Alhamdulillah, beberapa minggu belakangan, penulis diberi kesempatan oleh Tuhan untuk "jalan-jalan" mengunjungi sekolah-sekolah SMA di berbagai daerah di tiga provinsi: Maluku, Kepulauan Riau hingga Natuna, dan terakhir Sulawesi Barat. Berkunjung untuk sekadar silaturahmi dengan warga sekolah, sekaligus mengintip kegiatan belajar mengajar dan "rasan-rasan" tentang dunia pendidikan di Tanah Air.
Mas Menteri yang budiman, sebelum melanjutkan tulisan ini terlebih dahulu penulis harus menyampaikan harapan para penyelenggara pendidikan dan peserta didik (siswa-siswa) yang sempat penulis temui.Â
Harapan mereka "Kami menunggu gebrakan dahsyat Mas Menteri untuk memperbaiki kualitas pendidikan di negeri ini sehingga menghasilkan generasi muda yang siap menghadapi perkembangan zaman, siap bersaing pada era Revolusi 4.0, berintegritas, jujur, serta (tetap dan semakin) mencintai Tanah Air dan bangsanya".
Mas Menteri barangkali pernah mendengar nama Aralle, Sumarorong, atau Mamasa di Sulawesi Barat. Mungkin juga baru membaca nama-nama daerah ini di artikel ini. Apa pun itu, penulis merasa wajib melaporkan hasil "jalan-jalan" ini. Lalu, mengapa menggunakan judul Menengok Dunia Pendidikan dari Aralle? Kok, bukan dari Tanjungpinang atau Ambon yang sama-sama penulis kunjungi? Ada apa pula dengan Aralle?
Aralle adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat, Mas. Jaraknya dari Mamuju, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, cuma 72 km, lebih kurang sama dengan dari Jakarta ke Cikampek lewat tol. Di Google Map, jarak sejauh itu bisa ditempuh menggunakan mobil selama 2 jam 4 menit.Â
Namun, fakta di lapangan membutuhkan waktu 3-4 jam karena medan yang cukup berat: jalanan berliku, naik-turun, sisi kanan-kiri berupa gunung dan jurang, beberapa bagian jalan hancur, serta ada yang tertimpa longsor dan sedang dalam perbaikan.
Adalah SMA Negeri 1 Aralle, sekolah pertama yang penulis kunjungi pada jalan-jalan sesi terakhir ini. Sekolahnya terletak sekitar 500 meter dari Jl. Raya MamujuMamasa.
Akses ke sekolah tersebut dari jalan raya terbilang mudah meskipun melewati jalan tanah di tengah sawah. Depan sekolah berupa persawahan, samping kiri perumahan penduduk, samping kanan dan belakang berupa perbukitan. Namun, bukan ini yang bikin asyik, Mas.
Saat penulis datang, Kepala Sekolah, Guru, dan staf Tata Usaha menyambut dengan hangat dan ramah. Penulis disuguhi secangkir kopi dan kue berbahan ubi.Â
Nah, sebelum nguping persoalan-persoalan yang dihadapi sekolah ini, penulis mohon izin berganti baju karena t-shirt sudah bau keringat dan belum ganti sejak perjalanan dari Jakarta pada malam sebelumnya, sekaligus pengin pipis. Penulis lantas keluar dari ruang guru dan sekilas mengamati kondisi bangunan SMA ini. Gersang dan terkesan kumuh, Mas Menteri.
Lalu, penulis bergegas menuju toilet siswa untuk pipis dan berganti pakaian. Di sana, pintu kedua toilet dalam keadaan terbuka lebar dan bau kotoran sangat menyengat. Niat berganti pakaian dan pipis pun sirna seketika saat menengok ke dalam toilet. Di kedua toilet itu tidak ada air alias kering. Di lubang jamban toilet sebelah kiri tampak ada potongan kayu, dan di sebelah kanan tralaaa ada segunduk tinja kering dengan aroma khas yang hampir membuat penulis muntah!
Pikiran dan prasangka buruk pun lantas memenuhi kepala. Jorok sekali warga sekolah ini? Apakah mereka tidak bisa menjaga kebersihan? Mengapa sampai seperti ini? Ini tempat berkumpulnya kaum terpelajar di Aralle saja begini, bagaimana dengan rumah-rumah mereka? Kalau aku jadi pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi, mungkin langsung kupecat sang kepala sekolah. Dan seterusnya.
Pangkal yang Klasik: Guru Honorer!
Mas Menteri Nadiem yang hebat, selanjutnya dalam waktu sekitar satu jam di sekolah ini, prasangka buruk itu sirna, berganti rasa iba yang teramat mendalam.Â
Dalam perbincangan, penulis terperangah karena dari 24 orang guru (termasuk kepala sekolah) yang berstatus aparatur sipil negara (ASN) alias pegawai negeri sipil (PNS) hanya lima orang. Sisannya, 19 orang adalah honorer! Mirisnya lagi para guru honorer ini belum menerima honor selama 12 bulan atau satu tahun!
