Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penulis Sejarah Kota dan Pucuk Pistol yang Mengarah ke Jidatnya

26 September 2020   05:22 Diperbarui: 26 September 2020   05:34 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan karena tak diterima di jurusan keren seperti ekonomis atau komputer, Hada memang menyukai sejarah. Bahkan dapat dibilang cinta mati. 

Buku sejarah apa pun selalu dilahap dengan rakusnya oleh Hada yang waktu itu masih SD. Ketika masuk bangku SMP lebih rakus dengan cerita cerita sejarah. Dan ketika di SMA, menolak dimasukkan ke jurusan IPA, walaupun nilai Hada sangat layak masuk jurusan IPA. 

Hada nyaris hafal cerita di Babad Tanah Jawa. Mungkin sudah lebih dari dua belas kali cerita sejarah itu dibacanya. Bahkan Hada hafal kalimat kalimat nya. 

"Berarti kuliah di jurusan sejarah? " tanya Ai teman akrab Hada. 

"Perlu gue jawab? " Hada balik bertanya karena Hada yakin kalau Ai sudah tahu jawabannya. 

Pasti masuk.  Dan kuliah nya juga lulus lebih awal. Mungkin dosennya tak mau tersaingi sehingga cepat cepat meluluskan Hada. 

"Mau kerja apa? " ledek Devi, kakak Hada ketika Hada baru saja melepas toga setelah pulang dari wisuda. 

Selama ini, Hada memang harus mati matian meyakinkan ayah dan bundanya jika lulusan jurusan sejarah juga dapat mencari pekerjaan yang layak. 

"Aku akan memulis sejarah, " jawab Hada penuh keyakinan. 

Dan sejak saat itu, puluhan buku sejarah tentang kota kecilnya sudah terpajang di rak toko buku.  Kemampuannya yang dapat menggabungkan sejarah dengan cerita membuat buku buku sejarah yang ditulisnya sangat enak dibaca. 

Sekarang Hada sedang menulis tentang sejarah covid 19 di kota kecilnya.  Data data tentang covid sudah lumayan banyak. Hada juga mewawancarai banyak orang untuk kepentingan penulisan sejarah covid di kotanya. 

"Bisa bicara dengan Saudara Hada? " laki-laki berperawakan tetap itu seperti meminta izin tapi nadanya menekan cenderung meneror. 

Malam itu memang gerimis masih jatuh satu satu. Suaranya ritmis. Kota tentu sepi. Entah kenapa. Mungkin juga karena ada himbauan untuk lebih baik di rumah saja. 

"Iya. Saya sendiri. "

"Oh, lagi sibuk ya? "

Hada menggeleng. Laki-laki itu kemudian duduk di kursi itu, tanpa dipersilakan. Kemudian dia memutar mutar matanya seperti sedang mencari sesuatu. 

"Ada bisa dibantu? "

Laki-laki itu seakan tak peduli dengan pertanyaan Hada.  Laki-laki itu bangun dari tempat duduk kemudian menuju meja yang teronggok begitu saja di pojok kamar. 

Laki-laki itu membuka buka kertas yang ada di meja kerja Hada. Mengambil satu kertas. Membacanya. Terus tersenyum sendiri. 

"Kamu penulis? "

Hada mengangguk. 

"Menulis apa? "

"Sejarah."

"Di komputer ini sedang kamu tulis sejarah ya? "

Lagi lagi Hada mengangguk. 

"Boleh aku lihat? "

Hada pengin nonjok laki-laki itu. Tapi, laki-laki itu terlalu kuat. Otot-otot dia menunjukkan jika dia memang orang yang rajin berolahraga. 

Melihat Hada yang diam, laki-laki itu mengambil sesuatu yang terselip di pinggangnya. Kemudian berjalan pelan ke arah Hada berdiri. 

Tiba-tiba saja sebuah benda yang berasa dingin sudah menempel di pelipis Hada. 

"Buka komputer kamu! "

Hada hanya bisa mengikuti perintah. Hada tak ingin isi otaknya dikeluarkan oleh benda dingin yang menempel di pelipisnya. 

"Kenapa kamu tulis seperti itu? " bentak laki-laki tegap itu. 

"Karena dia memang membiarkan covid terus membunuh warga kota ini."

"Kamu harusnya tahu, Bro. Penduduk kota ini perlu hiburan. Dan hiburan bagi mereka apa lagi selain goyangan yahud penyanyi dangdut itu? "

"Tapi... "

"Kamu hapus dan kamu tulis sejarah kota ini seperti yang aku diktekan. 

Hada menghapus tulisan itu. 

Bapak walikota sangat memperhatikan setiap warganya. Ketika warganya haus hiburan, bapak walikota yang penuh kasih sayang itu menghadirkan penyanyi dangdut yang paling yahud goyangan nya. 

Memang ada kabar covid beraksi lagi saat itu. Tapi, bapak walikota meyakini jika warganya bahagia covid tak akan bisa apa apa. 

Hati Hada sebagai penulis sejarah kota kelahirannya menjerit. Tapi, rasa dingin pistol di keningnya tak bisa membuat mulut Hada menerjemahkan jeritan hatinya. 

"Ya, aku telah memalsukan sejarah. Aku telah... "

Tak ada suara tembakan memang. Tapi kota itu kemudian dipimpin lagi oleh walikota yang rakus... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun