Mohon tunggu...
Cahya Sinda
Cahya Sinda Mohon Tunggu... -

Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen| Hujan Pertama di Akhir Kemarau

18 November 2018   10:31 Diperbarui: 18 November 2018   11:37 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku akan pergi ke tempatmu,"

Setelah perbincangan yang singkat melalui telepon genggam, tentang hujan dan jam pulang kerja, aku menyeduh secangkir kopi. Sore ini tidak lagi nampak senja seperti biasanya, melainkan mendung yang memenuhi kaca jendela apartemenku. Ini adalah hujan pertama setelah sekian lama tak pernah turun hujan. Sepertinya semakin tua usia bumi ini memaksa musim untuk tidak lagi patuh pada peraturan alam. Aku menikmati waktu ini melihat manusia yang carut marut dengan kendaraan mereka, di atas kursi, di dekat jedela, orang-orang di bawah sana seperti semut-semut pekerja yang pulang ke sarangnya. Mungkin salah satu dari mereka adalah Johan, sahabatku.

Satu demi satu tetesan air hujan turun menabrak kaca jendela, perlahan dan semakin cepat. Air mengalir, membuat penglihatanku sedikit kabur, lantas semakin gelap, cahaya sore tertutup awan yang kian menebal. Di tempat ini, aku seperti mengamati visualisasi alam yang haru. Kemudian menumbuhkan rasa-rasa melankolis. Entah mengapa, sore adalah waktu yang pas untuk mengingat dan berangan-angan tentang segala hal paling romantis dalam kehidupan. Suasana seperti ini adalah ketika tenang dan gelisah saling berebut untuk duduk di sebelahku.

Sebentar kemudian aku mendengar suara bel, pasti Johan. Sebenarnya dia sudah tahu kode pin rumahku, dia tidak mau menggunakannya, "dalam pertemanan juga harus memiliki sopan santun," katanya. Entah sejak kapan kami menjadi teman. Bila aku mencoba untuk mengingat bagaimana ikatan ini terbentuk, tetap saja tidak dapat kutemukan. Persahabatan adalah ikatan yang hanya dapat dibuktikan oleh waktu. Banyak hal yang menjengkelkan dari Johan, tapi setidaknya Johan tidak meninggalkanku. Seperti hari ini, aku dapat berbagi kenikmatan ini pada orang lain.

Aku pergi membuka pintu, tapi ada seseorang bersama Johan. Dan aku paling tahu siapa perempuan yang bersamanya. Bukan kekasihnya, tapi adalah perempuan yang dulu sempat aku menaruh harapan kepadanya.  

"Kenalin, Diah, temen kantor. Diah, ini Ega, temen kuliah yang sering aku repotin," Johan tertawa cair seperti biasanya.

Diah, nama yang tidak pernah aku lupakan, menyodorkan begitu saja tangannya padaku. Aku menjabat tangannya dan juga membalas senyumnya. Seketika aku menyimpulkan, dia tidak lagi mengenaliku atau memang sama sekali tidak mengenaliku. Kami saling berkenalan, sedangkan Johan sudah sampai di dapur, mungkin menyiapkan minuman hangat. Aku mempersilahkan Diah untuk duduk di ruang tamu dan menawarinya minum.

"Apa saja," dia tersenyum.

"Oke," aku tidak bisa mengatakan hal lain, aku sangat mencoba terlihat tenang.

Aku tentu tahu hal yang ia suka. Satu kalimat yang terlintas tentangnya yang aku ingat, "menikmati hujan bersama secangkir americano," seperti baru kemarin saja aku membacanya di salah satu sosial media miliknya. Aku pergi ke dapur, Johan sedang menyiapkan dua teh hangat. Aku tidak ingin Johan menaruh curiga, tentu saja aku ingin menyiapkan secangkir americano untuk Diah.

"Tumben ngeteh?" Aku mencoba untuk bertingkah wajar.

"Sekalian buat Diah," kata Johan santai.

"Ini aja americano, pas buat suasana kayak gini,"

"Bener sih, tapi Diah?"

"Dia bilang apa aja boleh,"

Aku seperti sedikit memaksa, tapi mungkin Johan tidak mengetahuinya. Aku meminta Johan untuk menemani Diah, tentu saja aku ingin mengambil alih minuman untuk Diah. Aku melihat hujan semakin deras, dari dapur diam-diam aku mendengarkan mereka, Diah dan Johan, berbicara tentang dunia kerja. Aku ingin mengorek informasi pribadi dari perempuan itu. Satu hal saja yang berhasil aku dapatkan, ternyata Diah menggantikan sekretaris lama wakil direktur perusahaan Johan. Dua Americano terbaikku, kubawa ke ruang tamu.

"Maaf lama, Americano!" Aku menaruh banyak harapan.

"Terima kasih," kata Diah dengan senyum yang manis, hanya itu.

"Kamu nggak bikin juga?" Tanya Johan

"Udah,"

Aku masih berdiri, menunggu mungkin ada hal lain yang ingin Diah katakan. Seketika mempersilahkannya untuk minum. Ia tersenyum dan meminumnya. Sekali lagi ia terdiam. Johan dengan santainya memotong harapanku dan melanjutkan pembicaran mereka. Aku pergi ke tempatku semula menikmati sore. Kali ini hanya tersisa gelisah. Mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Tidak lagi peduli pada hal lain selain apapun tentang pembicaraan dua orang tamu di rumahku.

