan mandat sebagai kepala sekolah. Tanggung jawab ini, mau tidak mau, menyadarkan saya bahwa membangun rasa percaya diri menjadi sebuah keniscayaan.

Ketiga, meningkatkan kapasitas diri melalui pelatihan dan workshop. Sebagai kepala sekolah saya merasa harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Saya menyadari bahwa saya lemah dalam kemampuan berbicara. Maka saya berusaha belajar untuk meningkatkan kemampuan berbicara (public speaking).

Sebagai guru, komunikasi dalam proses pembelajaran menjadi hal yang biasa. Akan tetapi, akan menjadi berbeda ketika harus berkomunikasi di hadapan orang dewasa. Sebagai kepala sekolah, saya tidak saja dihadapkan dengan kehidupan bersama di sekolah tetapi juga dengan banyak orang di luar sekolah. Saya harus mengikuti rapat, menyampaikan pendapat, dan berinteraksi dengan seseorang yang memiliki senioritas atau wewenang. Semua itu lambat laun membantu saya mengurangi kecemasan sosial.

Keempat, mencoba hobi baru. Akhirnya saya menemukan hobi menulis. Hobi ini membuat saya dapat mengurangi kecemasan sosial. Menulis memerlukan fokus yang mengerucut pada tulisan itu sendiri. Fokus itu membuat saya dapat (setidaknya) mereduksi kecemasan sosial tersebut.

Menulis juga memberikan kesempatan kepada saya belajar berpikir sistematis. Hal ini memberikan dampak pada kemampuan berbicara yang bermuara pada meningkatnya rasa percaya diri.

Sampai saat ini saya mungkin belum sepenuhnya sembuh dari sosial fobia (jika memang betul). Namun saya merasakan social anxiety disorder telah telah berkurang. Saya tidak lagi merasa canggung berhadapan dengan costumer service cantik atau berkeringat dingin saat berbicara di depan peserta rapat. Saya lebih merasa nyaman dalam situasi sosial tertentu yang selama ini menyajikan bayangan menyeramkan.

Lombok Timur, 26 Oktober 2024

Referensi

  1. Cahya Purnama, Suhendri. 2016. Phobia? No Way... ! Kenali Berbagai Jenis Phobia & Cara Mengatasinya. Yogyakarta. Andi Offset. 

  2. https://id.wikipedia.org/wiki/Ketakutan

  3. https://www.diariofemenino.com/articulos/psicologia/fobias/el-gran-diccionario-de-las-fobias-y-los-miedos-que-mas-ansiedad-causan/

  4. https://www.betterhealth.vic.gov.au/health/conditionsandtreatments/social-phobia

  5. https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/social-anxiety-disorder/symptoms-causes/syc-20353561

  6. https://www.betterhealth.vic.gov.au/health/conditionsandtreatments/social-phobia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun