Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menghindari Sikap Tone Deaf, Berempati kepada Orang Tak Berempati

31 Agustus 2024   16:00 Diperbarui: 1 September 2024   09:09 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tone deaf (Sumber Kompas)

Sikap tone deaf dapat ditunjukkan oleh siapa saja dan kapan saja. Seorang guru mungkin tanpa sadar pernah tidak peduli dengan kesulitan seorang siswa yang tengah berjuang menyelesaikan tugas yang diberikan. Mungkin pernah ada dosen yang mencoret-coret draft skripsi seorang mahasiswanya tanpa memberikan bimbingan untuk memperbaikinya. 

Dalam kehidupan bertetangga, bisa jadi kita mungkin pernah bercengkrama atau memainkan music player dengan volume maksimal padahal tetangga sebelah sedang mengerang karena sakit gigi.

Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja pernah kita lakukan karena tone deaf--tidak adanya rasa empati terhadap masalah atau kesulitan orang lain.

Sekali saya pernah berhadapan dengan seorang teman yang tengah mengalami masalah yang cukup pelik dan berat. Panjang lebar dia menceritakan permasalahan yang tengah dihadapi.

Di akhir kisah, dengan kronologis yang begitu detail, kesimpulannya dia membutuhkan sejumlah uang dengan nilai yang mencapai ratusan juta rupiah. Itu angka yang terhitung sangat besar bagi saya. Dengan selembar sertifikat tanah sebagai jaminan saya diminta bantuan untuk menghubungi teman-teman yang mungkin memiliki tabungan. 

Saya mencoba menghubungi satu dua orang teman yang (mungkin) dapat memberikan petunjuk untuk mendapatkan pinjaman. Namun upaya saya kandas. Mendapatkan uang dengan nilai sebesar itu terasa mustahil dalam waktu satu dua hari. 

Dia terus-menerus mengulang ceritanya. Latar belakang cerita atas munculnya masalah yang dihadapinya membuat saya ikut merasakan beban yang dia alami. Maka saya berinisiatif menawarkan pinjaman uang yang mungkin dapat mengurangi masalahnya.

Jumlah uang itu tidak banyak. Namun setidaknya saya ingin membuktikan keberpihakan saya atas masalah yang sedang dia hadapi. Saat menawarkan pinjaman saya sudah mempermaklumkan bahwa uang itu merupakan persiapan biaya sekolah anak saya untuk keperluan mendadak. Hanya itulah yang dapat saya lakukan. Selebihnya dengan serius mendengarkan setiap detail masalahnya. 

Berbulan-bulan setelah pinjam-meminjam uang itu berlangsung kami hanya pernah bersua sekali. Jarak rumah yang dibatasi tiga wilayah kecamatan membuat kami sulit bertemu. 

Saya juga agak rikuh menghubunginya karena kuatir dia merasa ditagih walaupun sebenarnya saya sangat membutuhkan uang itu. Apalagi kondisi keuangan saya saat ini sedang bermasalah. Saya berharap uang itu bisa kembali.

Berita buruknya, dia juga tidak sepatah katapun pernah menghubungi saya untuk sekadar memberikan konfirmasi atas masalahnya. Setidaknya saya dapat terhindar dari pikiran-pikiran spekulatif jika saja dia memberikan konfirmasi. 

Dalam kondisi seperti ini, saya sadar bahwa nilai uang bukan terletak pada angka yang tertera di atas permukaan mata uang itu. Saya berpikir bahwa nilai uang ditentukan oleh seberapa mendesaknya kebutuhan saya harus dipenuhi.

Saya tidak akan mengambil kesimpulan bahwa saya sedang berhadapan dengan seorang tone deaf. Hilangnya interaksi dengan teman saya itu tidak berarti bahwa saya berhak menyebut bahwa dia tidak memiliki sikap empati terhadap kebutuhan saya. Mungkin saja masalahnya belum selesai hingga saat ini. Namun saya juga berhak sekadar berpikir mengapa dia tidak memberikan konfirmasi. 

Mungkin di sinilah kekuatan sekaligus kelemahan saya. Saya tidak merasa memiliki cukup kekuatan untuk menagih pinjaman seperti para debt collector. Pada saat yang sama, saya merasa memiliki kekuatan menahan kesabaran sampai uang itu kembali.

Tone Deaf versus Empati

Tone deaf pada awalnya merupakan istilah yang mengacu kepada dunia musik. Istilah ini, secara harfiah berarti tuli nada, diandaikan sebagai seseorang yang tidak memiliki kemampuan dasar musik. Berdasarkan batasan dari laman dictionary.cambridge.org, tone deaf diartikan sebagai seseorang yang tidak mampu mengenali nada yang berbeda atau menyanyikan lagu dengan akurat.

Pengertian di atas sedikit berbeda dengan pengertian tone deaf dari laman singwise.com. Tone deaf atau tuli nada, dikenal juga dengan amusia, kerap tidak secara tepat disematkan kepada orang yang tidak dapat menyanyikan nada suara enak didengar atau suara nyanyiannya tidak terdengar bagus. Orang yang memiliki kemampuan vokal yang buruk dalam menyanyi tidak dapat didiagnosis sebagai tuli nada secara membabi buta. 

Dalam pengertian yang lebih spesifik, tone deaf berlaku bagi seseorang yang tidak dapat merasakan keistimewaan irama musik sebagaimana orang-orang pada umumnya. Lantunan lagu, petikan gitar, atau tiupan seruling paling merdu sekalipun bagi para tone deaf bisa jadi tidak berbeda dengan suara sambaran petir, deru mesin kendaraan, atau kebisingan lainnya.

Tone deaf kemudian menjadi istilah yang berkembang ke ruang disiplin ilmu yang berbeda. Dalam konteks sosial, tuli nada merupakan metafora dari seseorang yang tidak memiliki kepekaaan atau nir-empati terhadap lingkungan sosialnya. Indikatornya ditandai dengan sikap seseorang yang tidak mau peduli dengan dunia sekelilingnya. Tidak saja terhadap isu sosial kemasyarakatan tetapi juga kesulitan individual yang dialami seseorang.

Tone deaf pada dasarnya dipicu oleh rendahnya kecerdasan emosional. Jika dipertentangkan dengan empati, seorang buta nada sebenarnya sedang kehilangan kepekaan rasa. Tone deaf dalam kehidupan sosial dapat dipertentangkan dengan empati. 

Menghindarkan diri dari sikap tone deaf

Saya tidak akan membahas bagaimana menghadapi seorang tone deaf. Namun saya lebih suka berpikir bagaimana menghindar dari sikap buta nada ini secara pribadi. Jika kita semua berpikir bagaimana menjalani kehidupan dengan mengandalkan kepekaan dan empati, saya membayangkan bahwa hidup ini akan bebas dari ruang konflik akibat perilaku tone deaf

Mari kita sepakati bahwa empati itu termasuk sebuah kecerdasan. Dengan kesepakatan ini kita akan meyakini bahwa empati itu dapat dilatih dan dikembangkan. Bukankah pada dasarnya setiap orang dilahirkan dengan rasa empati? Maka selalu ada kecenderungan seseorang untuk ikut merasakan kesulitan yang dihadapi orang lain. 

Hal paling mendasar untuk membangun empati adalah belajar memahami perasaan orang lain yang tengah berada dalam situasi sulit dengan membayangkan jika kita berada dalam situasi serupa.

Sederhananya, saya selalu membayangkan seorang teman penderita stroke akut betapa sulitnya mengangkat tangan ketika saya menyodorkan tangan untuk bersalaman. Saya berpikir bahwa saya juga akan mengalami penderitaan yang serupa ketika saya berada dalam kondisi yang sama.

Dengan cara menempatkan diri dan ikut merasakan kesulitan itu, sikap tone deaf sebagai kebodohan akan dapat direduksi dari keseharian kita. Atau, mungkin patut dicoba untuk menerapkan empati kepada para tone deaf.

Pilihan ini dapat menjadi upaya yang cukup menantang untuk menghindarkan diri dari perilaku tone deaf. Ini terdengar seperti sebuah ironi. Bagaimana mungkin berempati kepada seorang tone deaf, orang yang tidak memiliki empati? Ya itu memang sulit.

Maka pahamilah seorang tone deaf

Tone deaf pada dasarnya dipicu oleh kurangnya pemahaman tentang perspektif orang lain. Hal ini bisa jadi karena kurangnya literasi seseorang. Dalam konteks ini, penting untuk memperbanyak membaca dan mencari sumber-sumber informasi yang relevan. Melalui buku, kita bisa masuk ke dalam pikiran dan perasaan karakter yang sangat berbeda. 

Membaca membantu kita memahami bahwa ada banyak cara memandang dunia dan hidup. Tidak saja bacaan non fiksi tetapi juga bacaan fiksi akan memungkinkan kita menjelajah berbagai situasi dan kondisi yang mungkin belum pernah kita alami. Ini akan memperluas wawasan sehingga membuat kita bersikap lebih terbuka terhadap perbedaan pandangan, terutama perbedaan pandangan dengan seorang tuli nada. Mungkin saja ini dapat membantu kita berempati kepada mereka yang tidak memiliki empati.

Belajar dari kesalahan merupakan cara lain untuk memperluas wawasan. Ini bagus untuk pertumbuhan pribadi yang lebih baik. Akan lebih baik jika meminta bantuan orang terdekat untuk memberikan umpan balik untuk setiap kesalahan.

Memelihara dan mengembangkan hubungan sosial akan memungkinkan kita belajar banyak hal sehingga dapat memperluas wawasan. Ini mendorong kita lebih banyak berdiskusi, berbagi, dan mendapatkan lebih banyak umpan balik dengan sudut pandang yang lebih kaya. 

Memelihara hubungan sosial berarti membangun kualitas hubungan itu sendiri. Makin berkualitas hubungan dua individu makin kecil kemungkinan untuk bersikap tone deaf.

Lombok Timur, 31 Agustus 2024

Sumber Pustaka

  • cambridge.org
  • www.singwise.com
  • www.theplainsman.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun