Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

3 Hati dalam Gelas (28)

14 April 2016   14:13 Diperbarui: 14 April 2016   14:16 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Subuh baru saja beranjak pergi, ketika tiba muncul seorang buta yang dituntun oleh seorang perempuan masuk ke ruang rawat ibu.  Diah kaget.  Di kamar rawat inap itu kebetulan hanya ibu yang dirawat.  Jadi kemungkinan besar orang ini salah kamar.  Diah tak mengenali keduanya.

"Assalamualaikum," salam laki-laki buta tersebut.

"Waalaikum salam," jawab Diah sambil menghampirinya.

"Ibu mana?" tanya laki-laki itu lagi.

"Bapak siapa, ya?" Diah balik bertanya.

"Saya July.  Ini istri saya.  Kamu siapa, ya?"

Kontan Diah menubruk dan memeluk laki-laki itu.  Laki-laki yang sudah lama sekali dirindukannya.  Kak Juli.  Dia kakak laki-laki Diah yang hilang, atau lebih tepatnya dibuang bapak karena matanya buta.

Giliran laki-laki buta dan istrinya yang bingung.

"Itu adikmu.  Diah," kata ibu mencoba menjelaskan.

Air mata Diah tak bisa dibendung lagi.  Air mata bahagia, tentunya.

Laki-laki itu kemudian memeluk ibu.  Membisikkan sesuatu entah apa.  Ibu tersenyum.  Lalu menepuk-nepuk pundak Kak Juli. 

"Dari Bandung jam berapa, Kak?"

"Jam sebelas.  Pas Afra nelpon, langsung kami berangkat."

Diah menatap istri Kak Juli.  Cantik juga.  Hebat banget Kak Juli.  Walau matanya buta tapi masih bisa memilih wanita yang cantik sebagai pendamping hidupnya.  Sebetulnya Kak Juli tak perlu wanita cantik segala.  Kalaupun cantik, dia kan tetap tak bisa melihatnya.  Seperti karunia bagi Kak Juli.  Tapi bagaimana dengan istrinya?  Jangan ini sebuah siksaan.  Ah, tak mungkin juga.  Tuhan kan memang sudah menuliskan jodoh setiap orang di dalam buku catatannya.  Karena tak ada tip ex, pasti jodoh Kak Juli pun pasti bukan hasil tip ex-an.

Senyumnya.  Diah saja melihat senyum itu manis sekali.

"Diah, kamu pasti lagi ngeliatin istriku.  Iya, kan?" tanya Kak Juli yang langsung membuat Diah kaget.

"Kok tahu?"

"Orang yang pertama kenal aku, selalu melihat istriku.  Lalu, ia akan membatin, kok orang buta istrinya cantik banget ya?" kata Kak Juli yang langsung diam saat dicubit istrinya.

"Kok tahu?'

"Kok tahu, kok tahu.  Din ceritakan segalanya tentang kita pada adikku yang satu ini.  Biar tak penasaran," kata Kak Juli.

Kebiasaan Kak Juli katanya memang begitu.  Selalu menyuruh istrinya menceritakan proses terjadinya perkawinan mereka.  Biar tak ada prasangka yang tidak-tidak.

"Ceritanya di luar saja yu, Diah," ajak istri Kakakku yang ternyata bernama Dini Wulandari.

"Nanti saja, kakak kan masih capai baru sampai," bantah Diah.

"Biar kakakmu yang mijitin ibu.  Dia paling jago mijit-mijit."

Diah pun mengalah.  Menemani Dini ke taman rumah sakit.  Ah, sebetulnya bukan taman benaran.  Hanya sebuah tanah lapang.  Tak ada bunganya.  Hanya rumput liar yang sepertinya lupa dipotong.  Di negeri ini memang masih kurang kesadaran masyarakatnya akan arti penting taman.  Sehingga, jarang ada taman yang bagus sebagai tempat berkumpul dan berinteraksi antarwarga.

"Kita duduk di sana saja, yuk!" ajak Kak Dini.

Diah mengikutinya.

"Sudah berpuluh-puluh kali aku ceritakan cerita ini.  Mudah-mudahan bisa menendang rasa penasaranmu, dik."

Kak Dini menghirup nafas dalam-dalam.  Seperti sedang mengambil sebuah kekuatan sebelum menceritakan tentang dirinya itu.  Matanya lurus menatap ke depan.  Atau mungkin justru ke belakang?  Entahlah!

"Aku ini dulu seorang pelacur.  Orang yang terbuang.  Orang yang terhinakan.  Kakakmu yang berhasil membebaskanku dari dunia hitam itu.  Dia menebusku dengan seluruh harta yang dimilikinya.  Tadinya, aku pikir karena kakakmu menginginkan tubuhku juga. Tapi aku salah.  Setelah aku ditebusnya, dia malah membebaskanku.  Dia suruh aku pergi ke mana saja."

Ada luka yang masih terdampar pada setiap tarikan nafasnya.

"Justru karena dia menyuruhku pergi, akhirnya aku memutuskan untuk diam.  Mengikutinya.  Dia tidak menyentuhku hingga kami menikah.  Itulah kehebatannya.  Dan aku juga dibimbing untuk menjadi seorang muslimah yang baik."

Aku terharu.

(Bersambung)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun