"Mas Ega, masih nulis?"
 "Tahu dari Johan ya kalau aku penulis?" Aku sempat terkejut mendengar pertanyaannya.
"Tadi sempet cerita waktu di mobil, aku pikir Ega siapa, ternyata bener mas Ega,"
"Maksudnya?" Aku terkejut mendengar perkataan Diah.
"Pasti mas Ega lupa,"
Aku menahan segala aktivitas bahkan untuk bernafas. Sejenak. Aku melompat ke masa lalu. Aku mencari satu waktu di masa itu untuk menjelaskan tentang perkataan Diah. Hal yang aku lupakan. Dalam ingatanku tidak ada satu kalipun pertemuan antara aku dan Diah. Jika aku melupakannya aku adalah orang yang paling bodoh waktu itu. Perlahan aku menyadari betapa aku tidak sekedar menaruh harap, melainkan aku sedang jatuh cinta. Cinta yang dulu bergejolak kini kembali tumbuh bertambah resah dan gugup.
Diah berjalan ke arah jendela. Melihat jalan raya. Terdiam sejenak, aku melihatnya seperti yang aku lakukan di masa lalu. Rambut yang diikat itu seperti yang aku ingat dulu. Semua hal tentang masa lalu kembali ke masa ini. Gelap langit hari ini tidak hanya dihiasi lampu-lampu kota tapi juga deras air hujan. Diah kemudian melihat ke arahku, membalikkan tubuhnya.
"Bukankah waktu itu hujan seperti ini. Hujan yang datang memecah kemarau," kata Diah padaku.
"Ada apa dengan hujan yang memecah kemarau?" Sambil aku berdiri mendekati jendela, di sebelahnya.
"Ternyata mas Ega sudah lupa, 'hujan yang datang memecah kemarau,' kalimat yang menjadi bahan lelucon ketika SMA, ditertawakan oleh semua anak yang mendengarnya. Bukankah itu kalimat mas Ega?"
"SMA?" tanyaku heran.