Tugas pokok dan fungsi kepala sekolah sesuai dengan Permendikbud No. 6 Tahun 2018 dan regulasi lainnya sangat dipahami oleh para kepala sekolah di Sulawesi Barat. Namun, dalam implementasinya mereka mengalami kerepotan, terutama dalam pengelolaan keuangan, termasuk pegelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS).Â
Beberapa orang kepala sekolah SMA menilai dana BOS dialokasikan kurang tepat sasaran, contohnya untuk pembelian buku penunjang pelajaran yang dari tahun ke tahun sama saja, sehingga menumpuk; dana BOS baru cair pada setiap bulan Maret, sedangkan operasional/tahun ajaran sekolah dimulai bulan Juni-Juli tahun sebelumnya, sehingga mereka terpaksa berutang di toko-toko langganan. Dan, dalam laporan tidak boleh ditulis kata utang, bukan?
Satu hal lagi, para kepala sekolah SMA (dan Komite Sekolah) takut untuk memungut sumbangan dari orang tua siswa, meskipun jelas-jelas sekolah negeri yang gratis hanya SD hingga SMP dan yang sederajat. Padahal, sesuai dengan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, SMA dan SMK Negeri diperbolehkan memungut sumbangan pembinaan pendidikan.Â
Mengapa para kepala sekolah SMA dan Komite Sekolah ini takut memungut sumbangan, katakanlah SPP? Karena masyarakat menganggap semua sekolah negeri di Sulawesi Barat adalah gratis sesuai dengan janji gubernur dan wakil gubernur terpilih!
Kalah Bersaing (?)
Mas Menteri, dunia ini tidak ada yang kebetulan. Begitu kata orang bijak. Dalam perjalanan kembali dari Kabupaten Mamasa menuju Mamuju, penulis berada dalam satu mobil angkutan umum yang sama dengan seorang yang mengaku ASN bagian anggaran di Pemprov Sulawesi Barat. Dalam perjalanan selama lima jam itu, kami pun berbincang ngalor-ngidul, dari isu-isu politik nasional hingga masalah guru honorer.
Ketika penulis bercerita mengenai banyaknya guru SMA negeri di Kabupaten Mamasa yang masih berstatus honorer, dia menanggapi bahwa sebenarnya kebutuhan guru di Sulawesi Barat setiap tahun berusaha dipenuhi oleh pemerintah provinsi (pemprov) dengan pengangkatan ASN-ASN baru. Kok, masih kurang? Kok, masih ada 3.600 tenaga honorer? Tanya penulis.
Menurutnya, ternyata setiap penerimaan guru ASN baru, banyak pelamar dari Sulawesi Selatan yang ikut berjibaku tes di Sulawesi Barat. Mereka banyak yang diterima dan kemudian ditempatkan menyebar di enam kabupaten di Sulawesi Barat. Sementara itu, para calon guru/ASN (termasuk para honorer) dari Sulawesi Barat, konon kalah bersaing dengan mereka alias tidak lulus tes CASN. Mengapa kalah bersaing? Kalah bersaing dalam hal apa? Mari ikut Ebiet G Ade, bertanya pada rumput yang bergoyang.
Kemudian, para ASN yang berasal dari Sulawesi Selatan ini, menurutnya lebih lanjut, hanya bertahan 1-2 tahun berdinas di Sulawesi Barat. Selanjutnya, mereka minta dimutasi ke daerah asal, Sulawesi Selatan.
Kalau begitu, Sulawesi Barat sekadar jadi batu loncatan dong bagi mereka? Tanya penulis kemudian.
Kurang lebih seperti itu, Pak, jawabnya sambil tersenyum.