Berita buruknya, dia juga tidak sepatah katapun pernah menghubungi saya untuk sekadar memberikan konfirmasi atas masalahnya. Setidaknya saya dapat terhindar dari pikiran-pikiran spekulatif jika saja dia memberikan konfirmasi.
Dalam kondisi seperti ini, saya sadar bahwa nilai uang bukan terletak pada angka yang tertera di atas permukaan mata uang itu. Saya berpikir bahwa nilai uang ditentukan oleh seberapa mendesaknya kebutuhan saya harus dipenuhi.
Saya tidak akan mengambil kesimpulan bahwa saya sedang berhadapan dengan seorang tone deaf. Hilangnya interaksi dengan teman saya itu tidak berarti bahwa saya berhak menyebut bahwa dia tidak memiliki sikap empati terhadap kebutuhan saya. Mungkin saja masalahnya belum selesai hingga saat ini. Namun saya juga berhak sekadar berpikir mengapa dia tidak memberikan konfirmasi.
Mungkin di sinilah kekuatan sekaligus kelemahan saya. Saya tidak merasa memiliki cukup kekuatan untuk menagih pinjaman seperti para debt collector. Pada saat yang sama, saya merasa memiliki kekuatan menahan kesabaran sampai uang itu kembali.
Tone Deaf versus Empati
Tone deaf pada awalnya merupakan istilah yang mengacu kepada dunia musik. Istilah ini, secara harfiah berarti tuli nada, diandaikan sebagai seseorang yang tidak memiliki kemampuan dasar musik. Berdasarkan batasan dari laman dictionary.cambridge.org, tone deaf diartikan sebagai seseorang yang tidak mampu mengenali nada yang berbeda atau menyanyikan lagu dengan akurat.
Pengertian di atas sedikit berbeda dengan pengertian tone deaf dari laman singwise.com. Tone deaf atau tuli nada, dikenal juga dengan amusia, kerap tidak secara tepat disematkan kepada orang yang tidak dapat menyanyikan nada suara enak didengar atau suara nyanyiannya tidak terdengar bagus. Orang yang memiliki kemampuan vokal yang buruk dalam menyanyi tidak dapat didiagnosis sebagai tuli nada secara membabi buta.
Dalam pengertian yang lebih spesifik, tone deaf berlaku bagi seseorang yang tidak dapat merasakan keistimewaan irama musik sebagaimana orang-orang pada umumnya. Lantunan lagu, petikan gitar, atau tiupan seruling paling merdu sekalipun bagi para tone deaf bisa jadi tidak berbeda dengan suara sambaran petir, deru mesin kendaraan, atau kebisingan lainnya.
Tone deaf kemudian menjadi istilah yang berkembang ke ruang disiplin ilmu yang berbeda. Dalam konteks sosial, tuli nada merupakan metafora dari seseorang yang tidak memiliki kepekaaan atau nir-empati terhadap lingkungan sosialnya. Indikatornya ditandai dengan sikap seseorang yang tidak mau peduli dengan dunia sekelilingnya. Tidak saja terhadap isu sosial kemasyarakatan tetapi juga kesulitan individual yang dialami seseorang.
Tone deaf pada dasarnya dipicu oleh rendahnya kecerdasan emosional. Jika dipertentangkan dengan empati, seorang buta nada sebenarnya sedang kehilangan kepekaan rasa. Tone deaf dalam kehidupan sosial dapat dipertentangkan dengan empati.
Menghindarkan diri dari sikap tone deaf
Saya tidak akan membahas bagaimana menghadapi seorang tone deaf. Namun saya lebih suka berpikir bagaimana menghindar dari sikap buta nada ini secara pribadi. Jika kita semua berpikir bagaimana menjalani kehidupan dengan mengandalkan kepekaan dan empati, saya membayangkan bahwa hidup ini akan bebas dari ruang konflik akibat perilaku tone deaf.
Mari kita sepakati bahwa empati itu termasuk sebuah kecerdasan. Dengan kesepakatan ini kita akan meyakini bahwa empati itu dapat dilatih dan dikembangkan. Bukankah pada dasarnya setiap orang dilahirkan dengan rasa empati? Maka selalu ada kecenderungan seseorang untuk ikut merasakan kesulitan yang dihadapi orang lain.