Berapa honor mereka, Mas Menteri? Para guru honorer di sini mendapatkan honor sebesar Rp5.000/jam pelajaran. Mereka mengajar rata-rata delapan jam per minggu. Artinya, dalam satu bulan mereka mengajar 32 jam. Berapa total honor yang mesti mereka terima? Rp5.000 x 32 jam = Rp160.000. Bagaimana mungkin mereka dipaksa menjaga kebersihan sekolah? Mau datang ke sekolah dan mengajar saja sudah untung.
Ternyata lagi Mas, masalah banyaknya guru honorer dan keterlambatan honor ini tak hanya terjadi di SMAN 3 Aralle. Di beberapa SMA Negeri di kecamatan lainnya di Kabupaten Mamasa pun ternyata "sebelas dua belas".Â
SMA lain yang penulis kunjungi, yakni SMA Negeri 1 Balla, SMA Negeri 1 Sumarorong, bahkan SMA Negeri 1 Mamasa yang berada di tengah ibu kota kabupaten pun sama. Bahkan, di Kabupaten Polewali Mandar, ada satu SMA negeri yang ASN-nya hanya satu orang, yakni Sang Kepala Sekolah! Bahkan lagi-lagi bahkan, di SMA Negeri 3 Mamuju, yang berada di ibu kota provinsi, dari 44 guru, 23 di antaranya honorer yang belum dibayar honornya selama 17 bulan! Luar biasa, kan, Mas Menteri?
Ini baru seputar SMA. Bagaimana yang SMK, SMP, dan SD? Jejak digital bisa menjelaskan. Dari berita dan tulisan di internet, sejak menjadi provinsi pada 2004 (pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan) hingga sekarang (2019), persoalan guru honorer di Sulawesi Barat belum terselesaikan.Â
Jumlah guru honorer di Sulawesi Barat ternyata cukup besar, yakni 3.600 orang. Penulis tidak tahu apakah jumlah ini termasuk dalam 20.925 guru menurut https://dapo.dikdasmen.kemdikbud.go.id/ atau tidak.
Dalam kodisi seperti ini kearifan, nyali, kedewasaan, juga keterpaksaan kepala sekolah menjadi pertaruhan. Beberapa orang kepala sekolah yang sempat berbincang dengan penulis menuturkan kebingungannya mengelola sekolah dengan permasalahan ini. Ada kepala sekolah yang paham, baik, dan bijak dalam memenuhi hak para guru honorer.Â
Di antaranya dengan menyisihkan sebagian gaji pribadinya dan meminta pengertian anak buahnya yang sudah ASN untuk ikut iuran guna diberikan kepada para honorer agar dapur mereka tetap ngebul. Bahkan, tak jarang Sang Kepala Sekolah memberi bantuan 1020 kg beras kepada anak buahnya yang honorer. Namun, kepala sekolah seperti itu tentunya sangat langka.
Tugas pokok dan fungsi kepala sekolah sesuai dengan Permendikbud No. 6 Tahun 2018 dan regulasi lainnya sangat dipahami oleh para kepala sekolah di Sulawesi Barat. Namun, dalam implementasinya mereka mengalami kerepotan, terutama dalam pengelolaan keuangan, termasuk pegelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS).Â
Beberapa orang kepala sekolah SMA menilai dana BOS dialokasikan kurang tepat sasaran, contohnya untuk pembelian buku penunjang pelajaran yang dari tahun ke tahun sama saja, sehingga menumpuk; dana BOS baru cair pada setiap bulan Maret, sedangkan operasional/tahun ajaran sekolah dimulai bulan Juni-Juli tahun sebelumnya, sehingga mereka terpaksa berutang di toko-toko langganan. Dan, dalam laporan tidak boleh ditulis kata utang, bukan?
Satu hal lagi, para kepala sekolah SMA (dan Komite Sekolah) takut untuk memungut sumbangan dari orang tua siswa, meskipun jelas-jelas sekolah negeri yang gratis hanya SD hingga SMP dan yang sederajat. Padahal, sesuai dengan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, SMA dan SMK Negeri diperbolehkan memungut sumbangan pembinaan pendidikan.Â
Mengapa para kepala sekolah SMA dan Komite Sekolah ini takut memungut sumbangan, katakanlah SPP? Karena masyarakat menganggap semua sekolah negeri di Sulawesi Barat adalah gratis sesuai dengan janji gubernur dan wakil gubernur terpilih!
Kalah Bersaing (?)
Mas Menteri, dunia ini tidak ada yang kebetulan. Begitu kata orang bijak. Dalam perjalanan kembali dari Kabupaten Mamasa menuju Mamuju, penulis berada dalam satu mobil angkutan umum yang sama dengan seorang yang mengaku ASN bagian anggaran di Pemprov Sulawesi Barat. Dalam perjalanan selama lima jam itu, kami pun berbincang ngalor-ngidul, dari isu-isu politik nasional hingga masalah guru honorer.
