Terbitnya SE 449 pada 6 Agustus 2015, kata Thony, tak dilandasi dasar hukum yang jelas, sehingga jika perintah di dalam surat tersebut tetap dilaksanakan oleh KPU Surabaya, maka dimunginkan rentan menimbulkan permasalahan hukum.
“Koalisi Majapahit meragukan keabsahan Surat KPU Nomor 449 itu,” kata Ketua DPC Partai Gerindra Surabaya BF Sutadi. Menurutnya, semua pimpinan parpol Koalisi Majapahit menyakini, produk hukum tersebut catat, mulai dari sisi proses lembaga yang merekomendasi dibukanya kembali pendaftaran itu.
“Bawaslu itu tupoksinya adalah penyelesaiaan sengketa dan pelanggaran, bukan merekom seperti yang dilakukan saat ini. Apalagi Surabaya tidak masuk dalam kategori pelanggaran dan tidak ada sengketa,” katanya.
Dari sisi penyelenggara pilkada, seharusnya KPU melakukan revisi atas PKPU Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah sebagai dasar dari perpanjangan pendaftaran pilkada sebagaimana pernyataan Bawaslu, bukan mengirim surat biasa kepada KPU Daerah agar membuka kembali pendaftaran.
Menurut Sutadi, surat KPU itu tidak bisa menggantikan PKPU 12, yang tentunya harus ada revisi PKPU 12. Selain itu, mestinya tata surat menyuratnya yang benar adalah jika itu sifatnya keputusan tentunya harus diubah dengan keputusan. Dan, “Peraturan harus diubah peraturan,” tegasnya.
"Tapi ini PKPU 12 hanya diselesaikan dengan Surat KPU biasa bernomor 449. Itu bukan surat edaran pula. Lucunya di surat itu tidak dijelaskan solusi jika pendaftaran terakhir pada 11 Agustus tidak ada yang daftar,” katanya.
Memang, SE 449 itu kini menjadi bumerang bagi KPU Surabaya dan 6 KPU Daerah lain yang memperpanjang pendaftaran pencalonan. Seperti yang dilakukan oleh KPU Surabaya yang hanya menjalankan SE KPU bernomor 449/KPU/VIII/2015.
Jika disimak isi SE 449 itu, kata “diminta” kepada 7 KPU Daerah untuk memperpanjang pendaftaran punya arti bersayap dalam politik. Kata itu punya arti meminta yang boleh diberi atau tidak, sehingga jika ada gugatan politik yang tanggung jawab KPU Daerah, bukan KPU Pusat. Bahkan, KPU Pusat bisa lepas tanggung jawab atas SE 449 itu.
SE 449 itu secara yuridis ada cacat hukumnya. Seharusnya kalau KPU Pusat benar-benar serius melaksanakan perintah (rekomendasi) Bawaslu, KPU Pusat akan menggunakan kata: “diinstruksikan” atau “diperintahkan”. Sehingga tanggung jawah politik dan hukum ada di KPU Pusat sebagai penerbit SE 449 tersebut.
Selain itu, seharusnya bukan SE yang terbit untuk menangani pasangan calon tunggal di 7 daerah tersebut, tapi harus dengan Surat Keputusan (SK). Apalagi, SE 449 itu sifatnya hanya meminta, sehingga kalau dilaksanakan maka tanggung jawab menjadi hak KPU Daerah yang melaksanakan pilkada serentak 2015.
Tujuh KPU Daerah yang melaksanakan SE 449, jelas telah menjadi “korban” Rekomensi Bawaslu. Beberapa kali KPU Surabaya didemo masyarakat karena menjalankan SE 449 ini.