Haruskah aku pergi bergabung, tidak, ini tentang pekerjaan. Aku harap hujan semakin deras dan mencegah mereka pulang. Sampai kata paling menyenangkan yang sangat ingin aku dengar. Mereka menyudahi persoalan pekerjaan. Aku berjalan mendekati mereka berdua yang sudah mulai diam sejenak dan menikmati minuman.

"Kantor lagi sibuk ya? Sampai lembur gini," kataku pada Diah.

"Iya, saya karyawan baru," jawab Diah.

"Oh gitu," balasku santai.

"Diah nggantiin sekertaris lama Bos, seharusnya sekertaris lama Bos yang ngejelasin kerjaan ini, tapi orangnya udah keburu ke luar kota, jadi aku yang jelasin," kata Johan dengan sedikit nada kesal.

"Namanya juga kerjaan Jo," kami bertiga tertawa cair. "Ya udah lanjutin aja,"

"Udah kelar kok," jawab Johan singkat.

Kami bertiga tidak bicara banyak, hanya tentang ini dan itu. Menikmati kopi kami masing-masing. Johan sibuk dengan telepon genggam miliknya, Diah yang entah, sibuk dengan catatan-catatannya yang mungkin tentang pekerjaan, sedangkan aku diam dan sibuk berfikir. Aku memperhatikan Diah, yang duduk di depanku, tertunduk pada lembar-lembar kertas putih. Sesekali ia menggenggamkan jari-jarinya yang lelah. Ia tampak sibuk tapi seperti memperlihatkan dirinya yang sedang baik-baik saja. Hujan masih deras, Johan menerima telepon yang tidak bisa diabaikannya.

Sekarang aku sendirian bersama Diah. Sudah sangat lama tapi tiba-tiba perasaanku bergejolak ke masa SMA. Tempat manusia dengan bebas mencintai dan melakukan hal-hal bodoh yang menjadi bahan candaan di masa depan. Diah meletakkan alat tulisnya, mengemas lembar-lembar berserakan. Menggapai secangkir kopi dan meminumnya. Melihat ke arahku. Tersenyum. Aku membalasnya dengan senyum yang mengisarat.

"Sebelumnya kerja di mana?" Tanyaku.

"Ini pengalaman kerja kantor pertama, sebelumnya kerja di mana aja yang juga masih ada kaitannya sama sekertaris,"

"Oh gitu, selamat sudah masuk dunia kantor," kami saling melempar tawa kecil.

"Mas Ega, masih nulis?"

 "Tahu dari Johan ya kalau aku penulis?" Aku sempat terkejut mendengar pertanyaannya.

"Tadi sempet cerita waktu di mobil, aku pikir Ega siapa, ternyata bener mas Ega,"

"Maksudnya?" Aku terkejut mendengar perkataan Diah.

"Pasti mas Ega lupa,"

Aku menahan segala aktivitas bahkan untuk bernafas. Sejenak. Aku melompat ke masa lalu. Aku mencari satu waktu di masa itu untuk menjelaskan tentang perkataan Diah. Hal yang aku lupakan. Dalam ingatanku tidak ada satu kalipun pertemuan antara aku dan Diah. Jika aku melupakannya aku adalah orang yang paling bodoh waktu itu. Perlahan aku menyadari betapa aku tidak sekedar menaruh harap, melainkan aku sedang jatuh cinta. Cinta yang dulu bergejolak kini kembali tumbuh bertambah resah dan gugup.

Diah berjalan ke arah jendela. Melihat jalan raya. Terdiam sejenak, aku melihatnya seperti yang aku lakukan di masa lalu. Rambut yang diikat itu seperti yang aku ingat dulu. Semua hal tentang masa lalu kembali ke masa ini. Gelap langit hari ini tidak hanya dihiasi lampu-lampu kota tapi juga deras air hujan. Diah kemudian melihat ke arahku, membalikkan tubuhnya.

"Bukankah waktu itu hujan seperti ini. Hujan yang datang memecah kemarau," kata Diah padaku.

"Ada apa dengan hujan yang memecah kemarau?" Sambil aku berdiri mendekati jendela, di sebelahnya.

"Ternyata mas Ega sudah lupa, 'hujan yang datang memecah kemarau,' kalimat yang menjadi bahan lelucon ketika SMA, ditertawakan oleh semua anak yang mendengarnya. Bukankah itu kalimat mas Ega?"

"SMA?" tanyaku heran.

"Iya, ketika semua anak bermain hujan, ketika seorang anak melupakan tas punggungnya yang dijatuhkan, dibiarkan kehujanan dan pergi begitu saja,"

Aku ingat, anak itu adalah aku. Namun bagaimana Diah bisa menceritakannya. Aku kebingungan karena catatan sajak-sajak yang ku kumpulkan ada di dalamnya. Puisi-puisi yang aku tulis setiap waktu, mengingat kisah cinta. Tentu saja tentang Diah. Tulisan yang tidak boleh terbaca oleh orang lain kecuali Diah. Namun tak pernah aku berikan padanya. Kudapati esoknya ada pada penjaga sekolah. Basah, namun tulisanku selamat. Diah melanjutkan ceritanya, menghentikanku menjelajah masa lalu.

"Malam itu ditemani hujan seperti ini, dan malam itu menjadi saat pertama aku jatuh cinta pada puisi. Puisi dari seorang anak yang melupakan tas punggungnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun