"Aku akan pergi ke tempatmu,"
Setelah perbincangan yang singkat melalui telepon genggam, tentang hujan dan jam pulang kerja, aku menyeduh secangkir kopi. Sore ini tidak lagi nampak senja seperti biasanya, melainkan mendung yang memenuhi kaca jendela apartemenku. Ini adalah hujan pertama setelah sekian lama tak pernah turun hujan. Sepertinya semakin tua usia bumi ini memaksa musim untuk tidak lagi patuh pada peraturan alam. Aku menikmati waktu ini melihat manusia yang carut marut dengan kendaraan mereka, di atas kursi, di dekat jedela, orang-orang di bawah sana seperti semut-semut pekerja yang pulang ke sarangnya. Mungkin salah satu dari mereka adalah Johan, sahabatku.
Satu demi satu tetesan air hujan turun menabrak kaca jendela, perlahan dan semakin cepat. Air mengalir, membuat penglihatanku sedikit kabur, lantas semakin gelap, cahaya sore tertutup awan yang kian menebal. Di tempat ini, aku seperti mengamati visualisasi alam yang haru. Kemudian menumbuhkan rasa-rasa melankolis. Entah mengapa, sore adalah waktu yang pas untuk mengingat dan berangan-angan tentang segala hal paling romantis dalam kehidupan. Suasana seperti ini adalah ketika tenang dan gelisah saling berebut untuk duduk di sebelahku.
Sebentar kemudian aku mendengar suara bel, pasti Johan. Sebenarnya dia sudah tahu kode pin rumahku, dia tidak mau menggunakannya, "dalam pertemanan juga harus memiliki sopan santun," katanya. Entah sejak kapan kami menjadi teman. Bila aku mencoba untuk mengingat bagaimana ikatan ini terbentuk, tetap saja tidak dapat kutemukan. Persahabatan adalah ikatan yang hanya dapat dibuktikan oleh waktu. Banyak hal yang menjengkelkan dari Johan, tapi setidaknya Johan tidak meninggalkanku. Seperti hari ini, aku dapat berbagi kenikmatan ini pada orang lain.
Aku pergi membuka pintu, tapi ada seseorang bersama Johan. Dan aku paling tahu siapa perempuan yang bersamanya. Bukan kekasihnya, tapi adalah perempuan yang dulu sempat aku menaruh harapan kepadanya. Â
"Kenalin, Diah, temen kantor. Diah, ini Ega, temen kuliah yang sering aku repotin," Johan tertawa cair seperti biasanya.
Diah, nama yang tidak pernah aku lupakan, menyodorkan begitu saja tangannya padaku. Aku menjabat tangannya dan juga membalas senyumnya. Seketika aku menyimpulkan, dia tidak lagi mengenaliku atau memang sama sekali tidak mengenaliku. Kami saling berkenalan, sedangkan Johan sudah sampai di dapur, mungkin menyiapkan minuman hangat. Aku mempersilahkan Diah untuk duduk di ruang tamu dan menawarinya minum.
"Apa saja," dia tersenyum.
"Oke," aku tidak bisa mengatakan hal lain, aku sangat mencoba terlihat tenang.
Aku tentu tahu hal yang ia suka. Satu kalimat yang terlintas tentangnya yang aku ingat, "menikmati hujan bersama secangkir americano," seperti baru kemarin saja aku membacanya di salah satu sosial media miliknya. Aku pergi ke dapur, Johan sedang menyiapkan dua teh hangat. Aku tidak ingin Johan menaruh curiga, tentu saja aku ingin menyiapkan secangkir americano untuk Diah.
"Tumben ngeteh?" Aku mencoba untuk bertingkah wajar.