Ketika penulis bercerita mengenai banyaknya guru SMA negeri di Kabupaten Mamasa yang masih berstatus honorer, dia menanggapi bahwa sebenarnya kebutuhan guru di Sulawesi Barat setiap tahun berusaha dipenuhi oleh pemerintah provinsi (pemprov) dengan pengangkatan ASN-ASN baru. Kok, masih kurang? Kok, masih ada 3.600 tenaga honorer? Tanya penulis.
Menurutnya, ternyata setiap penerimaan guru ASN baru, banyak pelamar dari Sulawesi Selatan yang ikut berjibaku tes di Sulawesi Barat. Mereka banyak yang diterima dan kemudian ditempatkan menyebar di enam kabupaten di Sulawesi Barat. Sementara itu, para calon guru/ASN (termasuk para honorer) dari Sulawesi Barat, konon kalah bersaing dengan mereka alias tidak lulus tes CASN. Mengapa kalah bersaing? Kalah bersaing dalam hal apa? Mari ikut Ebiet G Ade, bertanya pada rumput yang bergoyang.
Kemudian, para ASN yang berasal dari Sulawesi Selatan ini, menurutnya lebih lanjut, hanya bertahan 1-2 tahun berdinas di Sulawesi Barat. Selanjutnya, mereka minta dimutasi ke daerah asal, Sulawesi Selatan.
Kalau begitu, Sulawesi Barat sekadar jadi batu loncatan dong bagi mereka? Tanya penulis kemudian.
Kurang lebih seperti itu, Pak, jawabnya sambil tersenyum.
Nyambung, kan, Mas Menteri? Barangkali keterangan kawan seperjalanan ini ada benarnya, mungkin pula tak sepenuhnya benar. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemprov Sulawesi Barat barangkali bisa menjawab secara pasti.
Penutup
Dalam dunia perdagangan ada ungkapan Ada uang, ada barang dan Uang tidak pernah bohong. Kedua istilah tersebut tampaknya cocok untuk mengibaratkan kondisi pendidikan di Sulawesi Barat khususnya dan Indonesia secara umum. Ada gaji/penghasilan yang baik, ada guru yang baik. Â
Guru adalah faktor utama dan pertama terciptanya pendidikan yang berkualitas. Dan, saat ini diakui atau tidak, integritas, loyalitas, dedikasi, skill, kualitas, dan profesionalisme guru dipengaruhi oleh gaji atau pendapatan yang mereka terima dan penghargaan yang layak dari semua pihak, terutama pemerintah.Â
Peringkat hasil ujian nasional berbasis komputer (UNBK) 2019 secara nasional yang menempatkan Provinsi Sulawesi Tenggara pada peringkat ke-31 (SMA) dan peringkat ke-34/buncit (SMK), sepertinya membuktikan ungkapan di atas. Setelah guru, penentu kualitas pendidikan barulah sistem, serta sarana dan prasana pendukung proses pendidikan.
Mas Nadiem Makarim yang luar biasa, Tanah Mandar Sulawesi Barat pernah melahirkan tokoh nasional yang disegani, idealis, jujur, dan beritegritas, yakni mantan Jaksa Agung Alm. Baharuddin Lopa. Pada era kekinian, Sulawesi Barat menghasilkan Albert Einstein abad ke-21 yang diakui dunia, yakni Arizenjaya dengan rumus temuannya, E : az2 (kuadrat). Temuan ini diaplikasikan dalam bentuk alat pengukur perbedaan energi serap benda berwarna dalam pembelajaran Fisika yang diberi nama "Instrumen Energi Termodinamika Arizenjaya.Â
Seharusnya, dunia pendidikan di Sulawesi Barat dan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia saat ini dan yang akan datang sanggup mencetak Lopa dan Arizenjaya muda yang siap menghadapi perkembangan zaman, siap bersaing dalam Revolusi 4.0. Dan itu semua bisa terwujud jika salah satunya tersedianya pendidik atau guru yang memiliki integritas, loyalitas, dedikasi, skill, kualitas, dan profesionalisme.
Begitulah laporan perjalanan ini penulis ungkapkan agar menjadi PR Mas Menteri di antara berjibun PR lainnya. Selamat mengerjakan PR sambil terus berkoordinasi dengan daerah/provinsi. Semoga Allah, Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Bijaksana selalu memberikan bimbingan terbaik kepada Mas Menteri, sehingga sanggup mengerjakan PR dengan baik dan benar, yang pada muaranya tercipta lulusan terbaik dari semua sekolah di pelosok negeri yang siap menghadapi masa depan.Â
Generasi muda yang cerdas, berprestasi, bijak, bertanggung jawab, beriman dan bertakwa, serta terus dan tetap mencintai Tanah Air dan bangsanya.
Moelyonov Djalil
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H