"Ceritanya di luar saja yu, Diah," ajak istri Kakakku yang ternyata bernama Dini Wulandari.
"Nanti saja, kakak kan masih capai baru sampai," bantah Diah.
"Biar kakakmu yang mijitin ibu. Â Dia paling jago mijit-mijit."
Diah pun mengalah. Â Menemani Dini ke taman rumah sakit. Â Ah, sebetulnya bukan taman benaran. Â Hanya sebuah tanah lapang. Â Tak ada bunganya. Â Hanya rumput liar yang sepertinya lupa dipotong. Â Di negeri ini memang masih kurang kesadaran masyarakatnya akan arti penting taman. Â Sehingga, jarang ada taman yang bagus sebagai tempat berkumpul dan berinteraksi antarwarga.
"Kita duduk di sana saja, yuk!" ajak Kak Dini.
Diah mengikutinya.
"Sudah berpuluh-puluh kali aku ceritakan cerita ini. Â Mudah-mudahan bisa menendang rasa penasaranmu, dik."
Kak Dini menghirup nafas dalam-dalam. Â Seperti sedang mengambil sebuah kekuatan sebelum menceritakan tentang dirinya itu. Â Matanya lurus menatap ke depan. Â Atau mungkin justru ke belakang? Â Entahlah!
"Aku ini dulu seorang pelacur. Â Orang yang terbuang. Â Orang yang terhinakan. Â Kakakmu yang berhasil membebaskanku dari dunia hitam itu. Â Dia menebusku dengan seluruh harta yang dimilikinya. Â Tadinya, aku pikir karena kakakmu menginginkan tubuhku juga. Tapi aku salah. Â Setelah aku ditebusnya, dia malah membebaskanku. Â Dia suruh aku pergi ke mana saja."
Ada luka yang masih terdampar pada setiap tarikan nafasnya.
"Justru karena dia menyuruhku pergi, akhirnya aku memutuskan untuk diam. Â Mengikutinya. Â Dia tidak menyentuhku hingga kami menikah. Â Itulah kehebatannya. Â Dan aku juga dibimbing untuk menjadi seorang muslimah yang baik."