Pikiran dan prasangka buruk pun lantas memenuhi kepala. Jorok sekali warga sekolah ini? Apakah mereka tidak bisa menjaga kebersihan? Mengapa sampai seperti ini? Ini tempat berkumpulnya kaum terpelajar di Aralle saja begini, bagaimana dengan rumah-rumah mereka? Kalau aku jadi pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi, mungkin langsung kupecat sang kepala sekolah. Dan seterusnya.
Pangkal yang Klasik: Guru Honorer!
Mas Menteri Nadiem yang hebat, selanjutnya dalam waktu sekitar satu jam di sekolah ini, prasangka buruk itu sirna, berganti rasa iba yang teramat mendalam.Â
Dalam perbincangan, penulis terperangah karena dari 24 orang guru (termasuk kepala sekolah) yang berstatus aparatur sipil negara (ASN) alias pegawai negeri sipil (PNS) hanya lima orang. Sisannya, 19 orang adalah honorer! Mirisnya lagi para guru honorer ini belum menerima honor selama 12 bulan atau satu tahun!
Berapa honor mereka, Mas Menteri? Para guru honorer di sini mendapatkan honor sebesar Rp5.000/jam pelajaran. Mereka mengajar rata-rata delapan jam per minggu. Artinya, dalam satu bulan mereka mengajar 32 jam. Berapa total honor yang mesti mereka terima? Rp5.000 x 32 jam = Rp160.000. Bagaimana mungkin mereka dipaksa menjaga kebersihan sekolah? Mau datang ke sekolah dan mengajar saja sudah untung.
Ternyata lagi Mas, masalah banyaknya guru honorer dan keterlambatan honor ini tak hanya terjadi di SMAN 3 Aralle. Di beberapa SMA Negeri di kecamatan lainnya di Kabupaten Mamasa pun ternyata "sebelas dua belas".Â
SMA lain yang penulis kunjungi, yakni SMA Negeri 1 Balla, SMA Negeri 1 Sumarorong, bahkan SMA Negeri 1 Mamasa yang berada di tengah ibu kota kabupaten pun sama. Bahkan, di Kabupaten Polewali Mandar, ada satu SMA negeri yang ASN-nya hanya satu orang, yakni Sang Kepala Sekolah! Bahkan lagi-lagi bahkan, di SMA Negeri 3 Mamuju, yang berada di ibu kota provinsi, dari 44 guru, 23 di antaranya honorer yang belum dibayar honornya selama 17 bulan! Luar biasa, kan, Mas Menteri?
Ini baru seputar SMA. Bagaimana yang SMK, SMP, dan SD? Jejak digital bisa menjelaskan. Dari berita dan tulisan di internet, sejak menjadi provinsi pada 2004 (pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan) hingga sekarang (2019), persoalan guru honorer di Sulawesi Barat belum terselesaikan.Â
Jumlah guru honorer di Sulawesi Barat ternyata cukup besar, yakni 3.600 orang. Penulis tidak tahu apakah jumlah ini termasuk dalam 20.925 guru menurut https://dapo.dikdasmen.kemdikbud.go.id/ atau tidak.
Dalam kodisi seperti ini kearifan, nyali, kedewasaan, juga keterpaksaan kepala sekolah menjadi pertaruhan. Beberapa orang kepala sekolah yang sempat berbincang dengan penulis menuturkan kebingungannya mengelola sekolah dengan permasalahan ini. Ada kepala sekolah yang paham, baik, dan bijak dalam memenuhi hak para guru honorer.Â
Di antaranya dengan menyisihkan sebagian gaji pribadinya dan meminta pengertian anak buahnya yang sudah ASN untuk ikut iuran guna diberikan kepada para honorer agar dapur mereka tetap ngebul. Bahkan, tak jarang Sang Kepala Sekolah memberi bantuan 1020 kg beras kepada anak buahnya yang honorer. Namun, kepala sekolah seperti itu tentunya sangat langka.