Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

3 Hati dalam Gelas (28)

14 April 2016   14:13 Diperbarui: 14 April 2016   14:16 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ceritanya di luar saja yu, Diah," ajak istri Kakakku yang ternyata bernama Dini Wulandari.

"Nanti saja, kakak kan masih capai baru sampai," bantah Diah.

"Biar kakakmu yang mijitin ibu.  Dia paling jago mijit-mijit."

Diah pun mengalah.  Menemani Dini ke taman rumah sakit.  Ah, sebetulnya bukan taman benaran.  Hanya sebuah tanah lapang.  Tak ada bunganya.  Hanya rumput liar yang sepertinya lupa dipotong.  Di negeri ini memang masih kurang kesadaran masyarakatnya akan arti penting taman.  Sehingga, jarang ada taman yang bagus sebagai tempat berkumpul dan berinteraksi antarwarga.

"Kita duduk di sana saja, yuk!" ajak Kak Dini.

Diah mengikutinya.

"Sudah berpuluh-puluh kali aku ceritakan cerita ini.  Mudah-mudahan bisa menendang rasa penasaranmu, dik."

Kak Dini menghirup nafas dalam-dalam.  Seperti sedang mengambil sebuah kekuatan sebelum menceritakan tentang dirinya itu.  Matanya lurus menatap ke depan.  Atau mungkin justru ke belakang?  Entahlah!

"Aku ini dulu seorang pelacur.  Orang yang terbuang.  Orang yang terhinakan.  Kakakmu yang berhasil membebaskanku dari dunia hitam itu.  Dia menebusku dengan seluruh harta yang dimilikinya.  Tadinya, aku pikir karena kakakmu menginginkan tubuhku juga. Tapi aku salah.  Setelah aku ditebusnya, dia malah membebaskanku.  Dia suruh aku pergi ke mana saja."

Ada luka yang masih terdampar pada setiap tarikan nafasnya.

"Justru karena dia menyuruhku pergi, akhirnya aku memutuskan untuk diam.  Mengikutinya.  Dia tidak menyentuhku hingga kami menikah.  Itulah kehebatannya.  Dan aku juga dibimbing untuk menjadi seorang muslimah yang baik."

Aku terharu.

(Bersambung)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun