Pendahuluan
Seruan Gereja Katolik dalam Konsili Vatikan II bahwa Semua orang dari suku, kondisi, atau usia manapun, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi, mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat (GE 1). Lembaga pendidikan Katolik melaksanakan pendidikannya tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya. Sekolah Katolik juga menerapkan sistem pendidikan sebagaimana telah diterapkan oleh pemerintah, yang membuatnya berbeda adalah identitas kekatolikan. Identitas kekatolikan dipahami sebagai pendidikan yang dilaksanakan di sekolah Katolik pertama-tama didasarkan pada Yesus Kristus dan Injil (GE 8).
Artinya, sekolah Katolik hanya memberikan pelajaran agama Katolik dan tidak memberikan pelajaran agama di luar itu. ( sumber kutipan : https://osf.io/yntu6/download/?format=pdf oleh Yohanes Ega Satriyo ‘STKIP WIDYA YUWANA’ dalam karya tulisnya yang berjudul “ UU nomor 20 tahun 2003 pasal 12 ayat 1 Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Pendidikan di Sekolah Katolik” ) Hal ini lah yang menjadi dasar acuan satuan satuan pendidikan Katolik dalam mengemban amanat Gereja untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun seruan gereja Katolik dalam Konsili Vatican II berbenturan dengan pasal 12 ayat 1 UU nomor 20 tahun 2003. Padahal banyak masyarakat yang beragama non Katolik memanfaatkan layanan ini.
Satuan pendidikan Katolik selalu berpegang, bahwa satuan pendidikan tersebut adalah sekolah yang berciri khas agama Katolik. Artinya, sekolah Katolik hanya memberikan pelajaran agama Katolik dan tidak memberikan pelajaran agama di luar itu. Padahal menurut UU nomor 20 tahun 2003, sekolah berciri khas agama tidak beda jauh dengan satuan pendidikan pada umumnya, tetap harus melaksanakan Pasal 12 ayat 1 UU nomor 20 tahun 2003.
Ketika sekolah atau satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu menerima siswa atau peserta didik berlatar belakang agama yang berlainan dengan kekhasan satuan pendidikan tersebut, maka serta merta satuan pendidikan tersebut harus memberikan hak hak peserta didik sebagaimana termaktub dalam pasal 12 ayat 1 UU nomor 20 tahun 2003. Tidak boleh ada satuan pendidikan berciri khas agama tertentu tidak patuh pada perundangan yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sekolah berciri khas agama tetap dan harus patuh pada peraturan perundangan pasal 12 ayat 1 UU nomor 20 tahun 2003 yang juga diatur dalam PP no 55 tahun 2007
Paparan
Pada dasarnya pendidikan adalah hak setiap warga negara sebagaimana bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 1945 “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Dan kebebasan beragama adalah hak asasi setiap warga negara yang juga termaktub dalam pasal 29 ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya” Dalam hal pendidikan agama juga warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Hal ini menjadi perintah UU kepada satuan satuan pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Dan hal itu jelas ditegaskan lagi pada pasal 12 ayat 1 huruf (a) UU nomor 20 tahun 2003 yang mengatakan “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Lalu siapa penyelenggara pendidikan? Menurut Ketentuan Umum UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 10 “Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan”. Lalu dijelaskan lagi pada ayat 16 yang berisi “Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat”.
Dan pada bagian kedua kembali diulas Pendidikan Berbasis Masyarakat berdasarkan kekhasan agama, yaitu di pasal 55 UU no 20 tahun 2003 kami kutip ayat 1 dan 5
(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat(2), Ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dan Pemerintah sesuai perintah UU maka menerbitkan PP nomor 55 tahun 2007 yang kami kutip pasal 3 dan 4 yang berkaitan dengan permasalahan ini. Untuk lebih lengkapnya bisa didownload dari google.
Pasal 3
1. Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib
menyelenggarakan pendidikan agama.
Pasal 4
1. Pendidikan agama pada pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan sekurang
kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama.
Penjelasan
Ayat (1)
Kurikulum pendidikan agama bagi peserta didik yang beragama berbeda dengan
kekhasan agama satuan pendidikan menggunakan kurikulum pendidikan agama sesuai
dengan agama yang dianut peserta didik.
2. Setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh
pendidik yang seagama.
3. Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
4. Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan
agama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat bekerja sama dengan satuan
pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama di masyarakat untuk
menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik.
Penjelasan
Ayat (4)
Kerjasama tentang penyelenggaraan pendidikan agama dengan penyelenggara
pendidikan agama di masyarakat memperhatikan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
5. Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik
untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan agama yang dianut oleh peserta didik.
6. Tempat melaksanakan ibadah agama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa
ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan
peserta didik menjalankan ibadahnya
7. Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun
rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan
yang bersangkutan.
Tidak menjadi masalah bila suatu satuan pendidikan berciri khas agama tertentu
menerapkan kekhasan mereka bila peserta didiknya seagama sesuai kekhasan satuan
pendidikan tersebut. Namun bila satuan pendidikan tersebut bersifat inklusi yang artinya semua
calon peserta didik boleh mendaftar dan mengikuti pendidikan di satuan pendidikan tersebut
tanpa melihat latar belakang agama, sosial, budaya, ekonomi maka saat itu juga pasal 12 ayat
1 huruf (a) UU nomor 20 tahun 2003 berlaku.
Bisa dipahami dan dibenarkan bila seruan gereja Katolik tersebut diperuntukkan kepada
satuan pendidikan keagamaan sebagaimana pada Pasal 30 UU nomor 20 tahun 2003 tentang
Pendidikan Keagamaan
Pasal 30
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat
dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau
menjadi ahli ilmu
agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal,
dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja
samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan paparan diatas, sangat jelas dan tegas sekali perbedaan antara pendidikan
agama dan pendidikan keagamaan.
Simpulan
Bahwa masih banyak satuan pendidikan berciri khas agama Katolik yang mengabaikan
hak hak peserta didik dalam hal pasal 12 ayat 1 UU nomor 20 tahun 2003 itu adalah warisan
sejak dahulu, walaupun negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR sudah memberikan perlindungannya melalui undang undang. Para penyelenggara sekolah sekolah tersebut yakni
Yayasan Pendidikan Katolik yang menaungi beranggapan bahwa ‘toh selama ini tidak terjadi
masalah’. Pemerintah lewat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam lingkup lokal
yakni Dinas dikbud lalai menjalankan fungsi pengawasan. Sehingga hak hak peserta didik diabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H