Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menghindari Sikap Tone Deaf, Berempati kepada Orang Tak Berempati

31 Agustus 2024   16:00 Diperbarui: 1 September 2024   09:09 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita buruknya, dia juga tidak sepatah katapun pernah menghubungi saya untuk sekadar memberikan konfirmasi atas masalahnya. Setidaknya saya dapat terhindar dari pikiran-pikiran spekulatif jika saja dia memberikan konfirmasi. 

Dalam kondisi seperti ini, saya sadar bahwa nilai uang bukan terletak pada angka yang tertera di atas permukaan mata uang itu. Saya berpikir bahwa nilai uang ditentukan oleh seberapa mendesaknya kebutuhan saya harus dipenuhi.

Saya tidak akan mengambil kesimpulan bahwa saya sedang berhadapan dengan seorang tone deaf. Hilangnya interaksi dengan teman saya itu tidak berarti bahwa saya berhak menyebut bahwa dia tidak memiliki sikap empati terhadap kebutuhan saya. Mungkin saja masalahnya belum selesai hingga saat ini. Namun saya juga berhak sekadar berpikir mengapa dia tidak memberikan konfirmasi. 

Mungkin di sinilah kekuatan sekaligus kelemahan saya. Saya tidak merasa memiliki cukup kekuatan untuk menagih pinjaman seperti para debt collector. Pada saat yang sama, saya merasa memiliki kekuatan menahan kesabaran sampai uang itu kembali.

Tone Deaf versus Empati

Tone deaf pada awalnya merupakan istilah yang mengacu kepada dunia musik. Istilah ini, secara harfiah berarti tuli nada, diandaikan sebagai seseorang yang tidak memiliki kemampuan dasar musik. Berdasarkan batasan dari laman dictionary.cambridge.org, tone deaf diartikan sebagai seseorang yang tidak mampu mengenali nada yang berbeda atau menyanyikan lagu dengan akurat.

Pengertian di atas sedikit berbeda dengan pengertian tone deaf dari laman singwise.com. Tone deaf atau tuli nada, dikenal juga dengan amusia, kerap tidak secara tepat disematkan kepada orang yang tidak dapat menyanyikan nada suara enak didengar atau suara nyanyiannya tidak terdengar bagus. Orang yang memiliki kemampuan vokal yang buruk dalam menyanyi tidak dapat didiagnosis sebagai tuli nada secara membabi buta. 

Dalam pengertian yang lebih spesifik, tone deaf berlaku bagi seseorang yang tidak dapat merasakan keistimewaan irama musik sebagaimana orang-orang pada umumnya. Lantunan lagu, petikan gitar, atau tiupan seruling paling merdu sekalipun bagi para tone deaf bisa jadi tidak berbeda dengan suara sambaran petir, deru mesin kendaraan, atau kebisingan lainnya.

Tone deaf kemudian menjadi istilah yang berkembang ke ruang disiplin ilmu yang berbeda. Dalam konteks sosial, tuli nada merupakan metafora dari seseorang yang tidak memiliki kepekaaan atau nir-empati terhadap lingkungan sosialnya. Indikatornya ditandai dengan sikap seseorang yang tidak mau peduli dengan dunia sekelilingnya. Tidak saja terhadap isu sosial kemasyarakatan tetapi juga kesulitan individual yang dialami seseorang.

Tone deaf pada dasarnya dipicu oleh rendahnya kecerdasan emosional. Jika dipertentangkan dengan empati, seorang buta nada sebenarnya sedang kehilangan kepekaan rasa. Tone deaf dalam kehidupan sosial dapat dipertentangkan dengan empati. 

Menghindarkan diri dari sikap tone deaf

Saya tidak akan membahas bagaimana menghadapi seorang tone deaf. Namun saya lebih suka berpikir bagaimana menghindar dari sikap buta nada ini secara pribadi. Jika kita semua berpikir bagaimana menjalani kehidupan dengan mengandalkan kepekaan dan empati, saya membayangkan bahwa hidup ini akan bebas dari ruang konflik akibat perilaku tone deaf

Mari kita sepakati bahwa empati itu termasuk sebuah kecerdasan. Dengan kesepakatan ini kita akan meyakini bahwa empati itu dapat dilatih dan dikembangkan. Bukankah pada dasarnya setiap orang dilahirkan dengan rasa empati? Maka selalu ada kecenderungan seseorang untuk ikut merasakan kesulitan yang dihadapi orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun