Mohon tunggu...
Moh Rudi
Moh Rudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pedagang buku yang senang menulis dan jalan-jalan

Pedagang buku yang senang menulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Aku, Buku, dan Kurir Paket Itu

24 Juli 2024   21:55 Diperbarui: 26 Juli 2024   09:36 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi. Menyerahkan hasil lelang buku untuk Palu-Donggala

Entah mengapa, sejak remaja kemudian pekerjaan yang saya inginkan hanyalah memiliki sebuah toko buku, tidak pernah lebih dari itu. Tak ada modal, jalan setapak yang harus saya lalui bahkan seperti hutan yang belum terjamah manusia. 

Saya harus menerabas membuat jalur sendiri di belantara untuk menuju puncak Merapi. Tak ada parang ditangan, cuma ada sepasang tangan untuk merambas semak berduri, senjata satu-satunya hanya detak jantung dan keberanian.

Saya memulainya dari lapak rongsokan. Di lapak rongsokan tak hanya ada tumpukan besi berkarat, onggokan karung karung dekil berisi botol bekas air kemasan, panci penyok, tumpukan kardus menggunung berikut gerobak butut yang belakangan banyak di modifikasi, tak lagi bertenaga manusia, tapi sepeda motor butut dikanibal dan dikawinkan sedemikian rupa, hingga gerobak dan pembawanya terlihat lebih bergengsi menjalankan profesinya. 

Di lapak rongsokan itu juga sering terdapat buku bekas, buku-buku itu dibuang atau ditukar abu gosok oleh pemiliknya. Di lapak rongsokan itu lah saya memilah-milah buku dan majalah dalam karung, mencari buku atau majalah yang  layak daras kembali.

Saya menjajakan buku dan majalah bekas dari lapak rongsokan itu di stasiun-stasiun KRL, berbaur dengan ratusan pedagang kaki lima dan pengasong kereta yang dulu ramai pada masanya. Menjadi pedagang kaki lima adalah gambaran nyata "Orang pinggiran" dalam lagu Iwan Fals. 

Terlihat menyedihkan, tapi entah mengapa saya dulu sangat menikmatinya. Saya menikmati berjualan sambil melahap dagangan saya sendiri. Saya yang tak mengenyam pendidikan formal dengan baik, di lapak kaki lima jadi membaca banyak hal. 

Saya berkenalan dengan Pramoedya Ananta Toer, yang mengajak saya bertualang dalam "Bumi manusia" hingga "Rumah kaca", Rendra dan puisi-puisinya, Seno gumira ajidarma dengan kisah-kisahnya yang ajaib. Di kaki lima saya banyak memasuki lorong waktu dalam teks sejarah, manusia, budaya dan peradabannya.

Ketika berdagang kaki lima di Stasiun itu, saya kerap memikirkan bagaimana caranya bisa berjualan dengan lebih nyaman. Saya terus menerus memikirkan bagaimana caranya memiliki sebuah kedai buku, modal tak ada, penghasilan menjual buku bekas pun tak seberapa. B

utuh bertahun-tahun menabung uang sekedar untuk menyewa sebuah tempat kecil saja. Menjadi pedagang kaki lima bukan cuma perkara meruntuhkan gengsi, tapi orang juga harus berurusan dengan segala bentuk upeti, yang tiap hari dikutip preman penguasa lahan. Uang keamanan, entah mengapa dulu saya merasa itu adalah dua kata yang kadang membuat saya tertawa.

Masa itu KRL belum sebagus sekarang, masih ada KRL ekonomi dengan pintu yang selalu terbuka dimana pada jam kerja ribuan penumpang berjejalan, tak cuma dalam gerbong, tapi hingga ke atap dan sambungan kereta. 

Entah bagaimana, saat itu saya sudah berpikir bahwa kelak KRL Jabodetabek akan mengalami perubahan yang cepat, bukan keretanya, melainkan sistem atau perwajahannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun